Sambungan artikel PERTAMA
Mereka lupa. Kebahagiaan dan ketenagan jiwa bukan terletak pada modernitas sebuah kota dan negara. Bukan terletak pada eksotisme sebuah panorama. Bukan terletak seberapa lezat makanan menggoyang lidah. Dan, bukan pula mewah, dan mahalnya pakaian dan perlengkapan hidup yang dipakai. Bukan! Coba bayangkan. Andaikan, iya, tentu orang yang kaya raya, orang yang setiap bulan pergi ke luar negeri, orang yang setiap hari makan enak dan mahal, orang yang berwajah tampan dan cantik—para artis dan aktris— tentulah mereka yang paling bahagia di dunia ini. Faktanya?
Tidak sedikit kabar miring dan buruk menerpa mereka yang dianggap memiliki segalanya. Bahkan tak jarang yang bernasib tragis. Kehidupan tak tentu arah, terjerembab kepada lubang nista, salah jalan hidup, bahkan tragisnya yang berujung pada bunuh diri. Nauzubillah. Sebaliknya, begitu banyak orang yang sederhana bahkan tidak berpunya tetapi kehidupannya selalu diliputi kebahagiaan. Lihatlah para ulama. Hidup mereka zuhud dan tidak cinta dunia. Tetapi, kehidupannya penuh dengan keberkahan dan kebahagiaan.
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. An-Nur: 36-38)
Diam sejenak dari rutinitas kehidupan yang seabrek penting. Fisik tidak boleh diporsir untuk bekerja sepanjang hari. Jangan sampai dunia melenakan kita dari mengingat dan beribadah kepada Allah. Apalah arti dunia ini. Sebentar dan tidak akan dibawa mati. Pergi pagi pulang petang. Bekerja keras peras keringat banting tulang. Berhentilah sejenak dan diamlah.
Sebagaimana mesin. Jika dipakai terus tanpa jeda lambat laun bisa rusak. Beban kerja dan aktivitas yang banyak membuat fisik lelah dan psikis bisa tergoncang. Energi terkuras. Pikiran terporsir. Masalah datang bertubi-tubi tiada henti dari berbagai sisi: rumah tangga, kantor, rekan kerja, dan sebagainya. Jangan sampai dunia merenggut kebahagiaan kita.
Kehidupan dunia ini sebenarnya tidak berhak membuat kita bermuram durja, pesimis, dan lemah semangat. ‘Aidh Al-Qarni dalam bukunya La Tahzan menulis sebuah syair sebagai berikut;
Hukum kematian manusia masih terus berlaku,
Karena dunia juga bukan tempat yang kekal abadi,
Adakalanya seorang manusia menjadi penyampai berita,
Dan esok hari tiba-tiba menjadi bagian dari satu berita
Ia dicipta sebagai makhluk yang senantiasa galau nan gelisah,
Sedang engkau mengaharap selalu damai nan tentram
Wahai orang yang ingin selalu melawan tabiat,
Engkau mengharapa percikan api dari genangan air
Kala engkau berharap yang mustahil terwujud,
Engkau telah membangun harapan dibibir jurang yang curam
Kehidupan adalah tidur panjang, dan kematian adalah kehidupan
Maka manusia diantara keduanya, dalam alam mimpi dan khayalan
Maka selesaikan segala tugas dengan segera, niscaya umur-umurmu
Akan terlipat menjadi lembatan-lembatan sejarah yang akan ditanyakan
Sigaplah dalam berbuat baik laksana kuda yang masih muda,
Kuasailah waktu, karena ia dapat menjadi sumber petaka
Dan zaman tak akan pernah betah menemani Anda, karena ia
Akan selalu meninggalkan Anda sebagai musuh yang menakutkan
Dan karena zaman memang dicipta sebagai musuh orang-orang bertakwa
Adalah suatu kenyataan yang terelakkan bila Anda tidak akan mampu menyapu bersih noda- noda kesedihan Anda. Karena bagaimanapun, memang seperti itulah kehidupan dunia ini tercipta.
Istirahatlah. Tingkatkan iman dan spiritual. Jangan biarkan terlalu lama kering. Segarkan dan kokohkan kembali. Hati yang kuat dan jernih jiwanya akan selalu bersinar, semangat hidupnya berkobar, dan pemikirannya cemerlang. Ide-ide besar, segar, dan brilian akan muncul. Jiwa yang bersinar adalah modal penting meraih kebahagiaan. Adapun kegelisan dan gulana menerpa jiwa yang lemah dan lalai. Tidak bersemangat, tekadnya lemah, dan selalu dirundung gelisah. Seperti karyawan sebuah bank yang sengaja datang dan mendengarkan ceramah di atas. Ada ketenangan batin dan kebahagiaan jika ke masjid. Ada semangat baru yang didapat.
Masjid bukan saja tempat ibadah. Tetapi juga tempat ilmu. Pengajian dan majelis taklim digelar dengan berbagai tema. Seperti fungsi masjid pada zaman Rasulullah. Nabi dan para sahabat menggunakannya untuk mengkaji ilmu. Bahkan, dulu ada ahlul shuffah—kelompok yang tinggal di masjid—yang fokus mempelajari ilmu agama. Zaman sekarang tidak susah mendapati masjid yang mengadakan halaqah ilmu. Hampir setiap masjid—terutama di perkotaan—yang mengadakan taklim. Ini sangat penting. Sebab, ilmu sendiri adalah cahaya yang dapat menghidupkan jiwa dan meraih kebahagiaan.
‘Aidh al-Qarni dalam bukunya, La Tahzan mengatakan ilmu pengetahuan pangkal dari kebahagiaan, kedamaian dan ketentraman hati. Itu karena ilmu adalah cahaya yang dapat menembus yang samar, menemukan sesuatu yang hilang, menyingkap yang tersembunyi, dan membedakan yang benar dan salah. Ilmu juga membimbing manusia untuk mengetahui dan mengungkap hal-hal yang baru yang menarik dan yang diinginkan dalam kehidupan.
Berbeda dengan kebodohan. Dia adalah sesuatu yang sangat membosankan dan menyedihkan. Dia merupakan tanda kematian jiwa, terbunuhnya kehidupan dan membusuknya usia. Kebodohan tidak akan memunculkan sesuatu hal baru yang menarik dan segar: yang kemarin seperti hari ini, dan yang hari ini pun akan seperti yang terjadi pada esok hari. Maka dari itu, bila Anda ingin bahagia tuntutlah ilmu, galilah pengetahuan, dan raihlah berbagai manfaat. Insyaa Allah, itu semua akan mendatangkan kemudahan dan kebahagiaan dan menghilangkan duka dan lara.
Mari renungkan firman Allah Subhanahu Wata’ala berikut;
أَوَ مَن كَانَ مَيْتاً فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُوراً يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Dan, apakah orang yang mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang degan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaanya berada dalam gelap gulita yang berkali-kali tidak dapat keluar daripadanya.” (QS. Al-An’am 122)
Semoga hati kita selalu terterangi oleh cahaya ilmu hingga hidup ini terasa mudah dan penuh berkah. Hati pun selalu terpaut ke masjid. Rindu bila sehari saja tidak hadir ke masjid: berwudhu, shalat berjamaah, mendengarkan majelis-majelis ilmu, dan tilawah Al-Qur’an. Ya Allah, jadikanlah hati-hati kami selalu tertaut ke masjid dan merinduinya lebih dari kami merindui kampung halaman.*/Syaiful Anshor, Seorang guru