Hidayatullah.com—Dalam insiden yang sangat meresahkan, 32 anak Muslim dan seorang wali senior dari desa Maida Babhangama di Bihar ditahan oleh Pasukan Perlindungan Kereta Api (RPF) di stasiun kereta api Mokama atas tuduhan perdagangan pekerja anak pada hari Senin, demikian dikutip Maktoob Media.
Dikutib media itu, anak-anak tersebut sedang dalam perjalanan untuk mengejar pendidikan Islam di Madrasah Jamia Zakariya di Surat, Gujarat. Merka ditahan selama hampir 14 jam sebelum dibebaskan karena tekanan yang meningkat dari penduduk setempat dan anggota masyarakat.
Menurut saksi mata dan anggota keluarga, para siswa tersebut ditahan hanya karena peci Muslim mereka.
Anak-anak tersebut mengenakan kurta-piyama tradisional dan kopiah, dilaporkan ditarik ke samping oleh staf RPF, yang mencurigai mereka akan diperdagangkan untuk pekerja anak.
Meskipun menunjukkan kartu identitas pelajar dan sertifikat penerimaan madrasah yang sah, pihak berwenang diduga menolak untuk mendengarkan dan tetap menahan mereka.
“Anak-anak itu kembali ke Surat setelah merayakan Idul Fitri bersama keluarga mereka. Bahkan setelah menunjukkan semua dokumen, RPF tidak mendengarkan para siswa atau wali mereka dan menahan mereka secara paksa,” kata Qaisar Rehan, warga setempat dari Maida Babhangama, kepada Maktoob.
Sebuah video viral di media sosial memperlihatkan anak-anak itu duduk dalam tahanan, tampak ketakutan dan bingung.
Ada dugaan, selama penahanan mereka tidak diizinkan bertemu siapa pun dari luar atau bahkan tidak diberi makan.
“Anak-anak itu menangis, mereka belum makan apa pun, dan mereka sangat ketakutan,” kata seorang warga yang mencoba menengahi.
Amin, warga setempat lainnya yang bergegas ke kantor polisi setelah mengetahui situasi tersebut, menceritakan bahwa ketika mereka mencoba berbicara dengan polisi, mereka diancam akan ditangkap.
“Kami disuruh pergi atau kami juga akan dibawa ke Patna atau dipenjara. Kami tetap pada pendirian kami dan mengatakan kepada mereka, Jika kalian tidak membebaskan anak-anak, tangkap kami juga,” katanya.
Akhirnya, setelah berunding selama berjam-jam, para siswa dan guru mereka dibebaskan larut malam.
Namun, trauma atas insiden tersebut masih membekas di hati anak-anak. “Kami semua menangis. Kami tidak tahu apa yang terjadi. Kami hanya ingin kembali ke rumah, “ ujar seorang siswa.
Insiden ini telah memicu kemarahan di antara penduduk setempat yang menuduh bahwa para siswa menjadi sasaran karena identitas dan penampilan Muslim mereka.
Banyak yang menuntut pertanggungjawaban dari RPF karena menahan siswa tanpa penyelidikan yang tepat dan atas perlakuan tidak manusiawi selama penahanan.
Belum ada pernyataan resmi yang dibuat oleh RPF atau polisi setempat sejauh ini.*