Oleh: Afriadi Sanusi
Hidayatullah.com–Tahun 2008 dan 2009 saya bersama 2 orang warga negara Malaysia, pergi berjalan-jalan mengelilingi Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Di antara masalah yang sering kami hadapi di Indonesia adalah susahnya mencari produk makanan halal. Beberapa kali kami berhenti memarkirkan mobil di depan restoran dan akhirnya pergi meninggalkan restoran itu karena tidak adanya sertifikasi halal di restoran tersebut.
Saya coba meyakinkan mereka bahwa umat Islam di Indonesia berjumlah 207.000.105 orang atau 88,20%. Setiap orang Minang adalah Islam dan restoran mereka pasti halal. Tetapi mereka menjawab, “mana jaminan pemerintah bahwa produk di sini adalah halal?” Kata mereka lagi, kita tidak bisa membedakan mana umat Islam dan non-Islam di RI karena bentuk WNI hampir sama saja. Sementara di Malaysia, kita bisa membedakannya berdasarkan bangsa, seperti bangsa Melayu, Cina, dan India.
Sebenarnya itu bukan tidak beralasan. Di Jawa kami pernah makan di sebuah restoran yang tertulis Bismillah di depannya. Waktu mau keluar, kami melihat semacam azimat tulisan China terpampang di atas pintunya. Jelas yang punya restoran itu keturunan China Indonesia. Mereka pun jadi ragu kehalalannya, walaupun sudah makan di sana.
Penulis melihat, sertifikasi halal di Indonesia sesuatu yang wajib dicepatkan dan jangan ditunda-tunda lagi. Betapa malunya kita sebagai negara yang mayoritas rakyatnya beragama Islam (88,20%), tetapi tidak melindungi hak-hak warga negaranya yang beragama Islam.
Negara-negara yang penduduk Islamnya minoritas dan sistem negaranya sekuler, seperti Thailand, Amerika, Singapura, Australia, dan New Zealand, sudah memiliki peraturan tetang halal. Walaupun tujuannya untuk bisnis, tetapi mereka terbukti lebih profesional dan kuat dalam penentuan dan pengawasan produk-produk halal.
Pertikaian sesama umat Islam dengan alasan apapun, apalagi hanya demi keuntungan duniawi yang sedikit ini, hendaklah dihentikan. Dalam pandangan Islam, penentuan dan pengawasan produk-produk halal adalah ketentuan Syara` yang harus ditaati dan dipatuhi. Ada janji pahala bagi yang melaksanakannya dan janji siksa bagi mereka yang melanggarnya. Haram bagi umat Islam menjual agamanya dengan nilai dunia yang sangat sedikit ini.
Nabi SAW. mengatakan, “apabila sesuatu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” Dengan tidak memandang rendah, penulis melihat untuk mengurus haji, pendidikan agama, dan kewenangan lainnya, selama ini Depag terbukti sangat lemah dan tidak profesional, apalagi ditambah beban mereka untuk mengurus sertifikasi halal.
Dilema ini penulis ibaratkan seperti polisi yang mau berebut kewenangan dalam pemberantasan korupsi di RI. Polisi sepertinya cemburu dengan kejayaan KPK yang mendapat pujian dari masyarakat. Padahal banyak tugas dan kewenangan polisi yang ada saja, selama ini terbukti gagal karena tidak profesional. Seperti mengurangi tingkat kriminalitas, mengurangi kecelakaan di jalan raya, dan sebagainya.
MUI perlu pula meningkatkan lagi profesionalisme mereka agar kita tidak dipermalukan oleh negara-negara sekuler dan negara-negara yang rakyat muslimnya minoritas dalam mengurus produk halal. Libatkan orang atau institusi yang ahli di bidangnya karena ini menyangkut amanah dan hak-hak beragama umat Islam yang harus dilindungi oleh negara melalui ulama.
MUI sebagai institusi yang mewakili berbagai organisasi keislaman di Indonesia, harus bersikap profesional dan amanah dalam menentukan kehalalan produk halal. Gunakan alat-alat teknologi yang canggih untuk menentukan halal atau haramnya sesuatu produk, seperti yang dilakukan oleh negara lain.
Pemerintah melalui polisi, pengadilan, dan pihak yang berwenang lainnya, berhak memantau, menindak, mengadili, dan menghukum mereka yang melanggar. Seperti melakukan penipuan dan pelanggaran terhadap hak-hak beragama umat Islam yang berkaitan dengan sertifikasi halal. Untuk ini umat non-Islam jangan merasa cemburu dan sakit hati karena sertifikasi halal tidak merugikan siapapun. Ini hanya kewajiban bagi umat Islam dalam melaksanakan ajaran agamanya.
Menguntungkan Negara
Saat ini semua negara berpacu meningkatkan pelayanan mereka terhadap produk halal. Ini karena produk halal sesuatu yang sangat menguntungkan. Pada masa ini terdapat antara 900 juta hingga 1,4 milyar umat Islam di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut sekitar 18% hidup di negara-negara Arab, 20% di Afrika, 20% di Asia Tenggara, 30% di Asia Selatan, yakni Pakistan, India, dan Bangladesh.
