Oleh: Muhammad Beni Saputra | Muhammad Zulfikar Rakhmat
KITA menutup tahun 2016 dengan kegaduhan politik yang tak biasa. Sebagaimana yang telah diketahui bersama pada tanggal 4 November 2016 (atau Aksi 411) dan 2 Desember 2016 (atau Aksi 212) yang dihadiri jutaan umat muslim. Mereka datang berduyun-duyun ke Jakarta untuk melakukan aksi damai terhadap penistaan Al-Quran oleh Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau yang lebih akrab dipanggil Ahok.
Ahok telah kedapatan mengeluarkan statemen kontrovesial dimana dia menyebutkan kalau orang Islam jangan mau dibohongi pakai Surah Al-Maidah ayat 51, sebuah surah dalam Al-Quran yang melarang umat Islam untuk memilih pemimpin non Muslim.
Bagi sebagian besar media mainstream kedua protes itu adalah bukan semata-mata memprotes penistaan Al-Quran, tetapi lautan manusia yang memadati KJakarta itu tak lain adalah sedang meluapkan kebenciannya terhadap Ahok yang kebetulan memiliki status minoritas ganda; dia keturunan Tionghoa beragama Kristen pula.
Banyak juga media asing yang mengulas kalau Aksi Damai 411 dan 212 merupakan bentuk ‘masih liar dan tidak tolerannya’ umat Islam di Indonesia. Bertolak belakang dengan citra yang digaungkan oleh dunia beberapa decade ini bahwa umat Islam di Indonesia adalah umat percontohan sebab bisa seiring sejalan dengan demokrasi.
Apapun itu, ada satu hal yang barangkali kita terlupa untuk menyinggungnya terkait hiruk-pikuk kasus Ahok ini, yaitu menyoal kembali kualitas apa saja yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin.
Seorang pemimpin memang sudah wajib memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni dalam memimpin wilayahnya. Terlebih di era globalisasi yang serba terkoneksi dan ketergantungan ini. Namun, apakah kedua kualitas diatas cukup? Kami rasa tidak. Ada beberapa kualitas non-teknis lainnya yang mesti dipunyai oleh seorang pemimpin agar tidak terjerumus ke dalam lubang yang kini Ahok berada di dalamnya.
Pertama adalah, kesantunan
Tak dipungkiri lagi kalau manusia tidak suka dengan yang kasar-kasar baik itu kasar dalam perkataan terlebih dalam perbuatan.
Manusia menyukai kehalusan budi, kelembutan tutur, dan keramahan sikap. Bila ada orang yang menyapanya dengan lembut penuh senyuman, dia akan merasa bahagia. Besar kemungkinan dia akan membalas keramahan itu dengan kelembutan pula.
Namun bila ada yang mencaci-makinya atau memukul dirinya, manusia akan merasakan sakit di hatinya. Perasaannya akan terkoyak-koyak. Harga dirinya terasa dipijak-pijak. Ini dikarenakan manusia tidak hanya terdiri dari jasmani atau raga saja. Dia memiliki perasaan yang halus di dalam dirinya yang disebut rohani atau jiwa. Ini jugalah yang membedakan manusia dari robot atau boneka. Robot tidak akan merasa apa-apa bila dihardik, pun boneka tidak akan merasa sakit jiwa dan raganya bila dipukul dengan benda keras berkali-kali. Tapi tentu saja manusia bukan robot ataupun boneka. Untuk itu, santun dalam menghadapi manusia adalah sebuah kewajiban.
Kedua, yaitu memiliki sifat kasih sayang
Sifat ini wajib hukumnya dimiliki oleh pemimpin manapun di muka bumi ini. Seorang pemimpin jangan sampai memandang rakyat yang dipimpinnya dengan tatapan permusuhan. Mereka yang terpinggirkan sehingga harus tidur dibawah jembatan jangan dipandang sebagai ‘sampah kota’ yang mesti dibuang jauh-jauh.
Para gelandangan yang tidak punya rumah hingga harus mondar-mandir mengukur jalan jangan dianggap sebagai sekumpulan orang-orang malas. Para pengamen, pengemis, dan pedagang kaki lima jangan dituding sebagai pengrusak keindahan kota. Mereka semua ini adalah rakyat yang mesti disayangi oleh seorang pemimpin. Keluhan mereka harus didengar. Jalan keluar wajib dicarikan.
Dalam menghadapi mereka, boleh tegas. Tapi ketegasan tidaklah harus meninggalkan sifat kasih sayang. Sebab, diukur dari segi manapun, mereka adalah anggota sah dari rakyat yang dipimpin oleh seorang pemimpin. Mereka memiliki hak untuk hidup lebih baik yang sama dengan CEO-CEO perusahaan, pejabat-pejabat negara, atau pengusaha-pengusaha besar.
