Oleh: Adif Fahrizal
BELAKANGAN ini “Islam Nusantara” menjadi istilah yang ramai diperbincangkan di tengah masyarakat, khususnya di media sosial. Istilah ini ramai diperbincangkan setelah Kementerian Agama (Kemenag) RI mengangkat wacana “Islam Nusantara” sebagai bagian dari program besarnya untuk membangun keberagamaan masyarakat Indonesia yang moderat, toleran, dan menghargai keberagaman.
Salah satu wujud kongkrit dari “Islam Nusantara” yang diangkat Kementerian Agama adalah menampilkan pembacaan Al Qur`an dengan langgam Jawa pada acara peringatan Isra` Mi’raj di Istana Negara tanggal 16 Mei lalu.
Sebuah langkah yang kemudian menimbulkan kontroversi di tengah umat Islam Indonesia. Berawal dari kasus “langgam Jawa” ini wacana “Islam Nusantara” menimbulkan reaksi miring dari sebagian umat Islam. Muncul anggapan bahwa “Islam Nusantara” hanyalah kedok baru bagi proyek liberalisasi Islam yang sudah berlangsung sejak lama. Menurut mereka yang kontra, wacana ini adalah suatu upaya memecah belah umat Islam lewat perbedaan kebangsaan dan regional serta melegitimasi berkembangnya aliran-aliran sesat dengan dalih budaya dan kearifan lokal. Di sisi lain wacana ini mendapat tanggapan positif dari sebagian umat Islam lainnya.
Bagi kalangan yang mendukungnya, “Islam Nusantara” justru sangat penting untuk diangkat sebagai upaya untuk memberikan sumbangsih Islam bagi peradaban dan perdamaian dunia di saat negara-negara Timur Tengah yang dianggap sebagai pusat Islam justru sedang dilanda konflik berkepanjangan.
Yang menjadi pertanyaan, benarkah wacana “Islam Nusantara” ini adalah kedok bagi liberalisasi Islam? Jikapun benar demikian apakah wacana ini hanya semata-mata kedok liberalisasi Islam belaka? Tidakkah ada kemungkinan lain bahwa ada pula orang-orang yang mengangkat wacana ini tanpa memiliki agenda liberalisasi Islam?
Tulisan ini mencoba untuk meletakkan wacana “Islam Nusantara” secara adil tanpa terjebak dalam sikap pro ataupun kontra secara berlebihan.
Satu Istilah Beragam Definisi
Melalui penelusuran di dunia maya penulis menemukan sejumlah definisi yang berbeda tentang “Islam Nusantara”. Setidaknya ada tiga definisi yang penulis temukan terkait dengan wacana “Islam Nusantara ini. Definisi pertama datang dari itu Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra. Ia mendefinisikan “Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia” (http://fah.uinjkt.ac.id/index.php/20-articles/kolom-fahim/197-islam-nusantara-adalah-kita).
Definisi kedua dikemukakan Katib Syuriah PBNU yang juga pengajar di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus Situbondo K.H. Afifuddin Muhajir mendefinsikan “Islam Nusantara” sebagai “faham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat” (http://muktamar.nu.or.id/meneguhkan-islam-nusantara-untuk-peradaban-indonesia-dan-dunia/).
Intelektual muda NU yang produktif menulis Ahmad Baso menyumbangkan definisi ketiga “Islam Nusantara”. Menurutnya “Islam Nusantara” adalah “ma’rifatul ulama-i-l-Indonesiyyin bil-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah” atau “majmu’atu ma’arifil -l- ulama-i-l-Indonesiyyin bil-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah” (al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas) (https://rmi-nu.or.id/nahdlatul-ulama/apa-itu-islam-nusantara-2748).
Ada juga Ahmad Baso juga memberikan beberapa contoh ijtihad ulama Nusantara yang bisa dikategorikan sebagai khazanah “Islam Nusantara” antara lain tradisi imsak di bulan Ramadhan, halal bihalal di bulan Syawal, ta’liq thalaq, dan kaidah al-muhafazhah ‘ala qadimish shalih.
Menilik beragamnya definisi “Islam Nusantara” tersebut di atas terlihat bahwa belum ada kesepakatan tentang apa yang dimaksud “Islam Nusantara” di antara para pengusungnya sendiri. Dengan kata lain, sebagai sebuah wacana “Islam Nusantara” sesungguhnya adalah wacana yang masih kabur.
Jika definisinya saja belum jelas jangan heran bila ketika wacana ini dilempar ke publik banyak timbul persepsi yang beragam yang akhirnya menimbulkan perdebatan dan kegaduhan.
Sungguh tidak bijak melempar sebuah wacana ke tengah publik yang tidak seragam dalam hal kapasitas intelektual dan tingkat penangkapannya atas sebuah gagasan manakala wacana itu sendiri masih diliputi kekaburan dan kerancuan.
Dalam situasi semacam ini jangan salahkan jika sebagian publik -dalam hal ini sebagian umat Islam- menilai “Islam Nusantara” secara negatif. Bukankah Islam itu sendiri sejatinya hanya satu? Lantas mengapa harus ada istilah “Islam Nusantara” yang kemudian seringkali didikotomikan atau dihadap-hadapkan dengan “Islam Arab”. Wajar bila timbul kecurigaan ada agenda tertentu di balik pemunculan wacana ini.* (bersambung)
Penulis adalah mahasiswa S2 Sejarah Universitas Gajah Mada