MAJAPAHIT meraung-raung di sepanjang rel besi tak berujung pandang. Kereta Api tenaga diesel ini diseret lokomotif meninggalkan kawasan barat pulau Jawa.
Di dalamnya, beratus-ratus penumpang mulai hanyut dalam dunia masing-masing. Seiring raga mereka yang menjauhi hiruk-pikuk politik ibukota negara jelang pemilihan presiden.
Ini perjalanan kesekian kalinya ke Jawa Timur. Kami berangkat dari Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat pada Selasa pertama di bulan Juni, tepat pukul 17.20 WIB sesuai jadwal. Setelah semalaman mengarungi daratan, KA Majapahit tiba di Stasiun Malang keesokan harinya, Rabu (4/6/2014), pukul 09.07 WIB dalam catatan saya. Telat hampir satu jam dari waktu di tiket, yaitu pukul 08.11 WIB.
Suasana Malang masih seperti setengah tahun lalu saat saya dan Abdul Hadi menyambangi kota ini. Udaranya segar minim polusi. Lalu lintasnya lebih lancar dan teratur dibanding Jakarta.
Dari stasiun kami bergeser menuju Kota Batu. Di pertengahan jalan, Imen dan Fadly yang menjemput kami mengajak sarapan di sebuah warung nasi.
Warung ini terletak di pinggir barat Jalan Raya Jetis, Kabupaten Malang, sekitar 30 menit dari Stasiun Malang dengan berkendara sepeda motor. Di depannya, terdapat poster merah bertuliskan “Sego Duro Pecel Tumpang” yang digantung di tiang listrik.
Menu utamanya adalah nasi duro, yang menurut Imen, berasal dari Madura. Sego Duro terdiri dari nasi putih, dengan lauk telor rebus dibelah dua, disiram kuah sayur (santan), ditambah orek kentang, potongan semur daging, serundeng, dan sambal.
Selain itu, ada pula nasi pecel dengan racikan kurang lebih seperti nasi pecel pada umumnya. Wadah makan di tempat ini berupa ‘piring’ yang dirajut dari lidi. Piring rajut ini dilapisi kertas khusus yang biasa dipakai pembungkus nasi.
Pelayan sekaligus pemilik warung ‘kaki lima’ ini adalah Ibu Iwan. Dia mengaku warungnya sudah berdiri di tempat tersebut sejak April 2012.
“Pelanggannya mahasiswa, bapak-bapak, ibu-ibu, banyaklah,” ujar dia sambil melayani para pelanggan yang datang silih berganti.
Menurut Imen, meski warung tersebut “baru” berdiri, tapi sudah ramai diminati para mahasiswa. Selain harganya murah, juga karena menunya enak, kata dia.
“Ada telornya, ada tahunya, ada dagingnya, harganya (cuma) Rp 9 ribu. Aku tuh hampir tiap pagi sarapan di situ tuh,” tutur Imen, mahasiswa semester akhir Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini.
Uniknya, ‘bangunan’ warung tersebut hanyalah sebuah mobil sedan model lama. Mobil bermerek Mazda ini diparkir di atas trotoar jalan. Penutup bagasi belakangnya dibuka dan dijadikan meja pelayanan. Para pelanggannya bisa bersantap di atas kursi plastik yang telah disediakan di dekat ‘meja’.
Sejak awal mengunjungi warung jalanan ini, perhatian saya sudah tertuju pada sebuah poster kampanye politik di samping atas dekat warung. Poster agak besar itu diikat di sebuah pohon, dengan gambar pasangan capres-cawapres nomor urut 1, Prabowo Subianto–Hatta Rajasa. Poster yang dilengkapi logo partai-partai pendukung pasangan ini memang banyak bertebaran di Jalan Jetis.
Tak ayal, suasana sarapan pagi itu bisa dibilang ‘bernuansa’ politis. Memang, menjauh ratusan kilometer dari Jakarta pun tak akan lepas dari kebingaran pilpres. Sesekali obrolan saya-Abdul Hadi dengan Imen-Fadhly menyinggung isu hangat ini. Meski kedua sahabat saya asal Balikpapan, Kalimantan Timur itu lebih banyak membicarakan dunia kuliahnya.
