Oleh: Imam Nawawi
ADALAH Bilal bin Rabah, seorang budak yang dikeal sebagai sosok manusia yang teguh dalam iman kepada Allah dan Nabi Muhammad.
Siksaan tidak manusiawi yang dialaminya pun, tak mampu mengubah keyakinannya. Padahal wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad baru lima ayat dari Surah Al-‘Alaq kala itu.
Demikian pula ketika harus menjelaskan mengapa keluarga Yasir lebih rela meregang nyawa dalam siksaan biadab kaum kafir Quraisy, daripada meninggalkan keimanan mereka. Apa yang sebenarnya mereka ketahui, apa yang sejatinya mereka harapkan dan kemana mereka hendak melangkah? Mengapa sedemikian yakin hati mereka mempertaruhkan kehidupannya untuk itu semua?
Lebih jauh, mengapa Nabi Muhammad begitu sabar menghadapi fitnah, intimidasi, teror dan kezaliman yang dilakukan kaum kafir Quraisy selama 13 tahun di Makkah. Mengapa kekasih Allah itu tidak melakukan perlawanan?
Alih-alih melangsungkan perlawanan, beliau justru hijrah ke Madinah. Bukan untuk menyusun kekuatan perang, tetapi memastikan kemaslahatan iman bagi kaum Muslimin. Bahkan, tatkala orang kafir dengan pongahnya menabuh Perang Badar, kaum Muslimin hanya sejumlah 313 orang.
Ahli logika manapun, tak akan mampu menjelaskan ini secara gamblang dalam jangkauan akal yang tak disertai iman.
Namun, itu adalah hal yang sangat eksplisit, terang-benderang bagi akal yang mengimani Allah dan Rasulullah SHalallallahu ‘Alaihi Wassallam.
Hari ini, seperti jamak dipahami, umat Islam tak melakukan apapun di tengah beragam tindak ketidakadilan yang mereka alami. Mereka hanya satu kata, satu langkah, mengikuti ulama dan berbaris rapi dalam kesantunan memancarkan cahaya Islam.
Beragam ancaman, teror, intimidasi, bahkan kriminilalisasi terhadap para ulama dijaman tak akan mampu mengendurkan gelombang kesadaran umat, 100 % gagal total.
Pertanyaannya, mengapa ini semua bisa terjadi?
Paparan di atas adalah siklus. Sebagaimana awal-awal masa dakwah Nabi Muhammad mengalami kezaliman luar biasa, demikian pun umat Islam hari ini di Indonesia, bahkan dunia. Semua hidup dalam tekanan kezaliman kaum kuffar.
Menariknya, di Indonesia, suasana damai, penuh haru, dan kesantunan menjadi warna dominan yang dipertunjukkan umat Islam atas ketidakadilan yang mereka rasakan. Aksi Bela Islam I, II, III hingga IV adalah bukti tak terbantahkan. Hal ini menunjukkan bahwa ada sebuah babak baru dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Dan, mungkinkah ini awal dari bangkitnya peradaban Islam dunia yang berawal dari Indonesia?
Telaah Historis
Pertama mari kita tinjau dari sisi sejarah. Ketika Nabi memulai dakwah, umat Islam adalah pihak yang langsung mendapat tekanan luar biasa dari para pemuka bangsa Quraisy kala itu. Bahkan, Nabi Muhammad pun menjadi sasaran kezaliman mereka. Namun, semua bergeming. Sabar menjadi pilihan dalam menghadapi kezaliman yang mereka alami. Sebagian diperintahkan hijrah ke Habasyah, sebagian bertahan dalam tekanan hidup yang sangat luar biasa.
Orang-orang kafir mengira dengan mengintimidasi umat Islam, iman mereka akan meredup. Tetapi, tidak.
Justru dalam kondisi yang amat sulit itu, umat Islam kian kokoh imannya seiring dengan bimbingan Allah Subhanahu Wata’ala kepada Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wassallam melalui wahyu demi wahyu yang beliau terima.
Bak sinar mentari yang menerangi bumi, cahayanya tak sekedar mengusir gelap, tetapi juga menggugah beragam zat kehidupan yang ada pada tumbuhan dan kehidupan semua makhluk, sehingga kehidupan di bumi senantiasa mengalami pertumbuhan dan perkembangan.
Demikianlah wahyu Allah kepada Rasul-Nya, saat umat Islam menghadapi tekanan luar biasa dari kaum kuffar. Iman mereka kian kokoh dan teguh berpendar dalam tutur kata dan perbuatan.
Dengan kata yang lain, ajaran Islam menjadi senyawa yang menghidupkan dan menggerakkan kesadaran, cara berpikir dan pilihan-pilihan hidup kaum Muslimin, sehingga kala jujur diajarkan Nabi Muhammad kepada sahabatnya, kejujuran itulah kehidupan mereka.