Bila seorang pemimpin menyayangi orang-orang yang beruntung ini oleh sebab sumbangsih mereka terhadap daerah yang dipimpinnya, tentu saja dia juga berkewajiban untuk menyayangi mereka-mereka yang tidak beruntung itu. Sebab mereka adalah pengingat bahwa daerah yang dipimpinnya masih memiliki Pekerjaan Rumah (PR) besar yang harus dikerjakan yaitu memeratakan kesejahteraan.
Yang ketiga adalah pandai mengendalikan diri
Seorang pemimpin haruslah punya kesabaran yang luas agar tidak lekas marah bila melihat yang tidak beres. Kalaupun harus marah jangan sampai marah yang diluar kendali seperti memaki atau mengamuk. Pemimpin mesti marah dengan wibawa agar harga dirinya tidak jatuh di mata rakyatnya.
Bagaimanapun, harga diri seorang pemimpin wajib dijaga agar rakyat yang dipimpinnya mau menuruti segala perintahnya dan mematuhi aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintahannya.
Di sinilah letak tantangan yang berat bagi seorang pemimpin. Di hadapan rakyatnya posisinya sebagai orang nomor satu bukan saja mewajibkannya untuk menjadi orang yang terampil dalam memimpin tetapi juga dapat menjadi panutan. Dan agar itu terlaksana, seorang pemimpin wajib mampu mengendalikan diri dengan sebaik-baiknya dalam berbagai situasi dan tekanan.
Terakhir, hormati agama dan kepercayaan orang lain
Seorang pemimpin tidak boleh, secara sengaja atau tidak, melecehkan agama dan kepercayaan yang dianut oleh mereka yang seagama dengannya terlebih mereka yang berlainan iman.
Agama dan kepercayaan bersifat sangat sacral bagi tiap-tiap orang. Agama dan kepercayaan yang mereka peluk akan disimpannya dalam-dalam dihatinya. Biarlah akalnya kadang tak sanggup mencerna apa yang diyakininya itu atau orang lain terus-terusan menganggap mereka kaum yang tidak rasional. Mereka tidak perduli sebab bagi mereka agama dan kepercayaan bukanlah untuk selalu dipahami oleh akal tetapi dirasakan oleh hati.
Oleh karena sucinya perasaan ini, sangat terlarang hukumnya seorang pemimpin mengeluarkan kata-kata atau sikap yang mengarah kepada pelecehan agama dan kepercayaan rakyat yang dipimpinnya. Sebab melecehkan agama dan kepercayaan seseorang sama saja dengan menghina aspek terpenting dalam kehidupannya.
Keempat kualitas non-teknis diatas, sepertinya tidak diingat betul oleh Ahok
Gubernur Jakarta itu sangat terkenal dengan ucapan kasarnya dan sikapnya yang tidak bisa mengendalikan diri sehingga melukai hati banyak orang. Dia tak segan-segan memaki dengan kata-kata kotor yang sama sekali menjijikkan untuk didengar bahkan untuk ditulis disini seperti yang dia lakukan ketika wawancara live di salah satu stasiun TV nasional Indonesia.
Sifat kasih sayang Ahok juga sepertinya masih timpang. Hanya sayang ke atas saja kepada mereka yang berduit. Sedang mereka yang dibawah, Ahok tak segan-segan melukai hati mereka bahkan menggusur mereka dari tempat tinggal mereka.
Untuk yang terakhir, Ahok sudah kedapatan dua kali menghina agama dan kepercayaan orang lain. Yang pertama adalah tentang agama Kristen yang disebutnya ‘ajaran konyol’ dan yang terbaru tentu saja yang memicu protes umat Islam di akhir tahun kemarin.
Kasus penistaan Al-Quran yang dilakukan oleh Ahok telah menyeretnya ke pengadilan. Sifatnya yang temperamen dan kasar juga telah menarik rasa simpati orang yang dulu sempat jatuh cinta kepadanya. Tentu ini sebuah peringatan bagi setiap pemimpin di dunia ini bahwa seorang pemimpin itu tidak hanya diwajibkan cakap dalam memimpin tetapi juga santun dalam bersikap, sabar dalam bertindak, sayang kepada semua orang, dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain. Bila ini ada, maka menjadi pemimpin yang dicintai oleh rakyat bukan lagi sebuah kemustahilan.*
Muhammad Beni Saputra, alumni program masters di University of Manchester dan penulis lepas. Muhammad Zulfikar Rakhmat, mahasiswa S3 di University of Manchester yang juga berprofesi sebagai junior editor di the Huffington Post UK. Tulisan ini sudah diterbitkan edisi bahasa Inggris oleh the Huffington Post, New Mandala, Into Policy Digest, dan The Diplomat