Sedikitnya, lebih dari lima puluh warga Palestina tewas di tangan pasukan keamanan ‘Israel’ selama kurun 1948-1967
Oleh: Bayu Sunarya
Hidayatullah.com | PECAHNYA bentrokan yang berujung pada tindak penganiayaan terhadap massa pendukung Palestina di Bitung, Sulawesi Utara, beberapa waktu lalu, sedikitnya menjadi bukti bahwa selain AS dan kebanyakan masyarakat Barat, eksponen dari pendukung ‘Israel’tampaknya juga telah lama eksis di tanah air.
Di mata kebanyakan warga ‘Israel’ dan para pendukungnya di seluruh dunia, termasuk yang mungkin menjadi kritikus beberapa kebijakan negara Zionis tersebut, ‘Israel’, bagaimanapun, selalu disebut sebagai negara paling demokratis (atau bahkan satu-satunya) di kawasan Timur Tengah; yang selalu mengupayakan perdamaian serta hubungan baik dengan negara-negara di sekitarnya.
Alasan tersebut, di Indonesia, meski sempat mengundang diskusi hangat di media sosial X (dulu twitter), tampaknya tidak (atau belum) begitu popular selain hanya di lingkungan pegiat Hubungan Internasional.
Namun terlepas dari itu, benarkah ‘Israel’ adalah (satu-satunya) negara demokratis seperti banyak disebut para pengamat geopolitik dan hubungan internasional, termasuk yang pro-Palestina sekalipun?
Seorang sejarawan dan mantan pengajar senior Ilmu Politik di Universitas Haifa, Ilan Pappe, menyebut bahwa klaim bahwa ‘Israel’merupakan negara demokratis tidak memiliki landasan sama sekali, terutama apabila kita mempertimbangkan bagaimana negara ini berdiri dan mempertahankan eksistensinya hingga sekarang.
Akan tetapi, para pendukungnya seringkali berkilah bahwa pelbagai tindak represif yang kini dilakukan ‘Israel’adalah imbas dari peperangan yang meletus tahun 1967 silam.
Dengan kata lain, jikapun saat ini demokrasi ‘Israel’ tercoreng, maka itu adalah ekses tak terhindarkan akibat perang Enam Hari yang telah merusak masyarakat yang jujur dan pekerja keras dengan menawarkan mereka bantuan berupa uang di wilayah-wilayah penjajah, dan memungkinkan kelompok-kelompok Mesianik memasuki politik ‘Israel’ sehingga mengubah wajah ‘Israel’ menjadi entitas penindas di wilayah-wilayah baru.
Lantas, apakah sebelum tahun 1967, ‘Israel’adalah negara demokratis?
Lagi, bagi Ilan Pappe, sebelum 1967 ‘Israel’ jelas tidak dapat digambarkan sebagai negara demokrasi. Seperti yang ia uraikan dalam sebagian besar bukunya, Ten Myths about Israel, bahwa di masa-masa awal pendiriannya pun, negara ini telah menundukkan seperlima dari penduduknya di bawah kekuasaan militer berdasarkan Mandatori Inggris yang mengabaikan hak-hak asasi manusia atau hak sipil warga Palestina.
Para gubernur militer setempat adalah penguasa mutlak atas kehidupan warga negara ini. Mereka dapat merancang undang-undang khusus untuk warga negara Palestina, menghancurkan rumah dan mata pencaharian mereka, dan mengirim mereka ke penjara kapan pun mereka mau.
Baru setelah akhir 1950-an, timbul perlawanan kuat dari komunitas Yahudi terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut yang membuat tekanan atas warga Palestina akhirnya berkurang.
Bagi warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat (West Bank) dan Jalur Gaza sebelum dan sesudah perang tahun 1967, tulis Pappe, rezim ini bahkan mengizinkan prajurit berpangkat paling rendah di IDF untuk memerintah dan menghancurkan hidup mereka.
Mereka tidak berdaya jika prajurit tersebut, unit, atau komandannya, memutuskan untuk menghancurkan rumah mereka, atau menahan mereka berjam-jam di pos pemeriksaan dan memenjarakan mereka tanpa peradilan. Setiap saat sejak tahun 1948, selalu ada warga Palestina yang mengalami hal-hal tersebut.
Kelompok warga Palestina pertama yang menderita akibat penindasan ini adalah kelompok minoritas Palestina di ‘Israel’. Hal ini dimulai di dua tahun pertama sejak pendirian negara ‘Israel’ketika mereka didorong ke dalam ghetto, seperti yang dialami komunitas Palestina Haifa yang tinggal di gunung Carmel, atau diusir dari kota-kota yang telah mereka tinggali selama berdekade lamanya seperti Safad.
