Hidayatullah.com—Iran menghapus pasukan polisi moral setelah lebih dari dua bulan berjuang melawan gelombang protes yang meluas setelah kematian Mahsa Amini pada 16 September, kutip AFP.
Demonstrasi digambarkan sebagai ‘kerusuhan’ oleh pihak berwenang meletus ketika Amini, 22, meninggal saat dalam tahanan polisi moral karena diduga melanggar aturan berpakaian bagi perempuan di Iran.
“Polisi moral tidak ada hubungannya dengan peradilan dan telah dihapuskan,” kata Jaksa Agung Mohammad Jafar Montazeri, menurut laporan kantor berita ISNA, hari Ahad (04/12/2022).
Dia dilaporkan mengatakan ini di sebuah konferensi keagamaan, ketika menjawab pertanyaan peserta tentang mengapa polisi moral dihapuskan.
Protes di Iran telah berkembang menentang tindakan keras tersebut. Pasukan polisi moral atau nama resminya, Gasht-e Ershad, didirikan pada masa pemerintahan mantan Presiden, Mahmoud Ahmadinejad, dan mulai berpatroli pada tahun 2006.
Pendirian unit tersebut bertujuan untuk ‘menyebarkan budaya kesopanan dan hijab’, dengan wanita diwajibkan untuk memakai hijab.
Pengumuman penghapusan pasukan datang sehari setelah Montazeri dikutip mengatakan bahwa ‘baik Parlemen dan peradilan berurusan dengan (masalah)’ tentang apakah undang-undang yang mengamanatkan perempuan untuk mengenakan jilbab di Iran harus diubah.
Jilbab wajib dikenakan, empat tahun setelah revolusi 1979 yang menggulingkan monarki yang didukung Amerika Serikat (AS) dan mendirikan Republik Islam Iran.
Namun, cara berpakaian wanita di Iran berangsur-angsur berubah, terutama pada masa pemerintahan mantan Presiden Hassan Rouhani, dengan kelompok yang semakin terlihat mengenakan jeans ketat dengan hijab longgar dan berwarna-warni.
Namun, Juli lalu, Presiden Ebrahim Raisi yang menggantikan Rouhani, memerintahkan seluruh lembaga negara untuk menegakkan hukum jilbab. Jilbab diwajibkan empat tahun setelah revolusi 1979 yang menggulingkan monarki yang didukung AS dan mendirikan Republik Islam Iran.
Polisi moralitas awalnya mengeluarkan peringatan sebelum mulai menindak dan menangkap perempuan 15 tahun lalu. Mereka biasanya terdiri dari pria berseragam hijau dan wanita yang mengenakan cadar hitam, pakaian yang menutupi kepala dan tubuh bagian atas.
Peran polisi moral berkembang, tetapi selalu kontroversial bahkan di antara kandidat yang mencAl-nkan diri sebagai presiden.
Selanjutnya norma pakaian berangsur-angsur berubah, terutama di bawah mantan presiden Hassan Rouhani, dan wanita menggunakan jeans ketat dengan jilbab longgar berwarna-warni menjadi hal yang biasa di Iran.
Namun pada Juli tahun ini penggantinya, Raisi yang ultra-konservatif, menyerukan mobilisasi “semua lembaga negara untuk menegakkan hukum jilbab.” Raisi pada saat itu menuduh bahwa “musuh Iran dan Islam telah menargetkan nilai-nilai budaya dan agama masyarakat dengan menyebarkan korupsi.”
Saat itu, Raisi dikabarkan mengklaim bahwa ‘musuh Iran dan Islam telah mengincar nilai-nilai agama dan budaya masyarakat, dengan menyebarkan korupsi.’ Meski begitu, masih banyak perempuan yang terlihat melanggar aturan dengan membiarkan jilbabnya jatuh di bahu atau mengenakan celana ketat, terutama di kota-kota besar.*