Hidayatullah.com – Tanggal 22 September tahun 1888, seratus tahun sebelum terbitnya Majalah Hidayatullah, telah terbit sebuah majalah di Amerika Serikat bernama National Geographic. Majalah ini diterbitkan oleh seorang imigran Skotlandia di Amerika, Alexander Graham Bell, yang kemudian dilanjutkan oleh menantunya. Berarti saat ini majalah tersebut berusia 137 tahun.
Ketika itu, 1988, kami masih anak SMA yang ditugaskan oleh Ustadz Abdul Rahman dan direkrut oleh Ustadz Hamim Tohari untuk membantu penerbitan majalah. Pak Bowo yang rajin beli majalah-majalah bekas National Geographic dan lain-lain. Setiap bulan, kami ke pasar buku bekas Jalan Semarang, Surabaya, di dekat stasiun Pasar Turi untuk membeli berbagai majalah bekas, sebagai salah satu terobosan mencari inspirasi.
Waktu itu kami bertekad: Insyaallah, Majalah Hidayatullah akan hidup 100 tahun seperti National Geographic. Bahkan lebih. Tidak hanya dalam bentuk cetak, tapi sebagai gagasan, gerakan, dan media yang dinamis.
Tidak ada alasan selain optimis, bahwa kita bisa terus melanjutkan tugas ini. Karena ini bukan sekadar menerbitkan majalah biasa, melainkan menjadi penyambung lidah Rasulullah ﷺ. Kita ingin setiap insan yang membaca merasakan basuhan iman—mengutip istilah Ustadz Abdullah Said.
Milad atau Takziyah?
Hari ini, saat usia Majalah Hidayatullah memasuki 37 tahun, dalam kajian sejarah atau peradaban, usia 30–40 tahun adalah satu generasi. Maka, kita harus waspada: apakah ini milad atau takziyah? Insyaallah bukan takziyah.
Saya ingin mengutip surat Al-Furqan:
تَبٰرَكَ الَّذِيْ نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلٰى عَبْدِهٖ لِيَكُوْنَ لِلْعٰلَمِيْنَ نَذِيْرًاۙ
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya agar menjadi peringatan bagi seluruh alam.”
Jika Majalah Hidayatullah adalah perpanjangan dari Al-Quran, maka dia harus menjadi nadzīrā—pemberi peringatan. Ruang lingkupnya tidak boleh hanya untuk Indonesia, apalagi hanya Jawa Timur. Harus menjangkau hingga Kuba, Korea Selatan, dan negara-negara lain. Alhamdulillah, kini itu sudah terjadi lewat website, Instagram, dan YouTube. Tinggal jenis bahasanya diperbanyak. Mudah sekarang.
ࣙالَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ
”Yang kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi”
Karena itu, majalah ini tidak boleh berhenti karena kehabisan modal. Itu bertentangan dengan statusnya sebagai penegak Al-Furqan, karena pemodalnya adalah Pemilik Kerajaan Langit dan Bumi. Ini bukan milik organisasi, tetapi milik umat Muhammad ﷺ. Maka, khidmatnya juga kepada umat, bukan sekadar kepada organisasi Hidayatullah.
وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَّلَمْ يَكُنْ لَّهٗ شَرِيْكٌ فِى الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهٗ تَقْدِيْرً
”(Dia Allah) tidak mempunyai anak, dan tidak ada satu sekutu pun dalam kekuasaan-Nya. Dia telah menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”
Ini adalah isyarat agar majalah juga mendalami terus sains dan menjadi “bahasa tengah” dalam komunikasi: bahasa jurnalistik itu tidak sekaku bahasa ilmiah, tapi juga tidak sebebas imajinasi sastra, tetapi kuat dalam isi dan indah dalam penyampaian.
Lima Fungsi Majalah Hidayatullah:
Izinkan saya merangkum pelajaran dari berbagai ceramah Allahuyarham Ustadz Abdullah Said tentang lima fungsi utama Majalah Hidayatullah.
- Pembasuh hati dan penyegar ruhiyah
Membaca majalah ini harus seperti mendapat siraman ruhiyah yang segar. - Pengguncang dan penajam akal
Gagasan dakwah dan pembangunan masyarakat disampaikan lewat tulisan, baik oleh Ustadz Abdullah Said maupun tim redaksi berikutnya: Ustadz Mansur Salbu, Ustadz Abdul Latif Usman, Ustadz Hamim Tohari, Ustadz Abdul Rahman, Ustadz Muhammad Chusaini, Ustadz Ir. Sulaiman, Ustadz Rahmat Rahman, Ustadz Ainur Rofiq Syahifun dan lainnya. - Provokator amal saleh dan aksi
Seperti kisah Ustadz Agis Mahruri, yang batal bekerja di Kalimantan demi memilih jalan hijrah ke Gunung Tembak, setelah membaca majalah ini. - Tutorial teknis pengembangan masyarakat
Menjadi panduan dakwah dan tarbiyah dalam membangun masyarakat Islami. - Perekat jaringan harakah
Majalah ini menjadi simpul komunikasi antar-harakah Islam. Dulu, Laskar Jihad, Majelis Mujahidin, PK dan PKS, Masyumi/DDII, Muhammadiyah, dan NU, semua tokoh dan karya mereka kita angkat di majalah ini.
Kita Hendak ke Mana?
Kini, setelah 37 tahun, pertanyaan terbesarnya bukan hanya untuk majalah ini, tapi juga untuk gerakan dan harakahnya: Apa fungsi kita yang hendak dilanjutkan? Bukan hanya meneruskan warisan Ustadz Abdullah Said, tapi juga meneruskan misi Nabi Muhammad ﷺ. Modalnya sudah Allah sediakan—lebih berat dari langit dan bumi. Tidak boleh ada ruang untuk pesimis.
Optimisme kita bukan sekadar agar majalah ini bertahan. Tapi agar media ini menyebarkan seluas mungkin risalah Ilahiyah, risalah Quraniyah, dan risalah Nabawiyah ini terus berlanjut hingga 100 tahun ke depan.
Saya tutup dengan kutipan dari Sayyid Quthb dalam pengantar Tafsir Fī Zhilālil Qurān (Di Bawah Naungan Al-Quran). Sebuah kutipan yang, menurut saya, mewakili pula semangat Ustadz Abdullah Said ketika pertama kali menerbitkan majalah ini:
“Bacalah Fī Zhilāl ini, karena aku menulisnya sebagai alat untuk mendekatkan kalian kepada Al-Quran. Maka ketika kalian sudah dekat dengan Al-Qur’an, tinggalkanlah (kitab tafsir) Fī Zhilāl Qurān.”
Maksudnya, karya manusia seperti Fī Zhilāl dan Majalah Suara Hidayatullah, seberapapun hebat dan indahnya ada batas umur pengaruhnya bagi manusia. Jangan disucikan secara berlebihan. Ia hanya jembatan kita mengarungi dan menggelegarkan peradaban Al-Quran. Begitu diri kita, masyarakat, dan harakah kita sudah melekat dengan gerak Al-Quran, ngebutlah. Biarkan jembatan itu dipakai oleh mereka yang baru memulai mendekat, sedangkan kita, lanjutkan dengan jembatan berikutnya, sampai sukses ke pelabuhan terakhir.
Maju terus Majalah Suara Hidayatullah. Generasi baru akan menggelegarkanmu kembali. Insyaa Allah.*
Disarikan dan digubah dari sambutan Dzikrullah W. Pramudya, Pemimpin Redaksi (2001–2004), pada Acara Milad ke-37 Majalah Hidayatullah (27/5/25)