Setelah meminta kewenangan menahan dan memeriksa siapa pun yang terkategori sebagai tersangka teroris dalam Rancangan Undang-Undang Antiterorisme, Badan Intelijen Negara (BIN) kini juga meminta, melalui RUU intelijen, kewenangan untuk menangkap, menahan, memeriksa, menggeledah, serta mencegah orang sebagai upaya memberikan perlindungan dan keselamatan Negara.
Namun dalam draft RUU tertanggal 25 Januari 2002 termuat beberapa pasal krusial yang harus diwaspadai oleh kaum Muslim. Pasal-pasal tersebut di antaranya: Pertama, Pasal 21, yang bunyinya, “Dalam rangka melaksanakan penyelidikan, sebagai upaya memberikan perlindungan terhadap ketenteraman dan keselamatan masyarakat, petugas intelejen Negara berwenang melakukan: a) Penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penggeledahan, serta pencegahan dan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga kuat terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan ancaman nasional.”
Kedua, Pasal 26, yang berbunyi, “Penangkapan sebagaimana yang dimaksud Pasal 21 (a), dilaksanakan paling lama 7×24 jam.”
Ketiga, Pasal 27, berbunyi, “1) Penahanan dalam rangka pemeriksaan intelijen, sebagaimana dimaksud pasal 21 (a), berlaku paling lama 90 hari, dan 2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang paling lama 3×90 hari.”
Keempat, Pasal 28, yang berbunyi, “Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 21 (a) bagi tersangka: a) Berlaku sistem inquisitor (penyelidikan), b) tidak mempunyai hak untuk didampingi advokat dan c) Tidak mempunyai hak untuk diam atau tidak menjawab pertanyaan pemeriksaan.”
Kelima, Pasal 30, yang berbunyi, “Apabila dari hasil pemeriksaan intelijen sebagaimana yang dimaksud Pasal 21 (a): a) Terdapat cukup bukti-bukti awal bahwa tersangka terlibat dalam kegiatan ancaman nasional, maka tersangka dan barang-barang sitaan sebagaimana dimaksud Pasal 21 (b) diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kejaksaan Agung Republik Indonesia, untuk diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.”
Dari beberapa pasal di atas tampak jelas bahwa Negara melalui BIN mempunyai kewenangan untuk: Pertama, melakukan aktivitas mata-mata secara sah terhadap rakyatnya sendiri guna mencari orang-orang yang diduga mengancam keselamatan Negara.
Kedua, BIN berhak melakukan penangkapan secara non-yudisial, yang berarti diperbolehkan melakukan penculikan; apalagi ketika orang yang diduga melakukan tindakan yang membahayakan bagi keselamatan Negara ditangkap, yang mengetahuinya hanyalah BIN semata, sedangkan instrumen hukum Negara yang lain tidak tahu menahu atas persoalan ini. Ini mengingatkan kita pada polisi rahasia savak pada masa rezim syah Iran yang terkenal melakukan penculikan, penghilangan orang, penganiayaan/penyiksaan, penahanan, interogasi dengan sistem inkusisi, dan sejenisnya!
Ketiga, BIN berhak melakukan pemeriksaan dengan sistem inkuisisi, tersangka tidak berhak didampingi advokat, dan tersangka tidak boleh diam atau tidak menjawab pertanyaan. Bukankah klausul ini bertentangan dengan prinsip-prinsip umum dalam hukum manapun, karena seorang tersangka berhak membela diri (atau didampingi pembela)? Lagi pula, yang berhak melakukan inkuisisi adalah institusi peradilan, sementara BIN bukanlah intitusi peradilan.
Dengan demikian, pasal-pasal dalam RUU Intelijen dapat mengarah pada legitimasi akan adanya sejenis polisi rahasia, yang di negeri manapun, dalam sejarahnya, hanya berujung pada penciptaan ketakutan dan kesengsaraan rakyat.
Pasal-pasal dalam RUU Intelijen juga bersifat elastis (dikenal dengan pasal karet). Contohnya saja definisi dan parameter dari kalimat yang diduga kuat terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan ancaman nasional. Jika demikian, bukankah mungkin pula institusi BIN disalahgunakan sehingga menebarkan ketakutan dan ancaman terhadap masyarakatnya sendiri, dan itu berarti BIN bisa menjadi ancaman nasional? Belum lagi adanya perbedaan-perbedaan kepentingan politik yang ada; apabila dianggap merugikan kepentingan penguasa saat itu—sesuai dengan pemahaman pasal ini—maka lawan-lawan politiknya bisa dihancurkan melalui jalur intelijen dengan dakwaan mengganggu keselamatan Negara.
