Penyelesaian konflik Patani sukar dipadamkan dan jalan perdamaian agak lambat. Di sisi lain konflik kepanjangan ini justru ditengarai menjadi ladang bisnis keamanan instansi-instansi negara yang berkepentingan
Oleh: Abdulroheem M. Adam
Hidayatullah.com | SEJAK proses aneksasi wilayah kerajaan Patani ke dalam wilayah kerajaan Thailand, pergolakan di wilayah Thailand Selatan yang notabene merupakan bekas wilayah kerajaan Islam Patani Darussalam yang berdiri sejak tahun 1390 hingga 1909 M dan masih terus berlangsung hingga saat ini.
Kebijakan pemerintah kerajaan Thailand yang cenderung bersifat asimilatif dan diskriminatif terhadap kultur dari masyarakat Muslim Melayu Patani di wilayah Thailand juga menjadi salah satu faktor utama penyebab konflik.
Konflik Melayu Patani di Thailand selatan mengalami era baru semenjak 04 Januari 2004 hingga kini yang memakan 7,344 jiwa meninggal dan 13,641 korban luka-luka (deepsouthwatch 2004-2022).
Namun, upaya pemerintah dalam menangani penyelesaian konflik hanya fokus pada meningkatkan keamanan dan pembangunan infrastruktur yang dinilai tidak tepat sasaran.
Dengan kata lain, upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik tidak efektif. Hal ini terbukti dengan data bahwa sejak tahun 2004-2022 pemerintah telah menghabiskan dana negara sebesar 492,451 juta Thai baht.
Sementara angka kekerasan konflik dan korban jiwa akibat konflik makin terus meningkat dan masih buntu jalan menuju perdamaian yang diidamkan rakyat.
Thailand Selatan Aman, Anggaran Tak Datang?
Setelah konflik Thailand selatan mengalami era baru sejak Januari 2004, pemerintah Thailand memperlakukan darurat militer dan instrumen hukum keamanan lainnya di Thailand selatan.
Darurat militer dan instrumen hukum keamanan ini memberikan Institusi militer keamanan sebagai aktor utama dalam menangani proses penyelesaian konflik di Thailand selatan.
Hal tersebut setiap tahun institusi militer keamanan ini akan menghabiskan anggaran negara puluhan ribu juta Thai baht per tahun.
Hasil pengamatan dan penyelidikan lembaga media menemukan bahwa terdapat banyaknya aksi korupsi yang dilakukan pihak militer dan institusi-institusi negara yang berkepentingan atas proyek penyelesaian konflik.
Seperti yang diberitakan MRG Online bahwa persoalan korupsi kini sudah menjadi “tinju yang menghantam ke bumi”. Artinya di mana pun kita memukulnya di Patani kita akan menemui praktek-praktek korupsi.
Semakin besar anggaran nasional yang didedikasikan untuk “memadamkan api konflik di selatan” maka, semakin besar pula praktek korupsi. Selain tidak berdaya untuk penyelesain konflik, justru eksistensi ini semakin memberi peluang dan saluran korupsi di Patani Thailand selatan.
Faktor-faktor penyebab mudahnya aksi korupsi yang dilakukan oknum petinggi militer dan pejabat-pejabat institusi-institusi negara yang berkepentingan atas proyek penyelesaian konflik adalah karena kekebalan hukum darurat militer yang memberi wewenang penuh dalam penggunaan kekuasaan dan penggunaan dana.
Selain itu, tidak ada lembaga atau institusi independen yang dapat melakukan investigasi terhadap kegunaan dana oleh militer dan institusi-institusi negara yang menangani penyelesaian konflik.
Lalu kemana anggaran yang telah dirancang untuk penyelesaian konflik Patani? Konflik yang sukar dipadamkan dengan perdamaian ini karena konflik kepanjangan Patani ini sudah menjadi ladang bisnis keamanan bagi instansi-instansi negara yang berkepentingan.
