Hidayatullah.com—Ahad siang (8/1/2023) dengan cuaca sangat terik muhajirin Rohingya kembali terdampar di Pantai Pesisir Aceh Besar. Sebanyak 184 orang pria, wanita dan anak-anak ini ditemukan di Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar, setelah terombang-ambil di laut selama 2 minggu.
Kedatangan muhajirin Rohingya ini berawal dari informasi beberapa pemancing di muara Kuala Gigieng Lambada Lhok Aceh Besar, saat melihat sebuah perahu merengsek ke bibir Kuala yang berisi manusia.
“Informasi itu secara cepat tersebar ke warga nelayan di Desa Lambada Lhok dan segera keluar rumah untuk membantu,” ujar Azwir Nazar, Direktur Cahaya Aceh kepada hidayatullah.com, Senin (9/12023).
“Salah satu nelayan bernama Adi Daod, menghidupkan boat-nya ingin menjemput saudara Rohingya yang katanya banyak Ibu Ibu dan anak anak,” tambah Azwir.
Arah angin yang cepat berhembus ke Timur, akhirnya boat nelayan ini menepi di tepian kanan Kuala Gigieng, berbatasan Lambada-Gp Baroe. Akhirnya warga pun berputar haluan masuk ke pantai di sela sela pohon cemara melalui Desa Lamnga dan menuju Gampong Baro, yang menjadi wilayah Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar.
Karena akses yang jauh dengan pemukiman penduduk dan jalan Raya, terpaksa pengunjung harus berjalan kaki lebih 500 meter untuk sampai di tepi Kuala dan melihat muhajirin Rohingya.
Azwir Nazar, yang kebetulan warga Lambada Lhok dan dekat dengan kejadian segera ke lokasi bersama warga. Masyarakat dari Desa Lamnga, Gampong Baro dan sekitar melihat langsung muhajirin Rohingya tersebut.
“Alhamdulillah masyarakat kita walaupun berjalan kaki cukup jauh, tapi sangat antusias datang membantu. Mereka menunjukkan simpati. Walau tak bisa bahasa Rohingya, tapi menunjukkan kemanusiaan yang dalam” sebut mantan Presiden PPI Turki itu.
“Apakah Anda semua muslim? Tanya Azwir kepada muhajirin Rohingya yang diterjemahkan oleh Fairuz (25), salah seorang etnis Rohingya yang bisa Bahasa İnggris.
“Rohingya ini adalah saudara kita. Mereka teraniaya. Jadi kalau sudah terdampar begini, ada yang bisa dibantu, kita bantu. Atas dasar kemanusiaan. Bukan yang lain,” pinta Azwir yang didampingi pak Mukim Lamnga Tgk Wahidin.

“Insya Allah kondisi mereka tadi siang kelihatan baik. Ada sekitar 184 orang. Anak anak sekitar 40 orang. Dan perempuan banyak yang bercadar,” sebutnya.
Temuan ini langsung ke Kadis Sosial Aceh. “Alhamdulillah Pak Kadis Dr Yusrizal merespon dengan cepat. Beliau berkoordinasi dengan Dinsos Abes,” sebut Azwir.
Azwir berharap, pemerintah bersama stakeholder dan lembaga international menemukan solusi permanen dan bermartabat atas muhajirin ini.
“Bagaimanapun mereka adalah manusia juga. Ingat dulu kita Aceh pernah mengalami masa konflik dan Tsunami. Berbondong-bondong bangsa di dunia tanpa melihat ras, etnis, agama datang membantu,” demikian pinta Azwir yang juga pengurus Lembaga Adat Laot Aceh.
Teraniaya di dunia
Sementara itu, Pj Bupati Kabupaten Aceh Besar Muhammad Iswanto menegaskan penampungan pengungsi Rohingya yang sudah dua kali terdampar ke wilayah tersebut hanya untuk misi kemanusiaan, dengan tetap mengacu pada regulasi yang berlaku.
“Terkait imigran Rohingya ini, Pemkab Aceh Besar hanya sebatas misi kemanusiaan dan kedaruratan,” kata Muhammad Iswanto, di Aceh Besar, dikutip Antara.
Sementara ini, warga Rohingta ini telah ditampung di UPTD Tuna Sosial milik Pemerintah Aceh di kawasan Aceh Besar bersama 57 rekan mereka yang sudah lebih dulu mendarat di kawasan tersebut.
“Kita telah berkoordinasi dengan Dinsos Aceh, dan telah diberikan izin untuk penampungan sementara di UPTD Dinsos Aceh itu,” ujar Iswanto.
Iswanto menyampaikan, pihaknya telah melaporkan terkait kedatangan imigran Rohingya tersebut kepada Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki, serta ke Imigrasi Aceh, IOM dan UNHCR.
Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) mengatakan bahwa tahun 2022 sebagai salah satu tahun paling menghancurkan dalam hampir satu dekade bagi pengungsi Rohingya, yang telah lama dianiaya di Myanmar.
Selama bertahun-tahun, mereka melarikan diri ke negara tetangga seperti Thailand, Bangladesh, Malaysia dan Indonesia yang mayoritas Muslim.
Hampir satu juta Rohingya dilaporkan hidup dalam kondisi penuh sesak di Bangladesh, termasuk ratusan ribu orang yang melarikan diri dari penumpasan di bawah junta militer Myanmar pada 2017.
Bahkan, berbagai pihak menyerukan agar junta militer Myanmar diadili di Mahkamah Internasional (ICJ) karena melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kelompok hak asasi manusia telah mencatat peningkatan yang signifikan dalam jumlah pengungsi yang meninggalkan kamp di Bangladesh, namun tidak jelas apa yang mendorong langkah tersebut.
Banyak yang percaya pencabutan pembatasan Covid-19 di seluruh Asia Tenggara dapat mendorong mereka untuk mencoba nasib secara massal setelah hampir tiga tahun di bawah kendala ancaman virus corona.*