Oleh: dr. Nur Erlin
FAKTA banyaknya Calon Legislatif (Caleg) termasuk Caleg perempuan mewakili Partai Politik (Parpol) nya masing-masing dengan kampanye-kampanye yang ‘memikat’ akhir-akhir ini sudah menjadi bagian dalam kehidupan kita selama lima tahun sekali.
Hal ini tidak lepas dari pandangan bahwa perempuan harus berkiprah dan berperan aktif di segala bidang, sama dengan laki-laki tanpa pengecualian, termasuk dalam bidang politik.
Politik yang mereka maksud terbatas pada aspek kekuasaan dan legislasi saja. Artinya, aktivitas politik mereka senantiasa diarahkan pada upaya untuk meraih peluang sebesar-besarnya untuk duduk di jabatan kekuasaan atau legislasi, tuntutan kuota perempuan di dalam parlemen, tuntutan independensi hak suara perempuan dalam Pemilihan Umum (Pemilu), karena dalam logika mereka, besarnya akses dalam lingkaran kekuasaan dan legislasi menjadi jalan bagi munculnya perubahan struktur masyarakat ke arah yang lebih equal dan egaliter, yaitu aspirasi perempuan dipastikan akan senantiasa mewarnai setiap kebijakan publik yang diterapkan. Pada akhirnya persoalan-persoalan krusial yang selama ini dihadapi perempuan pun akan secara otomatis terselesaikan.
Jika dicermati, keyakinan bahwa persoalan-persoalan perempuan akan terselesaikan manakala perempuan terjun langsung ke tataran kebijakan publik dan politis, sangat dipengaruhi oleh wacana pemikiran demokrasi kapitalistik yang kini mendominasi kultur masyarakat kita dengan prinsip ‘kedaulatan di tangan rakyat’. Sehingga ide pemberdayaan peran politik perempuan dalam kacamata demokrasi selalu diarahkan untuk menjadikan kaum perempuan mampu menempatkan diri dan berkiprah di elit kekuasaan.
Sejatinya dalam pandangan Islam, perempuan—disamping sebagai hamba Allah, ibu dari anak-anaknya, istri dari seorang suami, serta anak dari ayah-bundanya—adalah bagian dari masyarakat sebagaimana halnya laki-laki. Keberadaan keduanya di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bahkan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam masyarakat.
Islam memandang bahwa keberadaan perempuan sebagai bagian dari masyarakat menjadikan mereka juga memiliki kewajiban yang sama untuk mewujudkan kesadaran politik pada diri mereka dan masyarakat secara umum. Akan tetapi pengertian politik dalam konsep Islam tidak terbatasi pada masalah kekuasaan dan legislasi saja, melainkan meliputi pemeliharaan seluruh urusan umat di dalam negeri maupun luar negeri, baik menyangkut aspek negara maupun umat.
Dalam hal ini negara bertindak secara langsung mengatur dan memelihara umat, sedangkan umat bertindak sebagai pengawas dan pengoreksi pelaksanaan pengaturan tadi oleh negara. Ketika kaum muslimin berupaya menyelesaikan permasalahan umat, maka pada dasarnya dia sudah melakukan aktivitas politik.
Pendiri Al Ikhwan al Muslimun, Syeikh Hasan al-Banna menyatakan bahwa politik adalah memperhatikan urusan umat, luar dan dalam negeri, intern dan ekstern, secara individu dan masyarakat keseluruhannya; bukan terbatas pada kepentingan golongan semata. Sama dengan Syaikh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan bahwa politik atau as-siyâsah adalah mengatur urusan umat, dengan negara sebagai institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat mengoreksi—melakukan muhâsabah terhadap—pemerintah dalam melakukan tugasnya.
Definisi politik sebagai pemeliharaan urusan umat (ri’âyah syu’ûn al-ummah) ini dapat diambil dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, di antaranya sebagaimana dituturkan Hudzayfah r.a. bersabda (yang artinya):
“Siapa saja yang tidak memperhatikan kepentingan kaum Muslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara mereka. Siapa saja yang tidak berada di waktu pagi dan petang selaku pemberi nasihat bagi Allah dan Rasulnya, bagi kitab-Nya, bagi pemimpinnya, dan bagi umumnya kaum Muslim, berarti ia bukanlah termasuk di antara mereka.” (HR ath-Thabrani).
Adapun dalam aktivitas politik setidaknya menyangkut lima hal penting.