Para oknum ini ditengari membagi-bagi anggaran, seperti yang dikatakan “Thailand selatan aman, anggaran tak datang”.
Menjejalkan Proyek Pembangunan, Masyarakat Tetap Miskin?
Salah satu upaya pemerintah Thailand dalam penyelesaian konflik yang diambil ialah pembangunan. Pemerintah memiliki keyakinan bahwa konflik muncul disebabkan adalah kemiskinan masyarakat penduduk Patani yang tinggi.
Jika kemiskinan yang dihadapi masyarakat Patani dapat diatasi dan dihilangkan, maka konflik akan selesai. Hal ini menyebabkan banyak proposal proyek pembangunan infrastruktur, ekonomi dan multikultural budaya atas nama jalan penyelesaian konflik.
Namun nyatanya apakah konflik selesai? Dari pengamatan seorang akademisi keamanan yang terkemuka dalam sebuah wawancara televisi baru-baru ini diberitakan di Isranews mengisyaratkan bahwa “kelompok berseragam berwarna” paling banyak mendapat manfaat dari situasi konflik dan proses penyelesaian konflik Thailand selatan.
Namun, implementasi di lapangan kebijakan pemberantasan kemiskinan seperti pelatihan magang dan kewirausahaan tidak dilakukan dengan efektif. Hingga saat ini, 46% populasi di Thailand Selatan masih berada di bawah garis kemiskinan.
Seorang warga Patani mencontohkan bahwa dampak langsung terhadap masyarakat ialah mereka menerima proyek pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Hingga saat ini masyarakat Patani masih dalam deretan kemiskinan yang paling tinggi di Thailand, kehidupannya tidak merubah secara signifikan meskipun pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran negara.
Pada tahun 2022 terdapat 29 orang meninggal, diperkirakan 2.5 orang meninggal perbulan. Angka ini lebih rendah dibandingkan rata-rata 4 orang per bulan selama 5 tahun terakhir.
Walau bagaimana pun terdapat korban luka-luka 123 orang jumlah ini meningkat sebesar 156 persen dibandingkan tahun 2021. Dari seluruh korban meninggal, 38 persen adalah anggota pasukan keamanan, dan 68 persen dari mereka yang terluka dalam kekerasan pada tahun 2022 juga termasuk di antara mereka (Benar news 2023).
Selain, proyek pembangunan yang masih kurang efektif, kejadian-kejadian seperti ini juga menambahkan tingkat kemiskinan di Patani.
Membangun Perdamaian, Keadilan Diwujudkan
Konflik Melayu Patani di Thailand selatan yang mengancam kestabilan nasional memaksa pemerintah mengambil langkah politik mediasi dan negosiasi damai. Strategi penyelesaian konflik ini secara terbuka bermula pada era pemerintahan rezim koalisi demokrasi Partai Pheu Thai yang dipimpin oleh Yingluck Chinnawatra.
Meskipun proses mediasi dan negosiasi ini secara terbuka dimulai oleh pemerintahan Yingluck Chinnawatra namun, sebenarnya langkah negosiasi politik telah dilakukan oleh pemerintah sebelum-sebelumnya secara tertutup dan rahasia. Perundingan terus berlangsung dari tahun 1993 hingga 2013 dengan berbagai kelompok-kelompok beragam yang terjadi mulai dari Jenewa Swiss, Kairo Mesir, Damaskus Suriah, Langkawi, Kuala Lumpur Malaysia, dan Bogor Indonesia (Anadolu Agency 2021).
Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah Thailand adalah dengan melaksanakan mediasi dan negosiasi diantara berbagai pihak yang terlibat dan berusaha menyelesaikan konflik tersebut pada tingkatan terbawah.
Pelaksanaan mediasi dan negosiasi di tingkatan terbawah ini juga mengikutsertakan sukarelawan untuk terlibat aktif dalam proses ini seperti dari organisasi swadaya masyarakat yang sebelumnya juga diberikan pelatihan untuk menemukan alternatif penyelesaian konflik.
