Hidayatullah.com–Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalbar Dr KH Zuhri Maksudi MSi menyatakan, pemberian sertifikasi halal dilakukan oleh MUI, bertujuan supaya tidak ada pihak yang dirugikan, terutama muslim. Pembeli bisa memilih mana tempat yang menyediakan makanan halal untuk dikonsumsi atau tidak. Namun, bukan berarti yang tidak halal dilarang untuk dijual.
“Sekarang banyak warung yang mencantumkan label halal, tetapi tidak melalui proses MUI atau dibuat sendiri. Jadi label 100 persen halal harus disetujui MUI,” kata Zuhri Maksudi.
Zuhri menjelaskan, secara umum menghalalkan struktur makanan sudah diatur dalam agama. Salah satunya harus dikemukakan jenisnya. Ayam, sapi, atau kambing, pemotongannya harus dilakukan secara islami.
Kemudian versi makanannya tidak mengandung najis. Kalau menggunakan formalin jelas sudah melanggar syariat Islam. Termasuk juga harus bebas dari kandungan yang dilarang, seperti alkohol dan sejenisnya.
“Selain dari MUI, pihak lain yang harus dilibatkan BPOM. Hal itu untuk mengantisipasi dari makanan yang berbahaya untuk dikonsumsi. Karena tidak sedikit makanan yang beredar tetapi berbahaya terhadap kesehatan,” terangnya baru-baru ini, dalam laman Rakyat Kalbar.
Selain itu, ada makanan yang memang dilarang untuk dikonsumsi, seperti anjing, babi, dan sejumlah hewan yang hidup di dua alam.
“Muslim harus berhati-hati dengan makanan. Karena makanan ini apabila dikonsumsi akan menjadi darah, daging, dan tulang. Setelah itu keluar menjadi jati diri seorang. Makanya Islam sangat memerhatikan masalah makanan ini,” ujar salah satu pengurus wilayah Nahdatul Ulama (NU) Kalbar ini.
Dukungan terhadap kebijakan Pemkot Pontianak yang akan memfasilitasi restoran dan rumah makan untuk mendapatkan label sertifikasi halal dan tidak halal juga datang dari ormas Muhammadiyah Kalbar.
“Sertifikasi ini akan menguntungkan banyak pihak, mulai dari produsen, konsumen, bahkan Pemkot Pontianak,” kata Sekretaris Pengurus Wilayah Muhammadiyah Kalbar Dr Ikhsanuddin.
Menurutnya, dengan adanya label sertifikasi halal pada restoran dan penyedia kuliner akan meyakinkan konsumen. Sebab meski sekarang sudah bertuliskan halal, tetapi masih ada keragu-raguan. Tetapi kalau sudah ada label dari pihak yang berwenang, pembeli akan yakin.
“Penjual akan lebih banyak konsumen. Sekarang yang dianggap abu-abu kehalalannya akan menjadi jelas setelah diberikan label halal. Kota Pontianak juga akan lebih banyak pengunjung yang datang,” ujar dosen Universitas Tanjungpura ini.
Ia menambahkan, restoran besar memang perlu sertifikat mutu halal. Dengan demikian akan menaikkan prestasinya dan pengunjung juga semakin yakin.
“Saya menyarankan tidak hanya kuliner dan penyedia makanan saja yang diberikan label halal. Tetapi makanan yang berkemasan juga harus disertifikasi. Memang konsumen harus mendapatkan informasi yang jelas, termasuk kandungan yang ada di dalam makanan,” paparnya.
Undang-undang sudah mengatur, makanan kemasan diwajibkan mencantumkan komposisi yang ada, termasuk takaran unsur yang ada dalam makanan.
“Konsumen berhak mendapatkan informasi yang lengkap,” tegasnya.
Ikhsanuddin menambahkan, sertifikasi halal tidak menyudutkan pihak mana pun, malah akan menguntungkan banyak pihak.
“Silakan, tak ada larangan menyediakan makanan yang tidak boleh dimakan oleh orang Islam. Tinggal konsumen yang memilih dan diberikan kejelasan,” demikian Ikhsanuddin.*