Latar Belakang Lahirnya RUU Intelijen
Masyarakat sudah mafhum bahwa lahirnya RUU Intelijen lebih karena faktor tekanan eksternal (yaitu pihak AS) dan kondisi politik global, terutama setelah Peristiwa 11 September 2001. Pasca runtuhnya Gedung WTC, AS, melalui George W Bush, langsung menabuh genderang perang terhadap Islam dan kaum Muslim, dengan memproklamirkan the Crusade (Perang Salib), yaitu istilah yang khusus digunakan raja-raja Kristen Eropa untuk memerangi kaum Muslim pada abad pertengahan. Pada tanggal 20 September 2001, Bush yunior menebar ancaman ke seluruh dunia: Every nation in every region, now, has a decision to make either you are with us, or you are with the terrorist (Setiap negara di wilayah mana saja, sejak saat ini, harus memutuskan apakah bersama kami, yaitu AS, atau bersama teroris, yaitu Islam dan kaum Muslim).
Sejak saat itu, kondisi politik global mengimbas terhadap kondisi politik regional, bahkan nasional. Dengan ultimatum AS pula, seluruh negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia, diharuskan menentukan sikapnya, apakah bersama AS ataukah bersama ‘teroris’ (baca: pihak yang mengancam eksistensi dan kepentingan AS). Tidak terkecuali, dunia intelijen pun diharuskan memilih, apakah bersama AS ataukah bersama ‘teroris’.
Keberpihakan Indonesia sudah jelas. Ini dibuktikan dengan kunjungan Megawati ke Washington seminggu setelah Peristiwa 11 September. Pada saat itu Indonesia memperoleh carrot (artinya wortel, suatu istilah buatan AS, berupa bantuan militer atau keuangan terhadap negara-negara yang mendukung AS).
Dari sini sudah jelas, bahwa lahirnya RUU Intelijen tidak terlepas dari adanya kepentingan global AS. Para penguasa negeri-negeri Muslim pada akhirnya menjadi operator dari kepentingan AS, tidak terkecuali institusi intelijennya.
Karena itu, tidak aneh apabila visi, klausul, maupun obyek dari pasal-pasal RUU Intelijen diarahkan pada pihak-pihak yang oleh AS didefinisikan sebagai ‘teroris’. Jika pasal-pasal itu juga bisa digunakan untuk menjaga penguasa dari kursi kekuasaannya, dengan memukul lawan-lawan politiknya, hal itu adalah implikasi lain yang bersifat sekunder.
Intelijen dalam Pandangan Islam
Intelijen, yang di negeri-negeri Islam selalu menakutkan masyarakat, biasa dikenal dengan mukhâbarât. Institusi ini menjadi tangan kanan penguasa untuk memata-matai rakyatnya sendiri. Pada masa syah Iran, institusi intelejen ini dikenal dengan polisi rahasia savak.
Bolehkah menurut hukum Islam aktivitas memata-matai rakyat yang notabene adalah kaum Muslim? Allah Swt telah melarang aktivitas memata-matai (tajassus), baik yang dilakukan oleh individu terhadap individu Muslim lainnya, maupun oleh negara terhadap individu kaum Muslim. Allah Swt. berfirman:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّس
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan (dengan memata-matai) orang lain. (TQS. al-Hujurat [49]: 12).
Ayat di atas melarang berprasangka buruk, termasuk menyangka orang atau pihak tertentu sebagai ‘teroris’; juga melarang aktivitas memata-matai masyarakat dengan dalih apa pun. Ayat di atas berbentuk umum, yakni aktivitas tajassus (memata-matai) dalam hal apa saja. Dengan kata lain, dengan dalih atau tujuan apa pun tidak dibenarkan (haram hukumnya) memata-matai masyarakat kaum Muslim maupun ahlu dzimmah.
Di dalam sistem hukum dan kehidupan Islam, aktivitas tajassus (mata-mata) hanya ditujukan terhadap negara-negara kafir (dâr al-harb). Bahkan, adanya aktivitas tajassus atau intelijen yang ditujukan terhadap manuver negara-negara kafir adalah wajib. Dalilnya adalah as-Sunnah.
Hal itu dapat dipahami dari tindakan Rasulullah saw. yang mengutus ‘Abdullah bin Jahsy untuk memata-matai kafir Quraisy. Al-Waqidi mengisahkan isi surat Rasulullah saw yang diberikan kepada Abdullah bin Jahsy tersebut sebagai berikut:
Berjalanlah engkau sampai ke jantung daerah Nakhla—dengan nama Allah—dan sampai ke kolam (sumur)-nya. Janganlah engkau mencegah seorang pun dari sahabat-sahabatmu untuk turut bersamamu. Laksanakanlah perintahku beserta orang-orang yang mengikutimu sampai di jantung daerah Nakhla (terletak antara Makkah dan Thaif, red). Lalu amatilah gerak-gerik orang-orang Quraisy. (Muhammad Hamidullah., Majmû‘ah al-Watsâ’iq as-Siyâsiyah, hlm. 68).
