Hidayatullah.com–Ismail Haniyah, perdana menteri pemerintah Palestina di Gaza hari Jumat (24/9/2010) mengatakan menolak permintaan AS ataupun Eropa agar Palestina mengakui Israel sebagai sebuah negara Yahudi.
Berbicara saat shalat Jumat di sebuah masjid di Gaza City, Haniyah menyatakan bahwa tuntutan Israel agar diakui sebagai negara Yahudi berarti mengancam hak pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah air mereka.
Sementara Israel menginginkan agar istilah negara Yahudi digunakan, AS dan Eropa belum menyeru agar dilakukan pergantian istilah.
Wakil menteri luar negeri Israel mengangkat isu tersebut dihadapan negara-negara yang terlibat dalam upaya perdamaian Palestina-Israel dan PM Salam Fayad, setelah semua pihak menolak untuk setuju menggunakan kata baru dalam dokumen Ad Hoc Liaison Committee. Dalam dokumen itu Israel menginginkan agar kata “dua negara untuk dua rakyat” disisipkan.
Dalam kesempatan itu Haniyah juga mengatakan bahwa pemerintah Gaza akan terus melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang bekerjasama dengan intelijen Israel. Seraya memuji hasil kerja pasukan keamanannya, dia meminta agar rakyat Palestina lebih berhati-hati.
Selama musim panas, kementerian dalam negeri menawarkan amnesti bagi warga Palestina di Gaza yang menjadi agen mata-mata Israel, yang mau menyerah pada 8 Mei hingga 10 Juli. Pemerintah menjamin bagi yang mau menyerah dan mengaku tidak akan dihukum dan dijaga privasi serta kerahasiaannya.
Hari Kamis, sebuah pengadilan militer menjatuhkan hukuman mati kepada seorang pria yang bekerjasama dengan Israel, menyusul penangkapan besar-besaran atas para tersangka mata-mata.
Sebagaimana di lansir Maan, Haniyah juga meminta agar masyarakat internasional, Liga Arab dan Organisasi Konferensi Islam memyeret para pemimpin Israel ke mahkamah internasional, terkait laporan PBB atas penyelidikan insiden berdarah Freedom Flotilla yang dirilis hari Rabu lalu.
Dalam laporan itu komite penyelidik bentukan PBB menyimpulkan bahwa tindakan Israel yang menyerang armada kemanusiaan menuju Gaza pada 31 Mei 2010 melanggar hukum internasional.[di/maan/hidayatullah.com]