Pertama adalah kewajiban melakukan amar makruf nahi munkar. Aktivitas ini merupakan kewajiban bagi laki-laki maupun perempuan, karena nash-nash yang berkaitan dengan masalah ini bersifat umum, berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Dalam QS Al-Imran ayat 104 Allah berfirman yang artinya: “Hendaklah (wajib) ada segolongan umat yang menyerukan kepada kebaikan (Islam); memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Kedua, hak dan kewajiban baiat. Dalam Islam, sahnya pengangkatan khalifah itu adalah dengan baiat, yaitu pernyataan dari kaum Muslimin kepada seorang Muslim bahwa mereka rela mengangkat dan taat kepada orang tersebut untuk memimpin mereka memberlakukan hukum-hukum Allah di muka bumi ini. Apabila ada sekelompok kaum Muslim yang telah mewakili mereka melakukan baiat maka sahlah seseorang yang dibaiat itu menjadi khalifah (pemimpin) yang harus ditaati oleh seluruh kaum Muslimin. Dalam hal ini Islam memberikan hak dan kewajiban untuk melakukan baiat khalifah kepada perempuan sebagaimana kepada laki-laki.
Ummu Athiyah berkata: “Kami berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam lalu beliau membacakan kepada kami agar jangan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan melarang kami untuk niyahah (meratapi mayat). Karena itulah salah seorang perempuan dari kami menarik tangannya (dari berjabat tangan), lalu ia berkata, “Seseorang telah membuatku bahagia dan aku ingin membalas jasanya.” Rasulullah tidak berkata apa-apa, lalu perempuan itu pergi kemudian kembali lagi.” (HR Bukhori)
Ketiga, hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis umat. Majelis umat adalah suatu badan negara di bawah Islam yang terdiri atas wakil-wakil rakyat yang bertugas memberikan nasihat dari umat kepada sang khalifah. Wakil-wakil rakyat ini mengajukan apa saja yang dibutuhkan rakyat dan memberikan saran bagaimana kebutuhan rakyat tersebut terpenuhi. Disamping itu mereka juga harus mengoreksi dan menasihati penguasa apabila cara pemenuhan yang ditetapkan oleh khalifah bertentangan dengan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Dalam riwayat shahih, Ibnu Hisyam dari Ka’ab bin Malik disebutkan bahwa setelah 73 orang laki-laki dan 2 orang perempuan (Nasibah binti Ka’ab dan Asma binti Amr bin Adi) melakukan baiat aqobah 2.
Keempat, kewajiban menasihati dan mengoreksi penguasa. Jika penguasa menetapkan suatu aturan yang melanggar hukum syariat atau ada kebutuhan rakyat yang luput dari penguasa, maka wajib bagi setiap Muslim untuk menasihati penguasa agar ia dapat memperbaiki kesalahan tersebut.
Pernah terjadi di masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khaththab, ketika seorang perempuan, Khaulah binti Hakim bin Tsa’labah memprotes Umar, ketika beliau menetapkan jumlah mahar tertentu bagi perempuan karena tingginya mahar yang diminta kaum perempuan pada waktu itu. Kemudian Umar menyadari kekeliruannya dan segera mencabut keputusannya, ia berkata : “Perempuan ini benar dan Umar salah.”
Kelima, kewajiban menjadi anggota partai politik. Keberadaan partai politik merupakan pemenuhan kewajiban dari Allah Subhanahu Wata’ala, sebagaimana Allah berfirman dalam QS Al-Imran ayat 104 yang artinya : “Hendaklah (wajib) ada segolongan umat yang menyerukan kepada kebaikan (Islam); memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemunkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Walhasil, sejatinya partai politik ada untuk mengoreksi penguasa dalam pemerintahan. Kehadiran politisi perempuan boleh jadi juga dapat melakukan aktivitas mengoreksi penguasa ini.
Islam telah memberikan penjelasan tentang aktivitas politik yang tidak diperkenankan bagi perempuan, yaitu aktivitas-aktivitas yang termasuk dalam wilayah kekuasaan/pemerintahan misalnya menjadi penguasa atau kepala negara. Penguasa dipandang sebagai orang yang bertanggung jawab penuh secara langsung dalam mengurusi urusan umat.
Dalam sistem Islam, jabatan penguasa mencakup khalifah (Kepala Negara), muawwin tafwidh (pembantu khalifah dalam urusan pemerintahan), wali (kepala wilayah) dan amil (kepala daerah).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam telah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah: “Tidak akan pernah menang suatu kaum yang menyerahkan urusan (kekuasaannya) kepada perempuan.” (HR Bukhori).
Nah dengan melihat fakta yang ada –apalagi dengan adanya kuota 30% perempuan di parlemen—wajib dilaksanakan dari pusat hingga daerah-daerah, apakah fungsi dan keberadaan kaum perempuan di parlemen telah maksimal? Dan apakah benar keberadaan mereka sudah membawa manfaat bagi kemaslahatan umat? Anda yang bisa menilainya.*
Penulis adalah aktivis Muslimah HTI Tulungagung