Populasi Muslim terbesar berada di Indonesia. Populasi Muslim dalam jumlah yang signifikan tumbuh di Tiongkok, Amerika Serikat, Eropa, Asia Tengah, dan Rusia. Jumlah umat Islam di Malaysia 14.467.698 orang atau 60,4%, umat Islam di Indonesia 207.000.105 orang atau 88,20%.
Dengan begitu banyaknya penduduk Islam di seluruh dunia, permintaan produk halal tentu sangat tinggi sekali. Pada tahun 1998, permintaan produk halal bagi seluruh dunia dianggarkan $80 miliar AS. Hari ini permintaan produk halal sedunia dianggarkan $150 miliar AS (sumber: Pemerintah Malaysia). Ini tentunya membuka peluang bisnis produk halal di dalam negara maupun ekspor produk halal ke luar negara.
Jangan sampai turis Arab dan turis umat Islam lainnya merasa lebih selamat makan di Singapura, Thailand, Australia, AS, dan sebagainya, dibanding di Indonesia yang penduduk Islamnya berjumlah 207.000.105 orang. Di samping itu memalukan, juga merugikan negara sendiri karena bisnis makanan adalah bisnis yang selalu diperlukan dalam keadaan perang atau aman.
Adanya jaminan halal dari pihak berkompeten dan pakar, akan membuat orang Islam lokal dan international makan dengan nyaman di negara kita. Adanya jaminan halal juga akan membuka peluang bisa dijualnya produk Indonesia (ekspor) ke negara-negara yang penduduknya beragama Islam.
Syura Bukan Demokrasi
Umat Islam harus bersatu dalam hal sertifikasi halal. Perselisihan tidak menguntungkan siapapun. Jangan sampai berlaku pepatah Minang yang mengatakan, “sikur capeh sikur capang, seekor lepas seekor terbang” yang akhirnya membuat umat Islam menganga tidak mendapat apapun dan yang akan bertepuk tangan gembira adalah para musuh umat Islam itu sendiri.
Islam telah mengajarkan konsep syura dalam menyelesaikan masalah yang tidak terdapat dalam nash dan ijtihad para Nabi. Libatkan para intelektual Islam dan saintis, kemudian duduk semeja, bermusyawarah, dan cari jalan terbaik. Hentikan perdebatan di media massa demi menjaga hak-hak umat Islam di negara ini dan juga umat Islam internasional lainnya.
Syura berarti melibatkan suara-suara mereka yang ahli dan berwenang di bidangnya. Syura tidak sama dengan konsep demokrasi dengan suara terbanyak, yang menyamakan nilai suara seorang pelacur dengan suara seorang ulama, suara seorang yang tidak sekolah dengan suara seorang profesor, dan nilai suara orang baik dengan suara orang jahat.
Ada dua isu yang berkaitan dengan sertifikasi halal yaitu;
1. Penentuan halal atau tidaknya suatu produk yang akan dikonsumsi umat Islam. Ini memerlukan profesionalisme, keseriusan, keahlian, dan rasa amanah. Saat ini menurut penulis MUI adalah institusi yang lebih tepat karena ia mewakili intelektual Islam (ulama) dari berbagai organisasi ke-Islaman di RI. Tentunya MUI harus meningkatkan lagi profesionalisme mereka.
2. Pengawasan di lapangan terhadap penyelewengan, penipuan, penyalahgunaan, dan sebagainya. Ini memerlukan kekuasaan untuk menindak, mengadili, dan menghukum. Dalam hal ini Depag lebih berwenang karena ia memiliki anggaran pemerintah. Kalau di Malaysia mereka memiliki polisi agama yang berhak menindak mereka yang melanggar hukum Islam, maka di Indonesia mungkin bisa juga dilaksanakan melalui UU RI No 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan sebagainya.
Kesimpulan
Isu sertifikasi halal bagi umat Islam ada dua; 1. Sesuatu yang wajib karena ia berkaitan dengan hukum syara` yang mengharamkan umatnya memakan produk yang haram. Kewajiban ini berada di pundak para intelektual Muslim, seperti MUI yang membawahi organisasi keislaman yang memiliki jutaan jamaah, seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan sebagainya. 2. Sertifikasi Halal adalah hak umat Islam sebagai warganegara yang harus dilindungi oleh pemerintah.
Isu sertifikasi halal bagi pemerintah ada dua; 1. Amanah dan kewajiban pemerintah melindungi hak-hak warga negaranya. 2. Sesuatu yang menguntungkan negara dengan bisnis produk halal di dalam negara dan di luar negara, khususnya negara-negara yang banyak penduduk Islamnya.
Penulis adalah seorang Pengkaji Produk Makanan Halal di Asia Tenggara dan mahasiswa S3 bidang Politik Islam di Universiti Malaya Kuala Lumpur. Email:[email protected]