“Alhamdulillah, jamuan yang cukup murah di pagi hari. Yang luar biasa dan cukup mahal tidak ada di Jakarta adalah suasana dan udaranya yang sejuk,” Abdul Hadi mengungkapkan kesannya.

“Keluarga Jokowi” di Rumah Makan Elit
Selama di kawasan Malang Raya, saya dan rekan di Kelompok Media Hidayatullah tersebut menginap di kantor redaksi Radio Mitra 97FM, Jalan Wukir no. 4, Temas, Batu. Usai shalat Zhuhur, kami diajak makan siang oleh seorang petinggi radio tersebut, Mas Pam, demikian sapaan akrabnya.
Dari Mitra, kami berjalan kaki mendaki ke arah utara. Sekitar 200 meter dari Batu Town Square (Batos), terdapat sebuah rumah makan bernama “Gule Kepala Ikan Mas Agus”. Bangunan berlantai satu ini terletak di sebelah timur Jalan Diponegoro. Interiornya terkesan cukup elit, dengan dominasi cat kuning kombinasi hijau muda.
Begitu hendak masuk, pandangan saya tertuju ke dinding kaca di samping pintunya. Dinding itu ditempeli 12 lembar foto pelanggan yang pernah bersantap di sini. Salah satunya foto seorang pria berkemeja putih dengan lengan baju digulung. Pria berambut agak tipis yang disisir ke samping itu tampak sedang menikmati makanan dengan sendok di tangan kanan.
Di foto itu terdapat tulisan, “Kel. Bp. Joko Wi.”
Bisa dipastikan, maksud tulisan itu adalah keluarga Joko Widodo atau Jokowi. Capres dari PDI-P pasangan cawapres Jusuf Kalla ini tampaknya pernah singgah di rumah makan ‘kepala ikan’. Di samping “Jokowi”, terdapat pula foto dai terkenal Ustadz Yusuf Mansur.
Usai memperhatikan sejenak foto-foto tersebut, Mas Pam segera memesan menu ikan kakap air tawar. Begitu dihidangkan oleh pelayan, saya terkaget-kaget. Tampak tiga ekor ikan kakap dengan panjang hampir dua kali sendok makan terhidang di atas tiga piring berbeda. Menu ini dilengkapi daun singkong, sambal, air jeruk, dan tentu nasi putih. Ikan kakap yang tenggelam di kuah bumbunya terlihat nyaris utuh.
“Ini satu orang (untuk) satu porsi?” tanya saya memastikan, langsung diiyakan kedua rekan. Ternyata, daging ikan tersebut hanya utuh pada bagian kepalanya, bukan di seluruh badannya. Tapi ‘serpihan’ dagingnya juga bisa diseruput dari sudut-sudut tulang ikan. Slruup!
Mas Pam mengaku, dia sudah beberapa kali ke tempat tersebut. Harganya pun relatif tidak begitu mahal. “Sekitar Rp 15 ribu per kepala (ikan),” ujarnya.
Menurut obrolan Abdul Hadi dengan pelayannya, ikan kakap air tawar itu hanya terdapat di Semarang, Jawa Tengah. Rekan saya ini pun mengaku, saat menyantapnya, memorinya terbawa ke daerah Fakfak, Papua Barat.
“Di sanalah ana (saya) mendapatkan rasa masakan kepala ikan kakap yang fantastis, ditambah sentuhan kokinya yang lihai memainkan rempah-rempah Papua,” ujar aktivis lembaga dakwah Yayasan Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN) yang sering terbang ke wilayah Irian Jaya (Nuu Waar) ini.
Saya nyaris selidah serasa dengannya. Saat menikmati ikan kakap ini, saya paling terakhir selesai. Selain memang yang terakhir makan di antara kami bertiga, saya juga sangat efektif dan selektif menjamah sudut demi sudut ikan tersebut. Begitu nikmat, Masya Allah!
Saking nikmatnya, sampai-sampai saya lupa akan hiruk-pikuk pilpres di negeri ini. Pun terlupa bertanya kepada pengelola rumah makan tersebut, “Jokowi datang ke tempat ini sebelum atau sesudah jadi capres ya?”*