Dalam kasus Isdud, seluruh penduduknya bahkan diusir ke Jalur Gaza. Di pedesaan, situasinya lebih buruk lagi.
Berbagai kelompok penjajah yang dikenal dengan istilah Kibbutz mengarah desa-desa subur di Palestina. Beberapa di antaranya adalah Kibbutzim sosialis dan Hashomer Ha-Zair.
Jauh setelah pertempuran tahun 1948 mereda, penduduk desa di Ghabsiyyeh, Iqrit, Birim, Qaidta, Zaytun, dan banyak lainnya, ditipu untuk meninggalkan rumah mereka selama dua minggu, tentara mengklaim bahwa mereka membutuhkan tanah mereka untuk pelatihan, namun sekembalinya para pemilik, mereka akhirnya menemukan bahwa tanah dan rumah-rumah mereka telah dirusak serta berada di bawah penguasaan pihak lain.
Puncak teror militer ini mungkin tergambar dari pembantaian Kafr Qasim pada bulan Oktober 1956, ketika, pada malam sebelum operasi Sinai, empat puluh sembilan warga Palestina dibunuh oleh tentara ‘Israel’.
Penjajah ‘Israel’ menuduh bahwa mereka terlambat pulang dari ladang mereka ketika jam malam diberlakukan di desa itu. Namun tentu saja itu bukan alasan sebenarnya.
Sebab bukti selanjutnya menunjukkan bahwa ‘Israel’telah secara serius mempertimbangkan pengusiran warga Palestina dari seluruh wilayah yang disebut Wadi Ara dan Segitiga di mana desa tersebut berada.
Kedua wilayah ini—yang pertama adalah lembah yang menghubungkan Afula di timur dan Hadera di pantai Mediterania; wilayah kedua yang memperluas wilayah pedalaman timur Yerusalem—dianeksasi ke ‘Israel’ berdasarkan ketentuan perjanjian gencatan senjata tahun 1949 dengan Yordania.
Seperti yang kita tahu, penambahan wilayah selalu disambut baik oleh ‘Israel’, sedangkan peningkatan populasi Palestina di wilayah-wilayah aneksasi tersebut ditanggapi sebaliknya. Oleh karena itu, setiap saat, ketika negara ‘Israel’melakukan ekspansi, mereka selalu mencari cara untuk membatasi penduduk Palestina di wilayah yang baru saja dikuasainya.
Operasi “Hafarfert” (tikus tanah) adalah nama sandi dari serangkaian proposal pengusiran warga Palestina ketika perang baru pecah dengan dunia Arab.
Banyak pakar saat ini berpendapat bahwa pembantaian tahun 1956 adalah sebuah praktik yang dilakukan untuk melihat apakah masyarakat di wilayah tersebut dapat diintimidasi agar meninggalkan wilayah tersebut. Pelaku pembantaian itu diadili berkat inisiasi dari dua anggota Knesset: Tawfiq Tubi dari Partai Komunis dan Latif Dori dari Mapam (partai Zionis Kiri).
Namun, para komandan yang bertanggung jawab atas peristiwa itu, dan unit yang melakukan kejahatan tersebut dibebaskan dengan mudah, atau hanya menerima denda yang kecil. Pappe menyebut bahwa ini adalah bukti lebih lanjut bahwa tentara memang diperbolehkan lolos dari tiap pembunuhan di wilayah penjajah.
Ada banyak bukti lain yang menunjukkan ‘Israel’ bukanlah negara demokrasi sebelum tahun 1967. Di awal-awal masa pendiriannya, ‘Israel’ telah menerapkan kebijakan tembak di tempat bagi para pengungsi yang mencoba mengambil kembali tanah, tanaman, dan peternakan mereka, serta melancarkan perang untuk menggulingkan rezim Nasser di Mesir.
Sedikitnya, lebih dari lima puluh warga Palestina tewas di tangan pasukan keamanan ‘Israel’ selama kurun 1948-1967.
Setelah perolehan wilayah baru, beberapa undang-undang disahkan oleh ‘Israel’ untuk memastikan posisi yang lebih tinggi bagi mayoritas: undang-undang yang mengatur kewarganegaraan, undang-undang tentang kepemilikan tanah, dan yang paling penting, hukum kepulangan (law of return).
