Hidayatullah.com–Santernya tudingan Islam agama anti dialog, penganjur kekerasan, serta sejumlah stereotip buruk lainnya melatari digelarnya dialog internasional agama yang diinisiasi oleh Khodimul Haramain (Pelayan Dua Tanah Suci), Raja Abdullah bin Abdul Aziz.
Arab Saudi sebagai representasi agama Islam telah menunjukkan diri sebagai negara yang sangat dialogis. Bahkan, lebih dari 10 juta penduduk Arab Saudi baik imigran dan wisatawan tidak semua beragama Islam. Mereka semua diayomi.
Demikian dikatakan Duta Besar Kerajaan Arab Saudi untuk Indonesia, Mustafa Ibrahim Al-Mubarak, dalam jumpa pers di Kantor Dubes Arab Saudi, Jln MT Haryono Kap. 27, Cawang, Jakarta Timur, Jum’at.
“Islam telah membuktikan diri sebagai agama yang mengutamakan dialog dan sangat cinta damai,” kata Mustafa Ibrahim Al-Mubarak, dalam jumpa pers pra-seminar internasional UII-UIM dihadiri hidayatullah.com di Jakarta, Jum’at (31/05/2013).
Sejak sekian abad lalu, lanjut Mustafa, Islam telah mengejawantah nilai-nilai universalitas kehidupan di mana penganut agama lain di wilayah-wilayah kekuasaan Islam sangat diayomi dan mendapatkan perlindungan.
Tertutup
Mustafa juga menampik jika Saudi dianggap tertutup terhadap agama lain. Menurutnya, belum pernah didengar negerinya melakukan tindakan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
“Arab Saudi tidak ekslusif dan tidak anti dialog. Kami tidak antagonis. Anda perlu tahu, lebih dari 10 juta penduduk di Saudi tidak semua bergama Islam. Mereka semua diayomi. Apakah dengan begitu kami tertutup dan anti dialog,” tanya Mustafa seraya tersenyum.
Justru ia mengaku, pihaknya mengadakan acara dialog internasional yang digelar di Jakarta itu menunjukkan, “Bahwa kami tidak tertutup,” tukas Mustafa. Ia menyebutkan, Arab Saudi rutin memberi beasiswa kepada ribuan pelajar, mengirimkan dosen-dosen ke luar negeri.
“Bahkan dari Indonesia, kami mengurus lebih 4000 visa perhari, penerbangan dari Indonesia ke Saudi puluhan perhari. Kami berkomunikasi dengan semua negara. Lebih 150 negara belajar di universitas Saudi. Apakah dengan begitu, kami dikatakan tertutup dan anti dialog,” lanjut dia.
Ia menerangkan, semenjak dahulu sebagaimana tercatat dalam sejarah perkembangannya, Islam tidak mengganggu Sinagog, dan tempat ibadah penganut agama lain.
“Sejak berabad abad lalu Islam telah membuktikan diri sebagai agama rahmat,” ujarnya.
Dikatakan Mustafa, di dalam Islam telah ada batasan pola interaksi sosial dan agama yang sangat terang lagi menjunjung tinggi asas kemaslahatan dan toleransi, yakni prinsip Lakum diinukum waliyadin. Bagimu agamamu, bagiku agamaku.
Lebih dari itu, tak ada ayat dalam kitab-kita rujukan utama umat Islam, lanjut dia, yang menganjurkan penganut Islam untuk melakukan kekerasan tanpa dasar-dasar yang dibenarkan.
“Sejarah islam membuktikan, tidak pernah di mana umat Islam mayoritas melakulkan aksi-aksi secara frontal terhadap terhadap agama lain yang minoritas,” ujar sarjana lulusan Kanada ini.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Justru sebaliknya, tegas dia, umat Islam-lah yang kerap menerima perlakukan diskriminatif dikala berada di tengah penganut agama yang mayoritas.
“Seperti yang terjadi di Myanmar sekarang,” ujar Mustafa yang didampingi seorang interpreter.
Ia menjelaskan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi nilai nilai universal. Ditegaskan Dubes Mustafa, tidak ada dalam ajaran Islam mengajarkan umatnya yang mengharuskan memaksa orang lain untuk memeluk agama Islam.
Siang tadi, Kedutaan Saudi Arabia untuk Indonesia menggelar jumpa pers menyongsong digelarnya seminar internasional dialog agama pada Selasa, 4 Juni mendatang.
Seminar itu diselenggarakan atas kerjasama Universitas Islam Madinah (UIM) Saudi Arabia dengan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Seminar ilmiah internasional yang digelar selama sehari di Jakarta itu diinisiatori “Khodimul Haramain” atau Pelayan Dua Tanah Suci, Raja Abdullah bin Abdul Aziz.*