Hidayatullah.com–Sudah beberapa kali saya menunaikan Ramadhan di Malaysia ini. Demi pelajaran dan penghematan uang, terkadang saya tidak pulang hari raya. Saya kuliah dengan biaya sendiri, bukan beasiswa dari pemerintah, seperti warga negara lain yang dibiayai oleh pemerintah mereka.
Meski demikian, setiap Ramadhan, saya seolah menemukan kampung sendiri. Suasana puasa di sini agak lain dengan suasana Ramadhan di kampungku. Ada beberapa kebiasaan yang sudah menjadi adat yang membudaya di sini, di antaranya adalah bazar Ramadhan.
Di bazar Ramadhan, semua jenis makanan, ikan, sayur, dan kue tersedia. Setiap sore masyarakat akan datang ke sana membeli makanan untuk berbuka. Orang Kuala Lumpur sibuk bekerja dan mayoritas mereka (suami istri) sibuk bekerja. Karenanya, mereka lebih suka membeli makanan yang sudah masak untuk berbuka puasa karena tidak sempat untuk memasak di rumah.
Kebiasaan lain orang Kuala Lumpur, suka mengadakan acara syukuran dengan mengundang jamaah masjid datang berdoa dan makan di rumahnya.
Di bulan Ramadhan, mereka suka memberi uang ke masjid-masjid guna dibelikan makanan untuk berbuka orang yang berpuasa. Di samping mereka meyakini amalan itu akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa, amalan itu juga diniatkan untuk mendoakan ahli keluarga mereka yang telah meninggal dunia.
Saya sering berbuka di masjid TNB (PLN kalau di Indonesia) karena di sana menyediakan makanan untuk berbuka puasa sebanyak 450 orang setiap harinya, dengan makanan yang dihidangkan seperti di restoran Padang saja.
Yang datang berbuka di sana berbagai macam lapisan masyarakat, tetapi kebanyakannya adalah mahasiswa karena jaraknya dekat dari kampus Universiti Malaya (UM) tempat aku belajar. Sebenarnya setiap masjid, surau, dan mushala, menyediakan makanan untuk berbuka puasa. Namun kualitas dan kuantitasnya berbeda mengikut besarnya masjid.
Kawan-kawan juga sering mengadakan acara berbuka puasa di rumahnya dengan mengundang pelajar dan masyarakat Indonesia yang berada di sana. Di rumah saya tidak memasak, hanya makan di warung. Hitung-hitung kalau bujang makan di luar lebih hemat dari masak sendiri.
Imam Kontrak
Di Kuala Lumpur kita bisa memilih berbagai masjid melaksanakan solat tarawih. Di samping karena jaraknya yang tidak terlalu jauh, juga karena semua tempat itu bisa dijangkau dengan mudah. Masjid-masjid besar biasanya menyediakan imam-imam yang hafal Al-Qur`an, yang sengaja dikontrak selama bulan Ramadhan.
Sebahagian imam itu sengaja didatangkan dari negara Arab yang hafaz Al-Qur`an. Saya suka sholat tarawih secara berganti-ganti kalau cuaca baik dan tidak hujan, ini karena saya hanya memiliki motor. Walaupun sepeda motor Honda 125 cc saya beli baru, namun di sini orang yang menggunakan sepeda motor dikategorikan sebagai orang miskin.
Mobil bukanlah barang mewah di sini. Harap maklum, karena setiap rumah biasa saja memiliki beberapa buah mobil. Ikan, daging, telur, susu, ayam, dan makanan lima sempurna lainnya, mudah didapati dan murah. Pemerintah Malaysia mensubsidi dari APBN barang keperluan pokok karena mereka ingin melihat rakyatnya sehat dan kuat melalui makanan yang seimbang.
Terkadang saya sholat di masjid negara dekat pusat Islam Jabatan Agama Wilayah Persekutuan karena suasana di sana lapang, tenang, bersih, dan nyaman. Terkadang saya sholat di Masjid Wilayah jalan Duta karena susana masjidnya seperti sebuah istana yang berdiri megah.
Berada di Masjid Wilayah membuat kita merasa bahwa Masjid Istiqlal Jakarta saat ini sudah jauh kalah dan tertinggal bila dibandingkan dengan masjid-masjid besar di Malaysia. Kalau waktu mendesak, saya hanya sholat di Masjid TNB, Masjid Abu Bakar Bangsar, masjid Al-rahman UM, atau bahkan di mushala dalam Apartement 21 Tingkat tempat saya tinggal sekarang.
Tapi ini mungkin agak beda dengan di Indonesia. Di masjid Negara Kuala Lumpur, semua manusia sama saja seperti di Mekah. Saya melihat pejabat-pejabat tinggi negara, seperti Perdana Menteri, Wakil Perdana Menteri, Menteri, tanpa kawalan yang berarti. Hanya para body guard yang ikut sholat dekat pejabat itu, yang tampak dari penampilan dan alat komunikasi yang berada di telinga mereka.
Secara berkala masjid-masjid di Kuala Lumpur mendatangkan anak-anak yatim dari berbagai panti asuhan untuk acara berbuka bersama, kemudian diberi bantuan dalam acara tersebut oleh para pejabat negara.
Saya lihat masyarakat Malaysia tidak begitu mengagumi pemerintah, seperti di Indonesia. Bagi mereka pemerintah adalah pelayan rakyat yang tidak perlu begitu dikagumi. Setelah sholat, hanya beberapa orang saja yang menyalami dan memfoto pejabat tinggi Malaysia melalui HP-nya.