Hukum yang terakhir ini memberikan kewarganegaraan otomatis kepada orang Yahudi di seluruh dunia, di mana pun mereka dilahirkan. Secara khusus, undang-undang ini jelas sangat tidak demokratis, karena disertai dengan penolakan total terhadap hak kembali warga Palestina—yang diakui secara internasional melalui Resolusi Majelis Umum PBB 194 tahun 1948.
Kebijakan ini melarang warga negara Palestina di ‘Israel’ untuk kembali berkumpul dengan keluarga dekat mereka atau dengan mereka yang diusir pada tahun 1948. Mencabut hak untuk kembali ke tanah air mereka, dan pada saat yang sama menawarkan hak ini kepada orang lain yang tidak memiliki hubungan dengan tanah tersebut, adalah model praktik yang tidak demokratis.
Hampir semua diskriminasi lanjutan terhadap warga negara Palestina di ‘Israel’, tulis Pappe, dijustifikasi berdasarkan alasan bahwa mereka menolak bergabung dalam wajib militer dan menjadi bagian dari satuan ketentaraan ‘Israel’.
Namun anehnya, pada tahun 1954 ketika kementerian pertahanan ‘Israel’ memutuskan untuk memanggil warga Palestina yang memenuhi syarat untuk mengikuti wajib militer.
Dinas rahasia ‘Israel’ meyakinkan pemerintah bahwa akan ada penolakan yang luas terhadap pemanggilan tersebut. Yang sangat mengejutkan, pemanggilan orang-orang Palestina itu sebenarnya telah mendapat restu dari Partai Komunis, kekuatan politik terbesar dan terpenting saat itu.
Dinas rahasia kemudian menjelaskan bahwa alasan utamanya adalah kebosanan para remaja terhadap kehidupan di pedesaan dan keinginan mereka untuk melakukan aktivitas secara bebas.
Untuk waktu yang lama, kementerian pertahanan ‘Israel’ terus menjajakan narasi yang menggambarkan seolah masyarakat Palestina menolak kebijakan wajib militer. Tak pelak lagi, pada akhirnya, warga Palestina memang berbalik melawan tentara ‘Israel’yang telah menjadi penindas abadi mereka.
Eksploitasi pemerintah terhadap hal ini sebagai dalih untuk mendiskriminasi menimbulkan keraguan besar terhadap negara ‘Israel’ sebagai negara demokrasi. Jika Anda atau kita adalah warga negara Palestina dan tidak bertugas di militer, maka hak-hak Anda dan juga kita untuk mendapatkan bantuan pemerintah sebagai pekerja, pelajar, orang tua, atau sebagai bagian dari keluarga, sangat dibatasi.
Hal ini berdampak pada perumahan khususnya, dan juga pekerjaan—di mana 70 persen dari seluruh industri ‘Israel’ dianggap sensitif terhadap keamanan dan oleh karena itu tertutup bagi warga negara Palestina yang ingin mencari mata pencaharian di sana.
Klaim sebagai negara demokrasi juga menuai persoalan tatkala kita mempelajari kebijakan anggaran dalam persoalan tanah di ‘Israel’. Sejak 1948, dewan-dewan lokal di kota-kota Palestina menerima dana yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan dewan-dewan Yahudi.
Kekurangan tanah, ditambah dengan langkanya kesempatan kerja, menciptakan realitas sosial ekonomi yang tidak normal. Sebagai contoh, komunitas Palestina yang paling makmur, desa Me’ilya di Galilea bagian atas, masih lebih buruk keadaannya dibandingkan dengan kota pengembangan Yahudi termiskin di Negev.
Pada tahun 2011, Jerusalem Post melaporkan bahwa “pendapatan rata-rata orang Yahudi 40% hingga 60% lebih tinggi daripada pendapatan rata-rata orang Arab antara tahun 1997 hingga 2009”.
Saat Pappe menulis bukunya di tahun 2017, ia mencatat lebih dari 90 persen tanah di kawasan penjajah dimiliki oleh Jewish National Fund (JNF). Pemilik tanah tidak diizinkan untuk melakukan transaksi dengan warga non-Yahudi dan tanah publik diprioritaskan untuk penggunaan proyek-proyek nasional, yang berarti bahwa pemukiman Yahudi baru sedang dibangun sementara hampir tidak ada pemukiman Palestina baru.
