Hidayatullah.com–Seorang pria berusia 68 tahun digantung hingga mati karena kasus perdagangan narkoba di Singapura dalam eksekusi pertama yang dilakukan di negara kota itu kurun lebih dari dua tahun, sementara kantor hak asasi PBB menyatakan keprihatinannya.
Abdul Kahar bin Othman dihukum bersalah dalam dua dakwaan perdagangan diamorfin pada tahun 2013. Dia dijatuhi hukuman mati pada tahun 2015.
Diyakini sejak 2019 Singapura tidak melaksanakan eksekusi mati, disebabkan masih ada proses hukum di pengadilan yang berusaha agar eksekusi dibatalkan. Namun sekarang, keluarga para terpidana mati resah pihak berwenang akan kembali melaksanakan eksekusi guna membersihkan daftar terpidana mati.
Kirsten Han, seorang jurnalis dan aktivis yang telah menghabiskan satu dekade berkampanye menentang hukuman mati, mengatakan bahwa Abdul Kahar dieksekusi pada Rabu pagi (30/3/2022), lansir The Guardian.
Menurut aktivis itu, Kahar berjuang mengatasi kecanduan narkoba sejak masa remajanya, dan telah menghabiskan sebagian besar hidupnya di penjara. Saudara-saudaranya mengatakan kepada Han bahwa ayah mereka, yang bekerja untuk militer Inggris, meninggal dunia di usia sekitar 40 tahun dan sejak itu keluarganya mengalami kesulitan keuangan.
“Pemerintah Singapura senantiasa mengklaim bahwa hukuman mati adalah pencegah efektif bagi perdagangan narkoba. Mereka berbicara tentang bahaya yang dapat ditimbulkan oleh narkoba pada orang-orang yang kecanduan, dan bersikukuh pelaksanaan hukuman mati akan membantu melindungi masyarakat dan menyelamatkan nyawa. Tetapi tidak ada bukti yang jelas bahwa hukuman mati lebih efektif daripada hukuman lainnya dalam mencegah pelanggaran narkoba,” kata Han.
Kisah Abdul Kahar menunjukkan situasinya jauh lebih rumit dari sekedar narasi “buruk” pengedar narkoba dan “korban” pengguna narkoba, imbuhnya.
“Dia sendiri berjuang melawan kecanduan heroin. Dia membutuhkan perawatan berkelanjutan, konseling dan dukungan untuk berintegrasi kembali ke dalam masyarakat. Keluarganya juga membutuhkan bantuan dan bimbingan tentang cara terbaik untuk mendukungnya. Namun sebaliknya, justru yang diterima Abdul Kahar adalah hukuman, berupa pemenjaraan yang hanya membuatnya semakin mengasingkannya dari masyarakat dan menjadi korban stigma. Dan sekarang dia sudah tiada.”
Selain Abdul Kahar, tujuh terpidana mati lain sudah mendapatkan pemberitahuan eksekusi sejak 2019, menurut Transformative Justice Collective, kelompok yang mengkampanyekan reformasi sistem hukum Singapura.
Salah satunya adalah Nagaenthran K Dharmalingam, seorang pria dengan ketidakmampuan belajar, yang telah menghabiskan satu dekade di penjara menunggu eksekusi mati karena memperdagangkan sejumlah kecil heroin. Permohonan bandingnya ditolak oleh pengadilan tinggi Singapura pada hari Selasa, meskipun ada protes internasional atas kasusnya.
UN Human Rights Office menyerukan agar eksekusi Abdul Kahar dihentikan dan diganti dengan hukuman penjara. “Kami prihatin dengan banyaknya pemberitahuan eksekusi tahun ini,” kata badan HAM PBB itu.
Kepala misi European Union, negara-negara anggota Uni Eropa dan misi diplomatik dari Norwegia dan Swiss di Singapura, mengeluarkan seruan serupa dalam sebuah pernyataan bersama. Mereka mendesak pihak berwenang agar memberlakukan moratorium terhadap semua eksekusi “sebagai langkah positif pertama menuju penghapusannya”.
Pemerintah Singapura tidak memberikan tanggapan ketika dimintai komentarnya terhadap seruan-seruan tersebut.*