Oleh: Surya Fachrizal Ginting
Hari-hari di awal bulanJuni 2010, enam tahun lalu, Saya menghabiskanwaktu di atas kasur rumah sakit sekolah militer Rambam, Haifa. Satu Wilayah di utara Palestina, yang hingga kini dijajah Zionis “Israel”. Berbagai selang melilit tubuh, tertancap di hidung, di dada, di bawah ketiak, dan di lengan.
Teringat peristiwa di waktu Subuh beberapa hari sebelumnya, Kafilah kebebasan, terdiridari 6 kapal laut, dihajar oleh komando Angkatan Laut Zionis. Kala itu, Zionis menggempur konvoi masyarakat sipil tak bersenjata dengan empat kapal perang, dua kapal selam, 30 kapal zodiak, plus tiga heli tempur. Sembilan aktivis tewas, lebih dari lima puluh luka berat dan ringat, dan seorang wafat usai mengalami koma selama empat tahun sejak serangan itu.
Bila dibayangkan kembali, peristiwa itu memang cukup mengerikan. Tetapi wajah-wajah yang teringat dari peristiwa itu bukanlah wajah para penakut. Dengan alat seadanya, mereka mempertahan kapal dari serbuan tentara Zionis yang ingin menguasai kapal. Bisa jadi, atmosfer perjuangan dari para aktivis yang selalu menjaga shalat lima waktu dan tilawah al Quran inilah, yang menulari penulis untuk tetap melakukan peliputan di tengah desing peluru kala itu.
Kini, enam tahun setelah peristiwa itu, Allah kembali memberikan kesempatan kepada Saya merasakan kembali atmosfer itu. Tidak di atas kapal di tengah Laut Mediterrania, tetapi di Jalan Istiklal, Taksim, Istanbul. Salah satu kawasan paling liberal di Istanbul, Turki. Puluhan ribu demonstran berkumpul memperingati serangan terhadap armada kebebasan menuju Gaza itu.
Jika dahulu isi orasi didominasi tema Palestina, kali ini temanya sangat beragam. Tak heran, sebab banyak hal yang terjadi di dunia Islam sejak itu. Orasi menyinggung kudeta di Mesir, Uygur, hingga revolusi rakyat Suriah.
“Mavi Marmara hanya bagian dari perjuangan untuk Palestina. Kita tidak hanya berjuang untuk Gaza, tetapi juga untuk al-Quds, Masjid al-Aqsha, Iraq, Suriah, dan Turkistan Timur,” tegas Bulent Yildirim, presiden lembaga kemanusian IHH, Turki.
Diantara isu-isu yang diangkat dalam orasi, revolusi Suriah adalah isu yang paling sensitif. Revolusi Suriah benar-benar telah membuat garis tegas diantara para relawan dan berbagai organisasi di Mavi Marmara. Jika dalam isu Pelestina kita sekata, dalam krisis Suriah pandangan dan sikap saling bertabrakan. Satu pihak mendukung penuh perjuangan mayoritas rakyat Ahlu sunnah Suriah, pihak lain habis-habisan membela rezim Bashar al Assad, yang hingga saat ini telah membunuh hamper setengah juta rakyat Suriah.
Perbedaan sikap dan pandangan ini juga terjadi di Indonesia. Pihak yang menentang revolusi Suriah, menuduh pihak oposisi dan mujahidin sebagai perpanjangan tangan Zionis “Israel” yang ingin mengadu-domba umat Islam. Teori konspirasi, semisal cita-cita Yahudi membangun tata dunia baru (novus ordo seclorum), selalu diulang-ulang untuk menegasikan perjuangan rakyat Suriah. Sunni dan Syiah diadu. Anehnya, mereka selalu membela Rezim al Assad yang Syiah berserta pendukungnya Iran, Rusia, China, dan Hizbullah.
Sedangkan pihak oposisi selalu dicap takfiri, wahabi, pemberontak, dlsb.
Berbicara soal Zionis-Yahudi-Israel, maka tidak ada pihak dari umat Islam yang paling mengetahuinya selain orang-orang Palestina. Yang selama lebih dari 68 tahun ini memperjuangkan kemerdekaan mereka dari penjajahan “Israel”. Perlawanan bangsa Palestina dari waktu ke waktu semakin maju. Pejuang Palestina, khususnya di Jalur Gaza, bisa menekan Zionis untuk menerima gencatan senjata di Gaza, pada perang Hijaratas-Sijjil (2012) dan perang Ashfal-Ma’kul (2014).
Lalu, bagaimana sikap rakyat Palestina terhadap Revolusi Suriah? Penulis pernah berkesempatan berkunjung ke Gaza pada akhir tahun 2012. Saat itu revolusi Suriah telah berjalan lebih dari setahun. Korban jiwa telah melewati seratus ribu. Selama empat kali shalat Jumat di Gaza, tema khutbah selalu menyinggung perjuangan rakyat Suriah yang sedang diamuk rezim al-Asad.
Rakyat Gaza juga menggalang dana untuk saudara-saudara mereka yang dizalimi di Suriah. Ya, rakyat Gaza yang bertahun-bertahun diblokade masih bisa mengumpulkan bantuan untuk saudara seiman mereka. Yayasan Sahabat Al-Aqsha beberapa kali menyalurkan bantuan rakyat Gaza untuk pengungsi Rohingya di Aceh, juga bencana gempa dan letusan GunungMerapi di Yogyakarta.
Tapi, sikap rakyat Palestina terhadap revolusi Suriah, belum tentu selaras dengan pihak-pihak yang membantunya. Sebab ada pihak yang membantu Palestina, tetapi menganggap bodoh keputusan pejuang Palestina, terutama HAMAS, yang mendukung revolusi rakyat Suriah.
Saat ini, revolusi Suriah telah masuk tahun keenam. Sekitar empat ratus ribu jiwa menjadi korban, dan hampir setengah dari 25 juta jiwa rakyat Suriah menjadi pengungsi. Tapi para penghujat revolusi Suriah belum melakukan apapun. Padahal misi mereka, amanah kemanusian bagi pihak-pihak yang paling membutuhkan.
Alih-alih melakukan kerja kemanusian, mereka malah lebih asik menjadi pengamat politik internasional. Teorinya, itu tadi, novus ordo seclorum.*
Wartawan dan relawan yang berada di Mavi Marmara