Hidayatullah.com—Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair Gesang Manggala Nugraha Putra SS SA MHum saat ini konten yang lebih menjual di kalangan pengguna sosial media seringkali adalah konten berkualitas rendah. Menurut Gesang, fenomena ini merupakan sesuatu yang tidak dapat terhindarkan.
Hal inilah yang menyebabkan lahirnya fenomena brainrot di kalangan generasi muda. Fenomena ini tidak selalu berbahaya, selama seseorang mampu menemukan keseimbangan dalam mengonsumsi konten digital.
“Dari sudut pandang saya, yang terpenting adalah menemukan titik keseimbangan. Menikmati konten receh tidak masalah, asalkan jangan berlebihan. Di sisi lain, kita juga dapat memanfaatkan media sosial dan perangkat digital untuk mendapatkan informasi yang bermanfaat,” terang Gesang pada “Airlangga Forum ke-212” yang disiarkan kanal YouTube Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga (UNAIR) Jumat (17/1/2025).
Menurutnya, fenomena brainrot mendorong generasi muda untuk menyadari pentingnya bersikap kritis terhadap konten-konten berkualitas rendah.
Salah satu amunisi utama dalam menghadapi brainrot adalah kapasitas individu sebagai pengguna media sosial.
Penyebaran konten berkualitas rendah juga tak terlepas dari peran algoritma pada platform media sosial. Algoritma berperan mendeteksi konten yang populer secara umum dan merekomendasikannya kepada pengguna.
Kendati demikian, Koordinator Media dan Branding di Pusat Informasi dan Komunikasi Publik (PKIP) UNAIR itu menegaskan bahwa pengguna memiliki kendali penuh atas konten yang muncul di beranda pengguna.
“Kita harus menyadari kemampuan otoritas, kapasitas, dan tanggung jawab kita sebagai pimpinan algoritma. Oleh karena itu, penting untuk memanfaatkan fitur-fitur di platform media sosial, seperti tombol dislike atau opsi not interested. Dengan memanfaatkan fitur tersebut, kita sebagai pengguna dapat menegaskan preferensi dan membatasi paparan terhadap konten yang kurang bermutu,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, brainrot kian menjadi isu hangat di kalangan generasi muda. Istilah tersebut menggambarkan kerusakan daya pikir akibat paparan berlebihan terhadap konten berkualitas rendah.
Hadirnya fenomena ini menjadi ancaman bagi generasi muda, khususnya generasi Z di era algoritma. *