Oleh: Imam Nawawi
Hidayatullah.com | MEMASUKI 1 Januari 2020 intensitas hujan di Jakarta dan Jawa Barat berlangsung cukup panjang. Hal tersebut menjadikan beberapa daerah harus rela di sapa luapan air, bahkan banjir. Pagi hari pun masyarakat heboh dengan berita berupa banjir yang terjadi di Jabodetabek bahkan Bandung dan Jawa Barat.
Namun, sejatinya masalah hujan ini tidak sewajarnya manusia hanya mampu menuding apalagi sampai mengutuk hujan yang sejatinya amat dibutuhkan oleh kehidupan alam dunia ini. Faktanya memang terbalik, sebagian manusia kerap angkat tangan terhadap apa yang menyusahkan kehidupan mereka sendiri.
Ketika kita memperhatikan diksi yang digunakan oleh banyak media di Indonesia maka banjir yang terjadi dimana-mata itu seakan-akan disebabkan oleh hujan atau curah hujan. Anehnya, masyarakat luas tanpa berpikir lebih jauh dengan begitu saja menerima logika itu. Manusia memang pandai angkat tangan dan bahkan sembunyi tangan.
Fakta sembunyi tangan, bisa kita lihat dalam tataran politik. Secara politik ibu kota Jakarta pada masa Jokowi menjadi gubernur dan dilanjutkan oleh Ahok, ketika Jakarta dilanda banjir media menuliskannya sebagai genangan. Akan tetapi kini dimasa Anies Baswedan istilah genangan itu entah menguap kemana, yang jelas sekarang banjir sudah di depan mata, masyarakat pun lupa dengan istilah genangan, yang ada adalah banjir.
Kembali pada logika yang kerap menuding hujan sebagai penyebab banjir. Benarkah banjir yang terjadi di mana-mana itu disebabkan murni oleh hujan?
Atau itu dikarenakan keangkuhan manusia yang sering semena-mena di dalam membangun?
Sebab dalam praktiknya membangun kerapkali apa yang semestinya diperhatikan, seperti ekologi dan ekosistem lingkungan justru kerapkali diabaikan.
Hakikat Banjir
Jika kita merujuk pada sejarah Nabi Nuh alaihissalam maka kita temukan fakta bahwa banjir Allah turunkan akibat ulah manusia yang menolak kebenaran. Dan, kita ketahui saat ini secara politik betapa negeri ini amat gaduh dengan warna-warna amoral, kebohongan, persekongkolan, dan beragam hal-hal negatif lainnya yang seakan-akan menjadi sebuah kebaikan dan kewajaran. Padahal berdaya rusak tinggi bahkan sangat membahayakan.
Oleh karena itu sebagai insan yang beriman kita mesti melihat jauh lebih dalam. Banjir memang pasti terjadi di musim hujan tetapi tidak berarti hujan itu sendiri yang menjadi sebab utama terjadinya banjir.
Secara saintis kita semua mengerti bahwa ilmu bumi menyatakan banjir yang terjadi karena ulah manusia tidak komitmen di dalam merawat alam, katakanlah dalam hal ini pelestarian hutan. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya hutan-hutan yang gundul yang ketika musim hujan turun tidak ada lagi yang bisa memanfaatkan keberkahan dari langit itu karena akar-akar pohon telah tiada.
Di perkotaan sungguh ketika manusia membangun tanpa rencana yang jelas, mengabaikan analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan mengutamakan kepentingan pragmatis segelintir orang yang kerap disebut pengembang dan lain sebagainya, maka kala musim hujan tiba, air penuh berkah dari langit itu pun berubah menjadi bencana daripada rahmat dan berkah.
Logikanya sangat sederhana, hujan diturunkan oleh Allah subhanahu Wa ta’ala karena memang kehidupan di bumi sangat memerlukan air. Dan, konstruk alam itu sendiri telah memadai dan akan semakin seimbang dengan turunnya air hujan.
Oleh karena itu di dalam Al-Qur’an hujan disebut sebagai rahmat.
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لَّكُم مِّنْهُ شَرَابٌ وَمِنْهُ شَجَرٌ فِيهِ تُسِيمُونَ
“Dialah Tuhan yang menurunkan hujan dari langit bagi kalian. Diantara air hujan itu ada yang menjadi minuman, ada yang menumbuhkan pepohonan, dan ada pula yang menumbuhkan rerumputan yang menjadi makanan bagi ternak kalian.” (QS: Surat An-Nahl (16): 10).
Akan tetapi ketika manusia dengan kepentingannya tidak lagi peduli dengan kondisi alamnya maka sudah barang tentu hujan yang semestinya bisa ditampung dan menjadi berkah berubah menjadi sebuah malapetaka.
Dan, ini adalah fakta yang tidak mungkin dipungkiri. Pada medio 2019, pernah muncul berita bahwa pemerintah berencana menghapus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan AMDAL. Spontan rencana konyol itu mendapat penolakan serius dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Dalam logika awam saja gagasan itu selain tidak jelas juga amat sulit dimengerti. Dan, tidak mungkin ide rusak seperti ini lahir melainkan pasti dari keserakahan.
Oleh karena itu sangat relevan jika seorang Muhammad Said Didu (1/1/2020) dalam twitnya mengatakan, “Semoga banjir yg sedang terjadi menyadarkan pemerintah bhw ide penghapusan Amdal adalah salah.
Amdal itu sangat penting!”
Dengan demikian mari hidupkan hati kita, lihatlah fenomena alam yang terjadi ini dengan kacamata iman. Setidaknya kita bisa mengambil pelajaran besar bahwa apa yang kita lakukan sebagai sebuah upaya membangun jika landasannya adalah keserakahan, pragmatisme, dan perilaku amoral lainnya, maka semua itu akan semakin membuat hidup kita tersungkur dan tidak berarti apa-apa.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Lihatlah Tol Cipali yang menjadi sungai dadakan. Sebuah mobil mewah di BSD Tangerang hanyut oleh arus banjir di jalanan perumahan yang menjadi medan arus luapan air. Bahkan pemukiman di Padalarang pun jalanan berubah menjadi seolah-olah sungai karena air yang meluap begitu deras. Bisa apa manusia di hadapan banjir?
Inilah saatnya kita bermuhasabah, silakan cari keuntungan tapi jangan dengan keserakahan. Silakan membangun tapi jangan dengan kesewenang-wenangan. Sebab di Indonesia kalau tidak tiba musim hujan maka itu musim kemarau. Dan, ketika manusia tidak pernah mau belajar selamanya kita akan dibuat resah dan susah oleh kemarau dan hujan.
Saat kemarau kita mengeluh asap karena hutan kebakaran. Saat hujan kita mengeluh banjir karena curah hujan yang tinggi. Padahal sesungguhnya semua itu terjadi karena ulah tangan manusia sendiri.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS: Ar Ruum [30]:41). Allahu a’lam.*
Penulis pengurus Syabab Hidayatullah