Hidayatullah.com—Meski jumlah pengikut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), khususnya di Desa Tenjowaringin dan Desa Kutawaringin, Kecamatan Selawu, Kabupaten Tasikmalaya terus menurun, namun diperkirakan masih ada lima ribuan lagi eksis. Sebagian besar dari mereka menjadi pengikut JAI karena faktor keturunan, di mana mereka ikut keyakinan orangtuanya.
Demikian diungkapkan Ketua Ikatan Masyarakat Korban Aliran Sesat Ahmadiyah (IMKASA), Atang Rustaman kepada hidayatullah.com, Sabtu (29/o6/2013) usai mendampingi 15 JAI yang kembali bersyahadat.
“Tahun ini saja tidak kurang dari 450 orang JAI kembali bersyahadat,insya Allah akan terus bertambah,”sambung Atang yang pernah keluar dari JAI tiga tahun lalu ini.
Atang menambahkan sejak IMKASA didirikan tiga tahun lalu tercatat lebih dari 700 orang menyatakan keluar dari JAI dan kembali kepada ajaran Islam.
Menurutnya salah satu faktor berkurang aktvitas JAI adalah adanya Pergub Jabar No.12 tahun 2011 tentang larangan penyebaran ajaran Ahmadiyah. Banyaknya JAI yang keluar juga selain faktor hidayah dan kesadaran juga faktor ekonomi,dimana banyak iuran atau infaq yang harus dibayar JAI.
Atang mengaku setiap anggota JAI bisa mengeluarkan uang hingga jutaan rupiah setiap tahunnya tergantung dari tingkat penghasilan.Bahkan menurut pengakuannya seorang anggota JAI yang telah meninggal dunia pun masih terkena kewajiban mengeluarkan iuran,dimana jika tidak harta yang ditinggalkan maka keluarga yang menanggung.
“Duapuluh lima persen harta warisannya itu milik JAI yang harus diserahkan ahli warisnya. Hal itu terjadi karena sewaktu baiat telah disepakati,”jelasnya sambil menunjukkan sebuah kwitansi bukti iuran.
Dalam lembar kwitansi yang dikeluarkan JAI beberapa bulan tersebut pada lembar muka terdapat 45 kolom bentuk iuran.Sementara pada lembar belakang terdapat tulisan tentang ketentuan pembayaran candah yang memuat 9 jenis pengorbanan. Untuk besarnya pengorbanan tersebut telah ditentukan dengan varian antara 1/16 hingga 2,5% kali penghasilan perbulannya.
Sementera iuran bagi yang meninggal terdapat dalam jenis pengorbanan tahrik dan waqfi jadid wajib dengan perjanjian. Di mana dalam penjelasannya tertulis; “Besaran minimal tidak ditentukan.Wajib diawali dengan perjanjian. Dapat dicicil atau dilunasi sekaligus.Anak-anak agar diikutsertakan dalam kedua jenis pengorbanan ini.Tahrik Jadid sangat dianjurkan dibayar kan bagi almarhum/almarhumah untuk menghidupkan kembali nama-nama mereka yang telah wafat.”
Atang kembali menambahkan meski anggota JAI sudah banyak yang kembali kepada Islam namun pihaknya tetap mengajak kaum muslimin untuk terus melakukan dakwah kepada mereka.Juga yang terpenting,sambungnya,adalah pembinaan dan perhatian kepada mereka pasca keluar dari JAI.
“Pembinaan dan kepedulian dari kita semua sangat mereka butuhkan. Mereka akan diasingkan, dikucilkan hingga kehilangan mata pencaharian atau pekerjaan, sebab sebagian dari mereka ada yang bekerja pada orang JAI. Faktor ekonomi ini penting untuk kita kuatkan agar jangan sampai mereka kembali ke JAI lagi karena iming-iming materi,” himbaunya.
Untuk itu pihaknya mengajak kalangan umat Islam untuk juga peduli pada para korban Ahamadiyah,bukan sekedar mengeluarkan dari JAI namun juga perlu pembinaan yang berkesinambungan.*