Jika merujuk pada penjelasan Angel Rabasa kepada Gus Hamid jelas moderasi adalah satu paham yang mendorong umat beragama (termasuk umat Islam) menerima apa yang dinilai baik oleh peradaban Barat
Oleh: Imam Nawawi
Hidayatullah.com | BELAKANGAN ramai isu moderasi agama. Gus Hamid (Prof Dr Hamid Fahmy Zarkasy) dalam Kajian Minhaj yang disiarkan oleh MIUMI di Channel MIUMI TV (7/10) malam mengatakan bahwa hampir di seluruh dunia tampaknya tiba-tiba akan ramai membahas moderasi agama. Tetapi apa sebenarnya moderasi beragama itu?
Menurut guru besar filsafat Islam dan juga dikenal pakar dalam pemikiran Islam ini, kata moderasi itu adalah istilah yang berasal dari Barat. Jadi, secara makna dan pelaksanaan tentu saja harus sesuai dengan cara pandang Barat.
“Kata moderat itu adalah kata-kata yang mereka ciptakan dengan makna yang mereka ciptakan (pula),” tegasnya dalam forum Minhaj itu.
Selanjutnya, dalam kesempatan itu, Gus Hamid mengisahkan pengalaman dialognya dengan Angel Rabasa. Yang hal itu juga pernah ditulisnya dalam artikel berjudul “Blasphemy”. Dr. Angel Rabasa adalah Analis Kebijakan Senior di RAND Corporation.
Di situ dituliskan pada paragraf pertama, “Dalam suatu simposium di Tokyo saya bertemu dengan Angel Rabasa. Ia salah seorang peneliti pada Rand Coorporation, yaitu NGO yang memberi saran dan masukan ke Security Council Amerika Serikat (AS) bagaimana menumpas fundamentalisme dalam Islam pasca 11 September.”
Ketika Gus Hamid bertanya tentang apa itu moderat, Rabasa menjawab bahwa moderat artinya orang yang mau menerima pluralisme, feminisme, kesetaraan gender, demokrasi, kemudian humanisme dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, Gus Hamid menegaskan bahwa dengan begitu, kata moderat tidak bisa diterjemahkan menjadi Islam Wasathiyah. “Yang betul adalah wasathiyatul Islam, bahwa Islam itu adalah agama wasathan, yang kata-kata wasath itu dalam Tafsir Misbahul Munir dipahami sebagai di tengah, kemudian pertengahan, yang terbaik, kemudian adil, antara baik dan buruk, kemudian antara dua pihak yang berseteru, jadi, ya, seperti wasit, ya,” ungkapnya.
Mengatur Manusia yang Meyakini Aturan
Jika merujuk pada penjelasan Angel Rabasa kepada Gus Hamid jelas moderasi adalah satu paham yang mendorong umat beragama (termasuk umat Islam) menerima apa yang dinilai baik oleh peradaban Barat. Dengan kata lain, jika ada umat beragama (apalagi umat Islam) yang tidak menerima apa yang disiarkan dan dipropagandakan Barat, maka ia tidak moderat. Dan, karena itu harus disikapi sebagai radikal dan beragam stigma buatan Barat itu sendiri.
Hal ini menunjukkan secara logika bahwa moderasi ingin umat beragama ikut aturan moderasi yang diciptakan manusia dan dalam hal ini bersumber dari nilai-nilai dan kebudayaan Barat. Jadi, tidak berlebihan kalau moderasi hendak mengatur manusia yang sudah memiliki keyakinan terhadap aturan hidup (baca agama).
Oleh karena itu, makna moderat di dalam buku “Moderasi Beragama” yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI yang diberi prolog oleh Lukman Hakim Saifuddin menjadi sangat bias. “Moderat dalam beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluknya, yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang, tetapi berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama.” (lihat halaman 14 buku Moderasi Bergama).
Kata “tetapi berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama” ini sangat bias dan tidak jelas. Terlebih bagi orientalis dan pandangan hidup Barat, otoritas di dalam agama telah lama digugat dan dinegasikan. Artinya semua orang bebas memberikan tafsir.
Kemudian apakah bisa dicerna dengan nalar sehat ungkapan “berbagi kebenaran?” Apakah kebenaran seperti kue, makanan atau roti, yang bisa dibagi-bagi dan dinikmati bersama?
Jadi, moderasi ini jika dimaknai sebatas ungkapan Rabasa bisa disebut sebagai upaya menancapkan tirani cara berpikir Barat dan materialisme terhadap umat beragama, utamanya umat Islam. Karena bagaimanapun juga, dalam realitas nantinya, orang akan dipaksa mengamalkan arti moderasi menurut Barat dibanding wasathiyah di dalam ajaran Islam itu sendiri.
Hormatilah Ajaran Agama
Kemudian dalam ulasan “Kajian Konseptual Moderasi Beragama” dituliskan, “Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional maupun global.” (lihat halaman 18).
Jika toleransi yang hendak dicapai, maka moderasi tidaklah begitu diperlukan di Indonesia, sebab sejak awal bangsa dan negara ini, termasuk umat beragama yang ada di dalamnya tidak menyukai perselisihan apalagi sampai perang, sebagaimana sejarah Eropa di abad kegelapan.
Kalau kemudian dituliskan dalam buku Moderasi Beragama itu setiap umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni, bukankah itu seudah terwujud sebelum ada konsep moderasi beragama ini.
Jadi, kalau benar, jujur dan tulus, yang diharapkan adalah keharmonian, toleransi dan sikap saling menghormati, Pancasila juga sudah diterangkah di era orde baru bagaimana harus diamalkan dalam konteks kerukunan antar umat beragama. Dan, dalam konteks Indonesia sebagai bangsa yang pernah terjajah, persatuan itu telah diwujudkan, sehingga mampu mengusir penjajahan Belanda selam 350 tahun.
Tetapi, kalau memang maksudnya adalah menjadikan moderasi lebih unggul di atas nilai-nilai agama, di sini sepertinya konsep ini akan mendapat penolakan dari fitrah bangsa Indonesia yang sejak awal memang sangat cinta damai, komitmen terhadap kerukunan dan terbiasa hidup berdampingan dengan sikap saling menghormati.
Ada dua hal yang paling dasar harus dilakukan oleh perumus moderasi beragama yang saat ini kembali digaung-gaungkan. Pertama, sebagai Muslim kita tidak perlu silau dengan istilah-istilah, konsep-konsep dari Barat yang kelihatanya baik padahal racun.
Al-Qurna, hadits, kita para ulama-ulama kita sudah sangat bertebaran menjarka indahnya ukhuwah, toleransi dan sebagainya. Kedua, sebaiknya adalah apakah dirinya secara sadar, dari mental dan intelektual serta sosial telah benar-benar menghormati aturan dalam ajaran setiap agama dan termasuk agama Islam?
Jika jawabannya positif, sudah barang tentu ia akan mengajak pemuka agama untuk bersama-sama menjaga kebaikan negeri ini. Jika jawabannya negatif, bagaimana mungkin mereka merumuskan sikap saling menghormati, sedangkan penghormatan dirinya terhadap agama benar-benar tidak dipelihara. Allahu a’lam.*
Peminat Kajian Islam dan Keindonesiaan