Oleh karena itu, kota terbesar di Palestina, Nazaret, meskipun populasinya telah meningkat tiga kali lipat sejak tahun 1948, tidak mengalami perluasan satu kilometer persegi pun, sedangkan kota pembangunan yang dibangun di atasnya, Nazaret atas, telah meningkat tiga kali lipat, di atas tanah yang dirampas dari para pemilik tanah Palestina.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dengan melihat sikapnya terhadap dua kelompok Palestina—para pengungsi dan komunitas Palestina di wilayah yang saat ini disebut ‘Israel’—negara Zionis ini tidak dapat disebut negara demokrasi lewat alasan apa pun.
Namun, persoalan yang paling nyata terhadap klaim ‘demokratis’ ini adalah sikap ‘Israel’yang kejam terhadap kelompok Palestina ketiga, yakni mereka yang hidup di bawah kekuasaan langsung maupun tidak langsung sejak 1967, di Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.
Dari infrastruktur hukum yang diberlakukan sejak awal perang, hingga kekuasaan absolut militer di Tepi Barat dan di luar Jalur Gaza, hingga penghinaan terhadap jutaan orang Palestina sebagai rutinitas sehari-hari, “satu-satunya negara demokrasi” di Timur Tengah ini berperilaku layaknya kediktatoran yang paling buruk di dalam sejarah dunia modern.
Tanggapan utama ‘Israel’, baik secara diplomatik maupun akademis, terhadap tuduhan ini adalah bahwa semua tindak kekerasan yang mereka lakukan bersifat sementara—semua itu akan berubah jika warga Palestina bersikap “lebih baik”.
Namun bagi Pappe, jika kita mengamati, apalagi tinggal di wilayah-wilayah yang diduduki, kita akan memahami betapa konyolnya argumen-argumen tersebut. Para pembuat kebijakan ‘Israel’, seperti yang telah diuraikan Pappe, bertekad untuk mempertahankan penjajah selama negara Yahudi masih ada.
Ini adalah bagian dari apa yang dianggap oleh politik ‘Israel’sebagai status quo, yang selalu lebih baik daripada perubahan apa pun. ‘Israel’akan menguasai sebagian besar wilayah Palestina dan, karena ia akan selalu melibatkan penduduk Palestina dalam jumlah yang besar, hal ini hanya bisa dilakukan dengan cara-cara non-demokratis.
Sejak awal penjajah, warga Palestina diberi dua pilihan: dijebloskan ke dalam penjara untuk waktu yang sangat lama, atau mengambil risiko menghadapi tentara “terkuat” di Timur Tengah.
Ketika warga Palestina melakukan perlawanan—seperti yang mereka lakukan pada 1987, 2000, 2006, 2012, 2014, 2016, serta hari ini—mereka menjadi sasaran pasukan ‘Israel’dan sekutunya. Oleh karena itu, desa-desa dan kota-kota dibom seolah semua tempat itu adalah pangkalan militer, dan penduduk sipil tak bersenjata ditembaki seolah mereka adalah tentara di medan perang.
Penangkapan tanpa proses pengadilan, seperti yang dialami oleh banyak orang selama bertahun-tahun; penghancuran ribuan rumah; pembunuhan dan pelukaan terhadap orang-orang tak bersalah; pengurasan sumur-sumur air—semuanya adalah bukti yang menegaskan bahwa ‘Israel’justru menentang nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Oleh karena itu, apa yang harus kita persoalkan di sini bukan hanya klaim ‘Israel’bahwa mereka sedang melakukan penjajah yang “mencerahkan” (sebagaimana klaim mereka), melainkan juga kepura-puraannya sebagai negara demokrasi. Meskipun mungkin saat ini telah banyak masyarakat sipil di seluruh dunia mempersoalkan kepura-puraan ini, para elit politik mereka, melalui berbagai alasan, tetap memperlakukan ‘Israel’sebagai anggota klub eksklusif negara-negara demokratis.
Dalam banyak hal, popularitas gerakan BDS (Boycott, Divestment, and Sanctions) mencerminkan rasa frustrasi masyarakat-masyarakat tersebut terhadap kebijakan pemerintah mereka terhadap ‘Israel’.
Sejak 1990-an, tulis Pappe, banyak cendekiawan yang mulai sadar akan kepalsuan klaim demokratis tersebut.
‘Israel’, menurut Oren Yiftachel, merupakan negara etnokrasi yang memerintah kawasan multi etnis dengan menundukkan etnis-etnis tersebut di bawah hegemoni satu etnis tertentu.
Yang lain melangkah lebih jauh, dengan melabeli ‘Israel’sebagai negara apartheid (apartheid state) atau negara penjajah yang menetap (settler colonial state). Singkatnya, apa pun gambaran yang diberikan oleh para cendekiawan kritis tersebut, “demokrasi” bukanlah salah satunya.*