Di sini tampak sekali bedanya dengan Indonesia yang terlalu mengagumi pemimpin. Orang kita mau menunggu berjam-jam berbaris di tengah teriknya matahari hanya untuk menunggu dan melihat kedatangan seorang pemimpin.
Waktu saya pergi ke Pekan Baru, Bukit Tinggi, Jogja, dan berbagai kota lainnya di Indonesia, saya pernah beberapa kali terpaksa tidur di hotel murah karena semua hotel telah penuh. Saat kami tanya kenapa penuh, pihak hotel menjawab, “Besok Bapak Presiden mau berkunjung ke sini, semua hotel telah disewa. Sengaja dikosongkan untuk langkah-langkah keselamatan.” “Wah hebat betul pengorbanan rakyat untuk seorang Presiden di Negara-ku ini,” pikirku.
Berada di masjid besar Kuala Lumpur membuat kita merasa tidak ingin keluar karena begitu tenang, nyaman, dan damai di dalamnya. Dunia luar adalah sebuah masalah besar yang penuh dengan kegelisahan dan keluh kesah serta masalah.
Di masjid-masjid Malaysia tidak kita jumpai pengemis yang meminta sedekah. Tidak ada tukang semir sepatu yang menawarkan jasanya. Ini karena hak-hak mereka telah dijaga dan dipelihara oleh pemerintah. Setiap bulan orang-orang miskin di negara ini menerima bantuan dari pemerintah pusat, dari pemerintah negara bagian dan terkadang dari pihak swasta.
Tidak ada kotak infak yang berjalan di antara para jamaah di masjid sini. Kita diberi ketenangan sepenuhnya untuk melaksanakan ibadah dengan tenang dan damainya. Akan tetapi semua fasilitas itu tampaknya tidak dimanfaatkan secara optimal oleh rakyat Malaysia yang beragama Islam. Jarang sekali kita jumpai masjid-masjid itu penuh seperti di Indonesia. Mungkin karena ukurannya yang terlalu besar atau terlalu banyak, saya tidak tahu.
Sepuluh malam terakhir masjid-masjid besar mengadakan program qiyamul lail. Saya suka mengadakan iktikaf 10 malam terakhir di masjid. Di masjid disediakan makan sahur sehingga saya tidak perlu pulang ke rumah untuk makan sahur. Target membaca 1 juz Al-Qur`an setiap hari terkadang sering bolong karena kesibukanku sehari-hari. Di sepuluh malam terakhir inilah saya manfaatkan untuk khatam bacaan Al-Qur`an pada bulan Ramadhan.
Beda dengan Indonesia
Secara umum Malaysia dan Indonesia memiliki kultur budaya yang hampir sama. Sejarah mengatakan bahwa masyarakat di kedua negara ini berasal dari satu rumpun yang sama. Namun bedanya di masjid-masjid Malaysia tidak menyediakan kotak infak yang dijalankan di antara para jamaah.
Hampir semua masjid di Malaysia dibangun oleh pemerintah dan bukan dari swadaya masyarakat, seperti di Indonesia. Biaya pembangunan sampai beli karpet, sapu, dan biaya operasional lainnya semuanya dibiayai dari APBN Malaysia setiap tahunnya. Kalau sebuah kaca pecah, jamaah akan menunggu datangnya pemerintah memperbaiki kaca masjid mereka.
Padahal umat Islam di sini hanya 60,4% saja. Ini berbeda dengan di Indonesia yang jamaahnya suka membangun masjid karena kurangnya perhatian dan bantuan dari pemerintah. Padahal umat Islam di Indonesia lebih 88,20% dari keseluruhan jumlah penduduknya.
Imam masjid, penceramah, bilal, pegawai dan petugas masjid digaji dari anggaran negara Malaysia. Imam masjid memiliki taraf yang tinggi dan dihormati di kalangan masyarakat. Seorang imam di masjid besar biasa saja memakai mobil mewah seperti BMW atau Marcedes.
Organisasi keislaman di Malaysia, seperti; ABIM, JAKIM, JAIS, JAWI, ILIM, dan sebagainya, juga mendapat anggaran belanja dari APBN. Ini berbeda dengan Indonesia yang hampir semua biaya operasional masjid dan organisasi keislaman, seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan sebagainya, yang dibiayai oleh jamaah dan anggota persyarikatan.
Jamaah dan umat Islam Malaysia dilayani seperti raja dalam bidang ibadah mereka kepada Allah. Akan tetapi hak-hak berpolitik dan bersuara di sini agak ditekan dan kurang kebebasan seperti di Indonesia.
Kelemahan di Malaysia adalah kurangnya interaksi antara jamaah. Masing-masing sibuk dengan masalah sendiri. Tegur sapa dan senyuman jarang kita jumpai di antara jamaah dalam satu masjid. Mungkin budaya kota yang selalu sibuk, membuat mereka tidak ada masa untuk bersambang dan berkumpul antara jamaah. Di masjid-masjid kurang diadakan majelis ilmu, seperti ceramah, pidato. Tidak ada tadarus membaca al-Qur`an menggunakan pengeras suara seperti di Indonesia. [AS/hidayatullah.com]
Kiriman Afriadi Sanusi, penulis berasal dari Sumatera, Indonesia, dan kini mahasiswa S3 (Doktor Falsafah) bidang Politik Islam di Universiti Malaya Kuala Lumpur dan juga sebagai Sekretaris Muhammadiyah Malaysia. email: [email protected].