Hidayatullah.com—Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mencabut sanksi atas Gulbuddin Hekmatyar, pemimpin Hizb-i-Islami (Hizbul Islam) di Afghanistan dan salah satu figur terkenal dalam perang sipil di negara itu di era 1990-an.
Keputusan itu diambil Dewan Keamanan PBB hari Jumat malam (3/2/2017), menyusul perjanjian yang telah ditandatangani oleh pemerintah Kabul dan kelompok Hekmatyar bulan September 2016.
Perjanjian itu memberikan jaminan amnesti kepada Hekmatyar atas tindakan-tindakannya di masa lalu dan memberikan jaminan dirinya mendapatkan kembali seluruh hak politiknya. Perjanjian itu juga akan memberikan jaminan dikeluarkannya orang-orang tertentu Hizb-i-Islami dari penjara.
Dalam sebuah pernyataan, DK-PBB mengatakan pihaknya sudah tidak lagi membekukan aset-aset Hekmatyar, serta mencabut larangan bepergian dan embargo senjata atas dirinya.
Hekmatyar adalah salah satu tokoh terkemuka dalam perang Afghanistan melawan Uni Soviet di tahun 1980-an. Dia pernah menjabat perdana menteri dalam pemerintahan baru –meskipun tidak lama– menyusul tumbangnya pemerintahan Kabul dukungan Uni Soviet di tahun 1992.
Pernah dijuluki “Penjagal Kabul”, Hekmatyar dituduh melakukan pembunuhan ribuan orang ketika pasukannya menembaki rakyat sipil di ibukota Kabul, semasa perang sipil 1992-1996.
Keberadaan Hekmatyar saat ini masih belum diketahui. Namun kepada Aljazeera, Ghairat Baheer, ketua tim negosiator Hizb-i-Islami, mengatakan bahwa dengan telah dicabutnya sanksi sekarang ini, dia pada akhirnya akan kembali ke ibukota Afghanistan.
“Hekmatyar berada di persembunyian di Afghanistan, tetapi setelah keputusan PBB ini dia segera akan muncul di salah satu provinsi dan kemudian datang ke Kabul,” kata Baheer seperti dikutip Aljazeera Ahad (5/2/2017).
Menurut Baheer, keputusan PBB itu bisa membuka jalan bagi kelompok-kelompok bersenjata lainnya, seperti Taliban, untuk memasuki perundingan damai.
Dia juga mendesak pemerintah Afghanistan untuk mengimplementasikan perjanjian damai yang dibuat bulan September 2016 itu dengan “sepenuhnya dan jujur” serta menyeru penentangan terhadap interferensi kekuatan-kekuatan asing dalam urusan Afghanistan.
“Perdamaian lebih sulit dicapai daripada perang, dan kami telah melakukannya, kami telah mengambil langkah-langkah demi mencapai perdamaian di Afghanistan,” kata Baheer.
Pasukan NATO secara resmi mengakhiri misi tempurnya di Afghanistan pada Desember 2014. Akan tetapi pada Juli 2016, pasukan Amerika Serikat diberi tambahan kuasa untuk melancarkan serangan terhadap pasukan Taliban, seiring dengan sumpah Presiden AS Barack Obama yang akan bersikap lebih agresif di Afghanistan.
Saat ini Amerika Serikat masih menempatkan sekitar 8.400 personel militernya di Afghanistan.
Habiburrahman Hekmatyar, putra dari Gulbuddin Hekmatyar, menyambut baik pencabutan sanksi atas ayahnya, dan menyebutnya sebagai “sebuah keputusan amat besar yang akan mengubah seluruh situasi di Afghanistan.”
“Setiap orang Afghanistan sudah mengalami penderitaan selama perang dan konflik puluhan tahun, dan semua orang sudah berkorban banyak dalam peperangan ini, termasuk kami. Jadi, kami mendesak setiap orang Afghanistan mengambil langkah maju dan yakin bahwa kita bergerak menuju perdamaian,” kata Habiburrahman kepada Aljazeera.
Hekmatyar pembunuh rakyat
Namun di lain pihak, sebagian warga biasa Afghanistan dan juga kelompok-kelompok HAM, mengkritik perjanjian damai tersebut dan merasa keberatan dengan pencabutan sanksi atas Hekmatyar.
“Dia hanya menginginkan jabatan politik untuk keluarganya dan anggota-anggota partainya di Afghanistan. Dia adalah pembunuh rakyat Afghanistan, akan sulit mengubah pandangan orang terhadapnya,” kata Sami Darayi, warga Kabul yang kehilangan pamannya semasa perang sipil, kepada Aljazeera hari Sabtu (4/2/2017).
“Dia bahkan tidak meminta maaf kepada kami rakyat Afghanistan, dia tidak pernah mengatakan dirinya melakukan kesalahan dengan membunuhi orang-orang tak bersalah,” imbuhnya.
Sementara itu warga Kabul lainnya, Khalid Amini, yang ayahnya dibunuh oleh pasukan Hekmatyar, mengatakan “selama hal itu akan membawa perdamaian di negara ini, saya tidak masalah menerimanya kembali.”
“Saya ingat kematian ayah saya, tetapi saya ingin melangkah ke depan. Saya ingin mengurus keluarga saya dan hidup dalam lingkungan yang aman damai. Sebab itu saya menginginkan perdamaian, dan dia (Hekmatyar) sekarang harus membawa [perdamaian] itu ke negeri ini,” kata Amini kepada Aljazeera.
Banyak pemerintah negeri asing, termasuk Amerika Serikat, yang memuji perjanjian damai itu.
Namun, Human Rights Watch, organisasi pemerhati HAM berbasis di New York, melabeli Hekmatyar sebagai “salah satu tersangka kejahatan perang paling terkemuka di Afghanistan.” Menurut kelompok itu, diterimanya kembali Hekmatyar ke kancah politik akan menumbuhkan budaya impunitas (dibebaskannya seseorang dari kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukannya), yang berarti tidak memberikan keadilan kepada rakyat Afghanistan yang banyak menjadi korban pasukannya.*