Sambungan artikel PERTAMA
Setelah itu, sejumlah artis senior (yang juga pernah membintangi film dewasa atau foto model berpakaian minim) turut bertaubat dan mulai berhijab. Tentu saja, lebih banyak lagi jumlah artis senior wanita yang selalu sopan berpenampilan, juga mendapat hidayah-Nya untuk berhijab.
Meskipun hijab yang dipakai para artis perempuan pada umumnya belum sempurna secara syar’i, namun fenomena ini melegakan hati kaum muslimah di Indonesia.
Kini, hijab seakan menjadi bagian tak terpisahkan dari penampilan muslimah Indonesia, dan negara-negara muslim lainnya di luar kawasan Timur Tengah. Sebelum awal 1990-an silam, sangat sulit dijumpai muslimah berhijab di berbagai sekolah, kampus, pasar, pabrik, kantor, maupun sarana umum lainnya. Kini keadaaannya berubah drastis. Sekarang malah tidak gampang menjumpai muslimah tak berhijab di tempat-tempat publik.
Bahkan sejak pemerintahan BJ. Habibie (1998 – 2000), hampir semua istri tentara dan polisi yang beragama Islam pun memakai hijab. Padahal di masa orde baru, mereka dilarang berhijab, apalagi sewaktu memakai seragam anggota persit (persatuan istri tentara) dan bhayangkari (persaatuan istri polisi).
Begitu mudah dan bebasnya penggunaan hijab sekarang, sampai-sampai para muslimah yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan (tingkat pusat hingga kelurahan) pun berhijab. Malah banyak sekolah negeri (SD hingga SMA) yang sangat menganjurkan para siswi muslimahnya untuk berhijab. Padahal di zaman Soeharto, sekolah-sekolah negeri adalah institusi yang sangat represif terhadap para siswi berbusana muslimah.
Tidak hanya itu, jika dulu ada seorang presenter wanita yang dipecat oleh sebuah stasiun televisi swasta karena berhijab, kini tidak sedikit reporter maupun presenter wanita yang berhijab di hampir seluruh stasiun televisi negeri (TVRI) maupun swasta.
Di hampir seluruh daerah, para gubernur, walikota, maupun bupati aktif menganjurkan para PNS muslimah untuk berhijab ketika bekerja. Meskipun hanya sebatas anjuran, namun para PNS muslimah sangat antusias memakai busana taqwa itu. malah sejumlah kabupaten di Pulau Sulawesi pun memperbolehkan PNS wanita berhijab syar’i (hijab besar yang dilengkapi cadar). Subhanallah.
Kebebasan dan semakin banyaknya muslimah berhijab di negara ini patut disyukuri. Terlebih, hingga kini para muslimah di sejumlah belahan dunia (seperti Xinjiang yang dijajah Cina dan Rohingya yang dijajah Myanmar), masih dilarang menggunakan busana yang diperintahkan agama tersebut. (Nurhidayat, 2008).
Para muslimah Perancis yang berhijab pun tidak bebas pergi ke sejumlah sarana publik, meskipun umat Islam adalah warga mayoritas ke-2 di negara tersebut. (Al Qaradhawi, 2004).
Bahaya Hiboob
Namun demikian, pada sisi yang lain, fenomena ini juga dirasa sangat menggelisahkan. Tidak sedikit muslimah yang belum memakai hijab sesuai tuntunan Islam. Sebagian besar di antara mereka masih memandang hijab hanya sebatas kerudung dan sekedar bisa menutupi bagian rambut mereka saja. Fungsi utama hijab yang seharusnya dapat menutupi seluruh tubuh muslimah (kecuali bagian yang diperbolehkan secara syariat) seakan tidak optimal.
Lebih memprihatinkan lagi, banyak di antara muslimah yang tidak memandang hijab sebagai perintah Allah subhanahu wata’ala. Hijab dipandangnya hanya sebagai mode yang sedang trendy, atau sebagai pengganti model rambut.
Mereka hanya ikut-ikutan memakai kerudung ‘seadanya’, sementara bagian tubuh yang seharusnya ditutupi dari pandangan orang-orang non mahram, dibiarkan ‘terbuka’. Sehingga esensi perintah berhijab pun tidak dipahami, apalagi dijalankan dengan baik. Seperti kata seorang menteri di Indonesia, bahwa hijab dipandang sebagai selembar kain biasa saja.
Akibatnya, mereka sudah merasa berhijab. Padahal sejatinya mereka hanya ‘berhijab’ (hijab dalam tanda petik). Artinya, mereka seolah-olah berhijab, padahal sebenarnya tidak berhijab.
Mereka masih menampakkan aurat yang seharusnya ditutupi, terlebih bagian tubuh sekitar dada. Bagian tubuh yang sangat berpotensi mengundang syahwat orang-orang non mahram itu tidak ter-hijab-i, karena pakaian mereka tipis, ketat, bahkan transparan.
Karena masih menampakkan auratnya, terutama pada bagian sekitar dada, mereka tidak layak disebut sebagai hijaber. Mungkin lebih tepat disebut sebagai hiboober. “Boob” sendiri merupakan istilah kasar (tidak sopan) dalam masyarakat Barat untuk menyebut (maaf) payudara perempuan. (Dalzell & Victor, 2008).
Dan fenomena buruk tentang salah-kaprah penggunaan hijab ini lebih cocok disebut sebagai fenomena hiboob.
Hiboob adalah ‘virus’ yang sangat berbahaya bagi kaum muslimah. Mereka yang terserang ‘virus’ ini bisa merasakan bahayanya di dunia, bahkan di akhirat kelak (jika belum sempat bertaubat sebelum malaikat maut menjemput).
Baca: Wahai Saudariku, Kenapa Engkau Berpakaian Tapi Telanjang
Fenomena hiboob belum dijumpai pada masa hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Namun demikian, keadaan memprihatinkan ini sebenarnya telah diceritakan beliau 14 abad silam:
“Akan ada pada akhir (zaman) umatku nanti, perempuan-perempuan yang berpakaian (berhijab) tapi (sebenarnya) telanjang (tidak berhijab), kepala mereka (terlihat) seperti punuk onta, laknatlah mereka karena sesungguhnya mereka adalah perempuan-perempuan terlaknat.” (HR. Tirmidzi)
Kini, jutaan muslimah sudah terjangkit hiboob. Mereka harus ‘disembuhkan’ dari ‘virus’ berbahaya ini agar selamat di dunia dan akhirat. ‘Virus’ hiboob harus diberantas agar tidak menjangkiti kaum muslimah lainnya yang masih ‘sehat’.
Mencermati hal tersebut, perlu adanya strategi komunikasi yang kompresenhif dalam pemberantasan hiboob. Para ulama dan da’8 dari berbagai lembaga Islam diharapkan semakin bersatu dan bersinergi untuk memberikan bimbingan kepada umat Islam, terutama kaum muslimah agar menjauhi ‘virus’ berbahaya ini. Dan media massa Islam hendaknya semakin aktif mempublikasikan berbagai fatwa ulama, artikel, maupun hasil-hasil penelitian tentang dampak buruk hiboob bagi para muslimah. Wallahualam.*
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo / Penulis buku “Muslimah yang Ternoda”