Dan tentu, penyelesaian konflik tersebut utamanya dilakukan oleh kepala distrik wilayah melalui peningkatan keamanan dan membangun pusat pengaduan terkait keadilan (Damrongtham Center) dan juga mengumpulkan pemimpin-pemimpin masyarakat yang terlibat untuk aktif dalam forum mediasi dan negosiasi (Devy Indah Paramitha, 2022).
Resolusi konflik melalui mediasi dan negosiasi yang diupayakan pemerintah Thailand hingga kini dapat dikatakan belum berhasil secara efektif. Analisa penulis beberapa isu yang menyebabkan upaya resolusi konflik tidak jalan efektif karena beberapa sebab.
Pertama pemerintah Thailand tidak serius mewujudkan keadilan bagi masyarakat melayu Patani, hal ini terbukti dengan kasus-kasus pelanggaran HAM, penghilangan paksa, penyiksaan terhadap warga Patani di dalam kamp introgasi, dan pembunuhan warga Patani yang dilakukan aparat keamanan pemerintah, pelakunya selalu lolos dari sanksi hukum.
Kedua dominasi militerisme dalam pelaksanaan upaya penyelesaian konflik, pelaksanaan aparat militer di lapangan tidak selaras dengan kebijakan pemerintah pusat.
Alhasil, kejadian ini menimbul tanda tanya publik, siapakah penanggung jawab proses penyelesaian konflik, pemerintah pusat atau institusi militer?.
Ketiga proses konsultasi publik dan penglibatan masyarakat sipil dalam mediasi dan negosiasi yang dilakukan pemerintah cenderung hanya dengan kelompok-kelompok yang pro-pemerintah.
Sementara itu, kelompok masyarakat Patani lainnya yang mereka memilih sikap independen ruang kegiatannya selalu dipantau dan diskriminasi. Pada 6 Januari 2024 Cross Cultural Foundation (CrCF) mengajukan surat terbuka kepada sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perihal permohonan untuk menyelidiki pelanggaran hak berkumpul aktivis melayu muslim.
Semenjak tahun 2017-2022 terdapat 40 orang aktivis yang terdiri dari aktivis press, aktivis kemanusiaan, aktivis demokrasi, dan perdamaian yang dilapor gugatan hukum oleh keamanan divisi 4 (Internal Security Operations Command Region 4) sementara itu, tahun 2024 terdapat 9 orang aktivis dilaporkan gugatan hukum oleh aparat keamanan.
Penutup
Di dalam sebuah tatanan kenegaraan, Pemerintah merupakan pihak yang paling berpengaruh dalam hal pengambilan kebijakan guna untuk mewujudkan kepentingan nasional sebuah negara.
Demikian pula 19 tahun konflik separatis melayu Patani di Thailand Selatan yang memakan 7,344 jiwa meninggal dan 13,641 korban luka-luka. Dalam upaya penyelesaian konflik ini pemerintah Thailand merupakan garda terdepan dalam proses manajemen konflik, agar konflik tidak bereskalasi sehingga mampu menciptakan kondusivitas agar tercapai sebuah perdamaian hakiki.
Namun, upaya penyelesaian konflik pemerintah Thailand yang telah menghabiskan APBN sebesar 492,451 juta bath itu mengutamakan penerapan keamanan militer, proyek pembangunan ekonomi, dan infrastruktur yang dianggap bukan akar sumber konflik malah ia makin merugikan belanja Negara karena terdapat aksi korupsi yang dilakukan oleh oknum pemerintah.
Oleh karena itu, selain upaya yang telah dilakukan pemerintah, untuk mewujudkan perdamaian, pemerintah berkewajiban mewujudkan keadilan bagi masyarakat Patani mengusung tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM dan memberi sanksi hukum bagi para pelaku pembunuhan terhadap warga Melayu Patani yang dilakukan aparat keamanan Negara.*
Penulis mahasiswa pascasarjana UNPAR Bandung, warga asli Patani, ThailandSelatan