Ilmu hadits sangat penting dalam khazanah keilmuan Islam, mengharuskan seorang yang ingin memaknai, mengambil hukum, serta berpendapat untuk mempelajarinya
Hidayatullah.com | DALAM khazanah keilmuan Islam, ada satu disiplin ilmu yang menjadi kebanggaan sekaligus ciri khas dari peradaban Islam dari zaman Nabi hingga saat ini, yaitu ilmu hadits.
Ilmu ini menempati kedudukan yang tinggi dalam ajaran Islam, dimana ia menjadi sumber kedua yang dipercaya, dimuliakan, serta dijaga setelah Al-Quran. Secara umum, ilmu hadits dapat dibagi menjadi 2 macam; hadits secara riwayat dan hadits secara dirayah.
Ilmu yang pertama yaitu hadits secara riwayat adalah ilmu tentang hadits itu sendiri yang meriwayatkan hal-hal yang bersangkutan dengan Nabi baik itu berupa perkataan, perbuatan, keputusan, dan sifat-sifat mulianya.
Untuk lebih tahu tentang ilmu hadits riwayat kita dapat menemukannya di beberapa kitab. Contohnya Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Al-Tirmidzi, dan Muwatta Imam Malik.
Merekalah yang mengumpulkan riwayat-riwayat dari suatu hadits di dalam satu kitab supaya bisa dihafal, ditelaah serta diamalkan oleh umat Islam di masa yang akan datang.
Ilmu hadits ini-lah yang dipakai ketika para ulama mengadakan Majelis-Majelis hadits di masjid, surau, serta dan tempat-tempat kajian di sekitar lingkungan kita.
Adapun jenis ilmu hadits yang kedua adalah hadits dirayah. Ilmu hadits ini lah yang melanjutkan apa yang sudah dikerjakan oleh ilmu hadits riwayat, yaitu mengklasifikasikan hadits-hadits yang telah diriwayatkan serta dikumpulkan di kitab-kitab hadits riwayat sehingga kita tahu mana hadits yang shahih, hasan, juga dhaif.
Ilmu ini memiliki beberapa nama lain, di antaranya ilmu kaidah hadits dan ilmu musthalah hadits.
Kedua ilmu hadits ini mempunyai tugasnya masing-masing dan saling melengkapi satu sama lain untuk menghasilkan pemahaman yang menyeluruh atas hadits itu sendiri.
Maka, merupakan suatu kemustahilan jika seseorang yang ingin memahami hadits akan tetapi tidak mempelajari dua ilmu ini secara komprehensif.
Apalagi tugas ilmu hadits yang sangat penting dalam khazanah keilmuan Islam mengharuskan seorang yang ingin memaknai, mengambil hukum, serta berpendapat dengan hadits untuk mempelajari dua ilmu ini dengan porsi yang cukup.
Ketika seorang Muslim ingin mencari hukum suatu permasalahan, pasti ia akan mencarinya di dalam Al-Quran terlebih dahulu. Apabila ia belum menemukannya di Al-Quran, maka hendaknya ia mencarinya di dalam hadits.
Maka dapat disimpulkan hadits datang sebagai penjelas hal-hal yang mujmal, mutlaq, serta umum di dalam Al-Quran. Banyak hal-hal yang tidak kita temukan hukum serta rinciannya di dalam Al-Quran.
Contohnya, jumlah rakaat tiap shalat, waktu dilaksanakannya, serta cara apabila seorang Muslim lupa mengerjakan salah satu rukunnya. Ini semua dapat ditemukan dan disebutkan secara terperinci dalam hadits.
Allah berkata dalam surat Al-Nahl ayat 44 :
(بِٱلۡبَیِّنَـٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَاۤ إِلَیۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَیِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَیۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ یَتَفَكَّرُونَ)
“(Kami mengutus mereka) dengan (membawa) bukti-bukti yang jelas (mukjizat) dan kitab-kitab. Kami turunkan Al-Dzikr (Al-Quran) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.”
Maka sudah sewajarnya bagi seseorang yang ingin memahami hadits-hadits Rasulullah untuk mempelajari ilmu hadits secara riwayat dan dirayah dimana dengan dua ilmu ini seseorang bisa menerima periwayatan hadits serta mengklasifikasikan derajat dari hadits tersebut serta memahaminya sesuai dengan apa yang Rasulullah ﷺ inginkan.
Selain itu, majelis hadits dapat dikategorikan sebagai majelis imu. Dimana Rasulullah pernah bersabda tentang keutamaan orang-orang yang datang serta hadir di majelis ilmu dalam salah satu hadisnya :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا يَذْكُرُونَ اَللَّهَ إِلَّا حَفَّتْ بِهِمُ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tidaklah suatu kaum duduk pada sebuah majelis berzikir kepada Allah, melainkan malaikat menaungi mereka dan rahmat-Nya menyelimuti mereka. Allah menyebut mereka di tengah orang yang ada di sisi-Nya (para malaikat, para rasul, dan para wali),’” (HR Muslim dan Imam At-Tirmidzi dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri).
يقال من انتهى إلى العالم وجلس معه ولا يقدر على أن يحفظ العلم فله سبع كرامات. أولها ينال فضل المتعلمين. والثاني ما دام جالسا عنده كان محبوسا عن الذنوب والخطأ. والثالث إذا خرج من منزله تنزل عليه الرحمة. والرابع إذا جلس عنده فتنزل عليه الرحمة فتصيب ببركتهم. والخامس ما دام مستمعا تكتب له الحسنة. والسادس تحف عليهم الملائكة بأجنحتها رضا وهو فيهم. والسابع كل قدم يرفعه ويضعه يكون كفارة للذنوب ورفعا للدرجات له وزيادة في الحسنات.
“Diceritakan, barangsiapa yang mendatangi seorang ulama dan duduk mengaji padanya—meski tidak dapat memahami ilmu yang disampaikan—setidaknya ia telah mendapatkan tujuh faedah, yaitu (1) ia mendapatkan keutamaan orang yang belajar. (2) Selama masih duduk bersama ulama, ia akan tercegah melakukan dosa dan kesalahan. (3) Ketika ia keluar dari rumahnya (untuk berangkat mencari ilmu) maka rahmat diturunkan untuknya. (4) Ketika ia duduk dengan ulama maka rahmat turun kepada ulama tersebut dan ia mendapatkan berkahnya. (5) Selama ia mendengarkan ilmu maka ditulis baginya kebaikan. (6) Malaikat mengepakkan sayapnya di atas majelis ilmu tersebut karena ridha dengan ilmu yang diajarkan. (7) Setiap langkah kaki yang ia angkat dan ia letakkan dihitung penghapus dosa dan pengangkat derajat serta tambahan kebaikan baginya.” (Abu Laits Nashr bin Muhammad as-Samarkandi, Tanbih al-Ghafilin bi Ahadits Sayyidil Anbiya’ wal Mursalin [Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2000], hal. 440).*/ Esas Khalifah Hakiki, disadur dari kuliah umum yang dibawakan oleh Prof. Dr. Muhammad Ibrahim Al-Asymawi di Sekolah Master, Depok, 29 Oktober 2024