Oleh: Kholili Hasib
AKHIR-AKHIR ini, kalangan Syiah kembali menyebarkan dan mengangkat info ‘Amman Massage’ (Risalah Amman) melalui media sosial, blog, web dan grup-grup diskusi.
Penyebaran yang makin massif ini bertujuan mencari dukungan kalangan Sunni awam bahwa Syiah adalah faham yang diakui legitimasinya oleh para ulama sedunia.
Kaum Syiah sepertinya menggunakan ‘seribu cara’ untuk mempropagandakan akidahnya ke masyarakat Sunni Indonesia. Mencari legitimasi dari fatwa para ulama salaf jelas menuai jalan buntu.
Belakangan juga berupaya ‘mendekat’ kepada kalangan NU, dengan mencari persamaan tradisi dan kultur secara paksa. Cara ini juga dipastikan akan gagal karena sudah banyak bantahan-bantahan dari kalangan habaib dan ulama NU sendiri terhadapa ajaran Syiah.
Pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari mengatakan: “Di zaman akhir ini tidak ada madzhab yang memenuhi persyaratan kecuali madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Adapun madzhab yang lain seperti madzhab Syiah Imamiyyah dan Syiah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti.” (Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, halaman 9).
Fatwa tersebut menjadi ‘palu godam’ buat Syiah, bahwa Syiah tidak mendapatkan ‘tempat’ di Nusantara ini apalagi di tubuh NU. Sebab, baik Imamiyah maupun Zaidiyah dinilai sebagai madzhab yang tidak sah.
Satu cara gagal, cari cara lain. Inilah prinsip dakwah politis Syiah. Risalah Amman menjadi alat pencintraan kaum Syiah untuk mendapatkan simpatinya bagi masyarakat Muslim Indonesia. Karena itulah dalam kampanye, Syiah mirip dengan kampanye-kampanye partai politik kita. ‘Menjual’ apa saja yang menguntungkan. Ada hal-hal yang ditutupi dan mengangkat butir-butir yang dianggap menguntungkan.
Tentang Isu Madzhab Fikih
Risalah Amman adalah deklarasi para ulama yang dihadiri sekitar 552 ulama dari berbagai Negara di dunia. Diadakan pada tanggal 4-6 Juli 2005 di Amman, ibu kota Jordania. Di antara poin isinya adalah, larangan mengkafirkan terhadap madzhab-madzhab Islam dan mengupayakan persatuan Islam. Beberapa ulama besar yang mendandatangi adalah Syeikh Yusuf Qardhawi, Syeikh Ahmad Thayyib (Mufti al-Azhar), Syeikh Ali al-Salus, Syeikh Wahbah al-Zuhaili, dan lain-lain.
Butir nota kesepahaman yang menjadi alat propaganda Syiah adalah butir pertama yang dipotong yang berbunyi:
“Siapasaja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah Ja’fari dan Zaydiyah, mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. Tidak diperbolehkan mengkafirkan salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas. Darah, kehormatan dan harta benda salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas tidak boleh dihalalkan.”
Disebut dalam nota kesepahama tersebut, Syiah madzhab Ja’fari dan Zaidiyah tidak boleh dikafirkan dan darahnya tidak boleh dihalalkan.
Dari konteks dan substansinya, kita lebih mudah memahami bahwa deklarasi tersebut sebetulnya ada sisi politis. Di mana meningkatnya suhu politik negera-negara Arab, dan terjadinya peperangan serta pertentangan hebat antar madzhab fikih merupakan konteks yang melatari diadakannya deklarasi.
Dari teks Risalah Amman ini, setidaknya ada tiga kesimpulan.
Pertama, deklarasi tersebut lebih disemangati oleh saling toleransi dalam menyikapi perbedaan fikih, bukan konsensus pengesahan Syiah Rafidhah (Syiah Istna Asyariyah) sebagai akidah yang selamat dari persoalan.
Karena itu, isi deklarasi tersebut menggunakan istilah ‘madzhab’. Maka kita bisa lebih mudah mengerti bahwa seseorang tidak boleh dikafirkan hanya karena berbeda madzhab fikih.
Seseorang yang berbeda dalam soal qunut subuh misalnya, tidak boleh saling menyesatkan apalagi mengkafirkan. Begitu pula tidak boleh menjatuhkan vonis kafir karena seseorang tidak bersedekap dalam shalat atau karena dia tidak mengucapkan “Amin” dalam shalat. Persoalan-persoalan hukum seperti ini bukan domain untuk vonis takfir dan sebab seseorang itu menjadi murtad.
Ja’fariyah kononnya merupakan fikih yang dinisbatkan kepada Imam Ja’far al-Shadiq. Di kalangan Ahlus Sunnah Ja’far al-Shadiq adalah memang ahli fikih. Makanya, menurut deklarasi Amman tersebut, kita tidak boleh menganggap kafir seseorang hanya karena dia mengorientasikan pandangan fikihnya pada madzhab Ja’fari.
Kedua, pesan penting yang dimaksudkan dalam deklarasi tersebut adalah larangan untuk mengkafirkan sesama Muslim disebabkan berbeda dalam madzhab fikih. Bukan melegitimasi sahnya akidah Syiah Imamiyah. Persoalannya, penganut Syiah Imamiyah sudah melewati batas, lebih dari sekedar bermadzhab Ja’fariyah.
Meskipun, menurut pemahaman penulis, madzhab fikih Imam Ja’far sudah punah. Jika pun ada, sudah banyak terjadi distorsi dan pemalsuan. Isnad dan kitab-kitab aslinya susah ditemui. Sehingga, bagi penulis, memasukkan Ja’fariyah ke dalam poin di atas kurang tepat. Namun, penulis memahami itu nota kesepahaman tersebut bersifat politis.
Butir pertama sebetulnya mengandung dua isu besar. Yaitu isu madzhab fikih, dan isu akidah. Yang diangkat oleh Syiah di atas, adalah isu madzhab fikih saja.*/bersambung Mengapa Syiah Imamiyah tak Disebut?
Penulis adalah Peneliti InPAS, Anggota MIUMI Jawa Timur