Dalam setiap peperangannya, Rasulullah saw. juga selalu menjalankan aktivitas intelijen terlebih dulu untuk mengetahui kekuatan dan strategi musuh. Dengan begitu, akan diperoleh informasi tentang titik-titik kelemahan mereka. Keterangan tentang aktivitas intelijen tersebut banyak dijumpai dalam buku-buku sirah.
Walhasil, Allah Swt. mengharamkan secara mutlak individu atau negara untuk memata-matai atau melakukan aktivitas intelijen terhadap kaum Muslim ataupun kafir dzimmi yang menjadi warga negaranya. Sebaliknya, boleh bagi warga negara negeri-negeri Islam, dan wajib bagi negara untuk melakukan aktivitas intelijen yang ditujukan terhadap negara-negara kafir.
Apa yang Seharusnya Dilakukan?
Paparan di atas menunjukkan bahwa institusi intelijen bagi sebuah negara, wajib adanya. Hanya saja, visi, klausul-klausul, dan obyek (target)-nya harus diubah dan harus sesuai dengan akidah dan hukum-hukum Islam.
RUU Intelijen yang ada harus dikoreksi, dengan mengganti targetnya, yaitu bukan lagi memata-matai rakyat, melainkan memata-matai negara-negara kafir seperti AS, Inggris, Australia, Spanyol, Italia, dan negara-negara kafir pendukungnya. Sebab, merekalah yang selama ini mengancam dan menebar teror terhadap Islam dan seluruh kaum Muslim di dunia!
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Institusi intelijen seharusnya memiliki sarana-sarana pokok maupun penunjang agar dapat melakukan aktivitas intelijen baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang dapat memata-matai manuver-manuver politik, militer, ekonomi, dan perdagangan dari negara-negara kafir. Sebab, manuver-manuver mereka tidak lebih merupakan upaya untuk melanggengkan hegemoni serta memperluas eksistensi dan menjaga kepentingan mereka di seluruh dunia, termasuk di negeri-negeri Muslim. Jika hal ini yang dilakukan oleh para penguasa Muslim maka tindakan mereka dapat dianggap sebagai upaya untuk menjaga eksistensi negara kaum Muslim, memelihara sumber-sumber alam milik kaum Muslim, dan melindungi kepentingan-kepentingan kaum Muslim dari ancaman negara-negara kafir yang amat rakus!
Dengan demikian, institusi intelijen mampu mengungkap taktik, strategi, dan tipudaya negara-negara kafir, sehingga negara mampu menjaga eksistensi dan kemaslahatan penduduknya dari intervensi ekonomi, perdagangan, politik, maupun militer asing. Jika hal itu dilakukan maka pasti seluruh warga negara akan mendukung institusi intelijen, bahkan mereka akan berpartisipasi menjadi mata dan telinga tambahan bagi intsitusi intelijen dalam memata-matai aktivitas negara-negara kafir, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Untuk itu umat Islam harus berupaya:
Pertama, memiliki kesadaran ideologi dan politik Islam. Kesadaran ideologi Islam artinya kesadaran bahwa Islam bukanlah sekadar ajaran ritual dan moral semata, melainkan sebuah sistem kehidupan yang mengatur seluruh aspek kehidupan yang harus disampaikan ke seluruh dunia. Sementara itu, kesadaran politik adalah kesadaran untuk senantiasa mengikuti politik internasional dan aktivitas politik serta selalu mengamati dunia melalui sudut pandang akidah Islam. Tanpa kesadaran ideologi dan politik Islam, kaum Muslim hanya akan tergilas oleh arus informasi yang sebagian besar dikuasai oleh musuh-musuh Islam. Lama-kelamaan, tidak mustahil jika seorang Muslim yang tidak berkesadaran ideologi Islam dan politik Islam akan membenci Islam dan umatnya sendiri.
Kedua, perlu disadari bahwa kegiatan intelijen yang telah disusupi oleh kepentingan Barat dan sekutu-sekutunya merupakan senjata pemusnah dan racun mematikan bagi umat Islam dan ideologinya yang harus dihentikan. Untuk menghentikannya perlu adanya kesadaran dan kewaspadaan umat agar tidak terjebak oleh tipu-tipu muslihat yang licik lagi kejam dari AS dan sekutu-sekutunya. Ingatlah firman Allah Swt:
وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللهُ وَاللهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya. (TQS. Al-Anfâl [8]: 30). []