Kala sabar diperintahkan, sabar itulah perangai mereka menghadapi apapun. Umat Islam benar-benar berkualitas dari sisi keilmuan, seperti disampaikan oleh Prof. M. Naquib Al-Attas, bahwa ilmu adalah sampainya makna ke dalam jiwa, dan sampainya jiwa ke dalam makna. Demikianlah kehidupan umat Islam di masa Rasulullah.
Kondisi tersebut berjalan selama 13 tahun. Dan, tahukah kita, kebaikan luar biasa tertanam selama masa 13 tahun? Mindset dan tujuan hidup kaum Muslimin kala itu, benar-benar tidak ada yang lain, kecuali mendapatkan pertolongan Allah. Oleh karena itu, kala hijrah, beragam kemuliaan akhlak dan ketangguhan perjuangan kaum Muhajirin begitu jelas menjadi karakter mereka.
Apabila kita tarik garis lurus dengan apa yang ada di negeri kita saat ini, dapat disimpulkan bahwa fenomena yang belakangan mewarnai kehidupan umat Islam adalah babak baru dimana keber-Islam-an bangsa Indonesia memasuki babak progresivitas dari sekedar aspek kuantitas menuju aspek kualitas.
Artinya, semakin banyak umat Islam yang mengerti bagaimana seharusnya mereka hidup dengan panduan Islam, setidaknya diawali dari kesadaran dalam hal memilih pemimpin yang ini terus bergulir hingga bidang sosial, ekonomi dan keilmuan.
Indikatonya sederhana, umat Islam saat ini sangat sulit untuk diprovokasi, dan kesetiaan mereka kepada Islam melalui ulama kian besar dan terus menggelinding.
Telaah Faktual
Dalam konteks kekinian, Indonesia menjadi negara Muslim terbesar di dunia, yang secara historis telah cukup matang menghadapi kesulitan hidup selama dijajah ratusan tahun oleh Belanda. Beragam manuver adu domba dari beragam kepentingan juga telah hadir di negeri ini, sehingga bisa dikatakan, bangsa Indonesia adalah bangsa yang telah melalui penggodokan kawah candradimuka secara cukup matang.
Oleh karena itu, BJ Habibie dalam pengantarnya pada buku “The Next Civilization” karya Nanat Fatah Natsir menyatakan bahwa sekalipun Indonesia belum menjadi kekuatan politik besar baik di percaturan regional dan global, namun Indonesia adalah negara yang selalu diperhitungkan. “Bukan saja karena bentangan geografis kepulauan Indonesia sangat luas, adalah satu-satunya “benua maritim” di dunia,” tulisnya.
Indonesia memiliki bentangan panjang melebihi jarak San Fransisko sampai ke New York, dari Kanada sampai ke Teluk Meksiko, dengan 16.000 kepulauan yang dilalui garis khatulistiwa.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Selain itu, Indonesia sangat kaya dengan kandungan keragaman hayati, protein laut yang melimpah juga menjadi kekuatan penting bagi masa depan negeri ini.
Lebih jauh, BJ Habibie menegaskan, “Dari segi ideologi politik, Indonesia tidak bisa lagi dirongrong oleh kutub kekuatan mana pun di dunia, karena Indonesia konsisten menerapkan Pancasila sebagai idelologi negara. Selain itu, sudah lebih dari satu dekade, sejak mulainya reformasi iklim politik dalam negeri di Indonesia sudah mengalami keterbukaan. Antara lain ditandai makin berkembangnya tradisi dialog dan kritik, kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, masyarakat sudah cerdas dan kritis untuk memberikan toleransi terhadap segala perbedaan.”
Pendapat BJ Habibie tersebut senafas dengan apa yang dituliskan oleh Ibn Khaldun dalam kitab monumentalnya “Muqaddimah.” Bahwa sebuah bangsa mustahil akan mengalami kemajuan jika masih tunduk dan patuh kepada kekuatan, cara berpikir, ideologi politik bangsa lain.
Bahkan dalam konteks keumatan, kesadaran akan berpikir dan bertindak serta memilih sesuai dengan ajaran Islam, kian menguat. Pada saat yng sama, serbuan konsep Barat seperti HAM, liberalisme, gender, dan LGBT telah berhasil ditangkal dengan sangat mudah oleh bangsa ini.
Nampaknya apa yang disampaikan oleh Gus Hamid dalam bukunya “Misykat” telah merasuk di dalam kesadaran sebagian besar umat Islam. “Dalam Islam, sejauh apapun pikiran kita berpetualang wahyu tetap menjadi obornya.” (halaman 272).
Jika ini berhasil dipertahankan oleh kaum Muslimin di Indonesia, maka tanda-tanda kebangkitan peradaban Islam itu sudah kian dekat.
Rasulullah bersabda, “Aku tinggalkan kepada kamu sekalian dua perkara, jika kamu sekalian berpegang teguh kepada keduanya, maka kamu sekalian tidak akan pernah tersesat selamanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnahku.” (HR. Hakim, Baihaqi). Wallahu a’lam.*
Penulis Sekretaris Eksekutif Centre of Study for Indonesian Leadership (CSIL)