Oleh: Kholili Hasib
DARI serangkaian konflik sosial dua tahun terakhir antara pengikut Syiah dan Ahlus Sunnah belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Mulai insiden Bangil, kasus Sampang Madura hingga yang terbaru di Kencong Jember, semuanya melibatkan dua kelompok, yakni antara Syiah dan warga NU.
Kali ini Syiah yang menyerang warga NU. Rabu sore 30 Mei rumah ustadz Fauzi didatangi tujuh orang — yang menurut keterangan diindikasi sebagai pengikut Syiah. Ustadz Fauzi adalah pengurus Syuriyah Ranting NU desa Puger, Kencong Jember. Maksud sekawanan pengikut Syiah itu untuk menekan agar pelaksanaan pengajian di Kencong yang rencananya akan dihadiri Habib Muhdlar al-Hamid — da’i yang terkenal vokal dan tegas terhadap kekeliruan Syiah — dibatalkan. Ketika ust Fauzi menolak, kawanan Syiah menyerang dengan golok melukai seorang murid ustadz Fauzi.
Tidak ada balasan penyerangan dari warga NU setempat. Warga dan jajaran pengurus PCNU Jember menyerahkan kepada aparat keamanan. Bukan berarti persoalan selesai. Warga NU Jember kecewa sebab ada kabar kelima orang pelaku penganiyaan warga NU yang telah ditangkap polisi dilepas kembali (www.nukencong.or.id 02/06/2012).
Di sini, ada dua hal penting yang harus segera diperhatikan. Pertama, aspirasi warga nahdliyyin Jawa Timur agar Syiah dibekukan tampaknya belum direspon oleh pemerintah. Kedua, praktik merendahkan sahabat Nabi SAW masih dilakukan oleh Syiah dalam tulisan-tulisan dan pengajian. Untuk poin pertama, aspirasi NU itu dikuatkan dengan sikap pendiri NU — KH.Hasyim Asy’ari — yang menolak paham Syiah.
Dalam kitab Qonun Asasi li Jam’iyyati Nadlah al-Ulama’, KH. Hasyim Asy’ari menilai fenomena Syiah merupakan fitnah agama yang tidak saja patut diwaspadai, tapi harus diluruskan. Dalam kitab itu Kiai Hasyim mengecam golongan Syi’ah karena mencaci bahkan mengkafirkan sahabat Nabi SAW. Oleh sebab itu, beliau menghimbau agar para ulama’ yang memiliki ilmu untuk meluruskan penyimpangan golongan yang mencaci sahabat.
Sebenarnya, informasi adanya penodaan Syiah terhadap sahabat Nabi SAW bukanlah hal baru. Sudah jamak diketahui Syiah sulit menghilangkan ajaran itu. Di Jember, pihak PCNU mengaku telah mengantongi bukti-bukti berupa rekaman ceramah pemimpin Syiah yang merendahkan kedudukan sahabat Abu Bakar, Umar dan Ustman.
Di dalam kitab al-Kafi — kitab rujukan Syiah — juz 8 halaman 245 ditulis:” Dari Abu Ja’far ia berkata: “Pasca wafatnya Nabi, orang-orang manjadi murtad semua, kecuali tiga. “Aku bertanya, siapa yang tiga itu? Beliau menjawab: “Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi”. Data-data semacam ini banyak dijumpai dalam kitab-kitab Syiah, juga dalam buku-buku mereka.
Dalam keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah — akidah yang dianut NU — ajaran-ajaran Syiah tersebut dikategorikan sebagai penodaan terhadap agama. Apapun bentuk penodaan terhadap sakralitas agama, pasti akan memantik konflik. Dakwah pengikut Ahlus Sunnah sudah berkali-kali mengingatkan agar Syiah menyudahi penodaan terhadap sahabat. Jika pun ajaran penodaan itu sulit dihilangkan oleh pihak Syiah. Kalangan Sunni menghimbau agar mereka tidak menggelar aktifitas secara publik, sebab akan menyinggung kalangan Sunni.
Terkait itu, PCNU Jember secara resmi meminta pemerintah agar Syiah dibekukan. Di antar butir himbauan resmi yang ditujukan kepada pemerintah baru-baru ini berbunyi : “Kepada pemerintah baik Pusat maupun Daerah dimohon agar tidak memberikan peluang penyebaran faham Syiah di Indonesia yang penduduknya berfaham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sangat berpeluang menimbulkan ketidakstabilan yang dapat mengancam keutuhan NKRI”.
Ketegangan demi ketegangan yang telah terjadi memang akan menimbulkan ketidakstabilan Negara. Oleh sebab itu, faktor mendasarnya jangan sampai diabaikan para tokoh masyarakat dan pemerintah. Persoalan mendasarnya adalah, ajaran-ajaran yang menodai agama harus dihentikan aktifitas publiknya. MUI Jawa Timur pada januari lalu telah memberi rekomendasi agar aktifitas publik Syiah segera dibekukan. PWNU Jawa Timur juga sepakat dengan MUI Jawa Timur. Bahwa kelompok Syiah juga menghina sahabat Nabi, serta menyatakan orang yang tak turut dalam kelompok mereka bukanlah orang Islam. Bagi PWNU Syiah telah melakukan kekeliruan akidah (metrotvnews.com 9 Januari 2012).
Apalagi pihak Syiah telah mulai ‘pasang dada’ di hadapan warga NU. Ustadz Idrus Romli — salah satu pengurus PCNU Jember — cukup prihatin dengan perkembangan Syiah. Menurutnya, baru sedikit saja mereka sudah berani anarkis, bagaimana nanti jika sudah besar. Keprihatinan Gus Idrus sesungguhnya mewakili keprihatinan mayoritas kyai NU di Jawa Timur. Almarhum KH. As’ad Syamsul Arifin kiai sepuh yang disegani kalangan NU, pada tahun 1985 telah memberi himbauan. Menurutnya, Syiah Imamiyah di Jawa Timur itu ekstrim yang harus dihentikan di Indonesia. Peringatan Kyai As’ad ini juga demi menjaga stabilitas warga Jawa Timur.
Maka, pihak kepolisian dan pemerintah sebaiknya tidak menganggap remeh konflik seperti ini. Jika tidak ada keadilan untuk warga NU, bisa jadi insiden lebih besar akan terjadi lagi, tidak hanya di Jember tapi juga di daerah-daerah Jawa Timur lainnya. Ketegangan antara mayoritas Sunni (pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah) dan pengikut Syiah sudah lama terjadi di Jawa Timur. Di beberapa kantong-kantong NU lainnya — seperti Pasuruan, Malang, dan Bondowoso — ‘insiden-insiden’ kecil kerap terjadi. Walaupun masih dalam taraf kecil, tapi bisa saja dari situ memantik konflik sosial yang lebih besar.
Apalagi ada kasus kelompok Syiah yang menyerang NU di Jember tempo hari. Emosi warga bisa naik, bila aparat mendiamkan dan tidak berbuat apa-apa terhadap Syiah di Jawa Timur. Yang mesti dilakukan adalah bukan berusaha membungkam warga NU agar tidak menyalahkan Syiah. Alasan ini tidak rasional, sebab bagi Ahlus Sunnah segala bentuk penodaan itu merupakan perongrongan kesucian agama. Harga diri agama dan sakralitas ajaran Islam menjadi hak tiap warga termasuk NU yang harus dilindungi. Umat Islam memiliki hak sakralitas agamanya dilindungi. Mestinya hal-hal yang memancing konflik itu diselesaikan.*
Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya