Hidayatullah.com—Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat, Buya Dr. Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa angkat suara menanggapi polemik ciri penceramah radikal yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Buya Gusrizal, dalam keterangan resminya, dengan tegas mengkritik lima kriteria yang dibeberkan oleh Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Ahmad Nurwakhid. Ia menyebut kriteria milik BNPT itu menjadikan lembaga negara tersebut agen pluralisme agama yang telah diharamkan MUI.
“Bila menurut BNPT ciri penceramah radikal adalah mengkafirkan orang yang berbeda agama, BNPT berarti suatu institusi negara yang telah berperan sebagai agen pluralisme agama, yang telah diharamkan oleh MUI,” ujar Gusrizal, Sabtu (5/3/2022)..
Gusrizal pun mengatakan BNPT juga telah merusak ajaran agama khususnya ajaran Islam yang mendasar.
“BNPT juga telah merusak ajaran agama khususnya ajaran Islam yang sangat mendasar yaitu ‘ajaran Tauhid’. Yakni Kalimat ‘La Ilaha Illallah’, yang merupakan pernyataan pengakuan atas keyakinan di dalam qalbu bahwa satu-satunya Ilah yang berhak disembah adalah Allah swt,” ungkapnya.
“Konsekuensi dari keyakinan tersebut adalah kufurnya setiap keyakinan yang menentang ajaran tauhid tersebut. Penganut kekufuran itu adalah ‘kafir’ dalam istilah Al-Quran dan Sunnah Nabi saw,” imbuh Gusrizal.
Gusrizal pun meminta BNPT untuk menjawab, dari mana datangnya tuduhan radikal terhadap dai yang mengatakan orang berbeda agama adalah “kafir”.
“Apakah menurut BNPT, dai yang tidak radikal itu adalah yang mengakui semua agama benar?” Tanyanya.
Kalau itu yang diinginkan oleh BNPT, ungkap Gusrizal, berarti BNPT ingin merusak ajaran agama.
“Saya berharap agar seluruh tokoh umat Islam waspada dengan langkah seperti itu karena, bila itu misi BNPT berarti suatu institusi negara telah menempatkan diri sebagai pembawa kesesatan ke tengah umat. Allah al-Musta an wa alaihi al-Tuklan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta TNI-Polri tidak mengundang penceramah radikal. BNPT menilai pernyataan Jokowi harus ditanggapi serius juga oleh seluruh kementerian, lembaga pemerintah, hingga masyarakat.
“Sejak awal kami (BNPT) sudah menegaskan bahwa persoalan radikalisme harus menjadi perhatian sejak dini karena sejatinya radikalisme adalah paham yang menjiwai aksi terorisme,” kata Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Ahmad Nurwakhid dalam keterangannya, Sabtu (5/3/2022).
“Radikalisme merupakan sebuah proses tahapan menuju terorisme yang selalu memanipulasi dan mempolitisasi agama,” katanya.
Ahmad Nurwakhid pun menyebutkan ciri penceramah radikal yang dilihat bukan tampilannya, melainkan dari beberapa indikator dari isi materi yang disampaikan.
Pertama, yakni mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro-ideologi khilafah transnasional. Kedua, mengajarkan paham takfiri, yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.
Ketiga, menanamkan sikap antipemimpin atau pemerintahan yang sah. Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan. Kelima, biasanya memiliki pandangan antibudaya ataupun antikearifaan lokal keagamaan.
“Ada tiga strategi yang dilakukan oleh kelompok radikalisme. Pertama, mengaburkan, menghilangkan, bahkan menyesatkan sejarah bangsa. Kedua, menghancurkan budaya dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Ketiga, mengadu domba di antara anak bangsa dengan pandangan intoleransi dan isu SARA,” urai Nurwakhid.*