Oleh: Imam Nawawi
DI ERA modern seperti sekarang, budaya impor yang merusak masih saja terjadi. Belakangan ini terjadi dalam isu Lesbian, Homoseksual, Bisexual dan Transgender (LGBT).
Ironisnya, asalkan impor budaya itu merujuk pada apa yang oleh Barat dinilai baik, pengasong di berbagai dunia pun seolah merasa bangga, cerdas dan terhormat.
Chimamanda Ngozi Adichie misalnya, penulis perempuan asal Nigeria itu dinilai cerdas hanya karena kerap menulis tentang kesetaraan antara cowok dan cewek yang di negerinya. Menurutnya, cewek tidak punya hak maju dan menjadi pemimpin serta amat beresiko bila mengusung feminisme.
Sebelum ini, Majalah Kawanku edisi Februari 2016 di Rubrik Dari Redaksi menulis masalah feminisme.
Majalah bergenre remaja itu mengisi rubrik perlu tahu (halaman 36) dengan tema “Dicari Male Feminist.” Di rubrik tersebut dijelaskan maksud dari male-feminist.
“Setelah feminisme, muncul pemikiran sejenis yaitu male-feminist, yaitu cowok-cowok yang mendukung konsep feminsime. Cowok seperti itu boleh banget masuk daftar wajib gebet.”
Chimamanda yang pernah meraih orange-prize merupakan salah satu novelis muda asal Nigeria menulis buku feminism berjudul We Should All Be Feminist.
Dengan kata lain, apa yang sah di Barat, di Indonesia pun harus dikamapanyekan dan terus disosialisasikan di tempat kita, yang dikenal budaya dan adab yang tinggi.
Jika feminisme ini berhasil dan juga diterima oleh kalangan muda, tahap berikutnya mungkin LGBT yang akan jadi agenda utama untuk kemudian juga diterima secara luas oleh masyarakat dan bangsa Indonesia.
Apalagi, Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) telah resmi melegalkan perkawinan sejenis (perkawinan homoseksual) di seluruh negara bagian AS (27/6/2015).
Cendekiawan Islam Adian Husaini belum lama ini menulis bukunya “LGBT di Indonesia Perkembangan dan Solusinya”. Dalam buku ini menjelaskan bahwa kampanye LGBT tergolong sangat cepat dan sukses di Amerika Serikat.
“Kasus di AS menunjukkan, bahwa persepsi bangsa AS bisa diubah dalam waktu begitu singkat. Itu dilakukan dengan kampanye yang sangat massif di media massa, khususnya media ang dikuasai kaum Yahudi.” (halaman 26).
Indonesia, lanjut Adian telah menjadi sasaran kampanye LGBT sejak awal tahun 2000-an. Menurutnya, cepat atau lambat wabah LGBT ini akan merebak di Indonesia, sejalan dengan liberalisasi pemikiran LGBT.
Terbukti, tahun 2004 mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Islam di Semarang menerbitkan Jurnal Justisia yang secara terbuka menulis laporan utama berjudul: “Indahnya Kawin Sesama Jenis”. [baca: “Promosi Lesbi, Hina Nabi, Lecehkan Al-Quran”]
Masih hangat, beberapa waktu lalu, empat huruf itu tiba-tiba (kembali) menjadi pembicaraan di tengah-tengah publik. Pemicunya tak lain adalah sebuah poster yang disebar secara viral melalui media sosial pada Kamis (21/01) pekan lalu.
Dalam poster tersebut tertulis penawaran konseling bagi mereka yang memiliki kecenderungan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Kelompok layanan bimbingan dan konseling ini bernama Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC).
Pendek kata, bangsa Indonesia sedang menghadapi gempuran kampanye LGBT yang sangat serius, massif dan sistematis. Berbagai lembaga survei independen dalam dan luar negeri menyebutkan bahwa Indonesia punya tiga persen kaum LGBT dari total penduduknya.
Artinya, dari 250 juta jiwa penduduk kita, mengindikasikan “virus” LGBT telah bersarang dan darurat di negeri ini.
Angka itu kemungkinan akan terus bertambah mengingat secara global telah ada 11 negara yang melegalkan LGBT, seperti Belanda, Belgia, Spanyol, dan Swedia. Dan, seperti jamak dipahami, asalkan ada negara Barat yang menerapkan suatu gagasan yang bertentangan dengan kemanusiaan dan agama (baca Islam), maka seluruh dunia pun, apalagi Indonesia seperti wajib untuk melakukan hal yang sama. LGBT pun bisa perkasa di negeri ini.
Terlebih, LGBT telah dimasukkan dalam agenda perjuangan HAM global, maka siapa saja atau negara mana saja, yang tidak menerapkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap kaum LGBT akan dimasukkan dalam kategori “pelanggaran HAM.”
Adian Husaini membuat penjelasan lebih konkret, “Seperti halnya tindakan “rasisme” yang secara internasional dinyatakan sebagai suatu bentuk kejahatan, maka saat ini juga disosialisasikan istilah “homofobia” sebagai suatu bentuk kejahatan, bahkan ditetapkan sebagai suatu penyakit jiwa (mental illness).” (Bersambung)
Penulis pimpinan redaksi MULIA