Oleh: Asih Subagyo
Hidayatullah.com | SATU dasawarsa lalu, Pemimpin Umum Hidayatullah KH Abdurrahman Muhammad sudah menyampaikan gagasan yang briliant, bahwa untuk mewujudkan visi dan misi Hidayatullah ke depan, maka organisasi perlu melakukan rejuvenasi. Sebuah diksi yang cukup asing ketika itu, atau setidaknya jarang didengar oleh sebagian kader, meski bisa jadi sudah mengimplementasikannya.
Dalam KBBI, rejuvenasi diartikan sebagai peremajaan. Akan tetapi, beliau menjelaskan secara implementatif bahwa rejuvenasi adalah proses peremajaan organisasi, berarti juga termasuk kepengurusannya. Artinya, dalam konteks ini, penggerak organisasi harus diisi oleh orang-orang muda dari sisi usia, atau setidaknya mereka yang selalu berjiwa muda.
Dinamika ini sudah dimulai sejak Munas IV, secara bertahap. Hal ini dapat disaksikan, saat beberapa hari menjelang MUNAS V, Allahuyarham Al-Ustadz Dr. Abdul Mannan, menyampaikan bahwa melihat data SDI (sumber daya insani) yang ada, setelah di olah dan dilakukan analisis yang mendalam, saat itu rejuvenasi masih belum sepenuhnya dapat terwujud. Sehingga perlu di combine antara kader senior dan yunior dalam kepengurusan Hidayatullah di semua level.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Bukanlah dari golongan kami mereka yang tidak menyayangi yang lebih muda, dan mereka yang tidak menghormati yang lebih tua.” (HR. Tirmidzi).
Dari kebijakan ini maka dalam struktur kepengurusan Hidayatullah kader-kader muda mulai mengisi amanah di strukturtural organisasi, termasuk juga di amal usaha dan badan usaha. Sehingga tercipta harmonisasi dan gerakan organisasi yang semakin dinamis.
Gelombang Milenial
Sebagaimana kita mafhum, bahwa dalam konteks Indonesia, saat ini memasuki bonus demografi. Dimana saat ini, dan puncaknya nanti diprediksi terjadi pada tahun 2030, populasi masyarakat akan didominasi oleh individu-individu dengan usia produktif. Usia produktif yang dimaksud adalah rentang usia 15 hingga 64 tahun.
Hal ini terkonfirmasi, hasil sensus penduduk tahun 2020, yang menegaskan bahwa 70,7% penduduk Indonesia adalah usia produktif. Dari 270,2 juta penduduk itu, maka ada satu generasi yang lahir tahun 1981 – 1996, atau lebih dikenal dengan generasi milenial yang jumlahnya 25,87% itu, saat ini banyak mempengaruhi kehidupan di Indonesia. Demikian halnya dengan generasi Z, generasi alfa dan sesudahnya.
Dengan demikian maka, mau tidak mau, suka tidak suka, gelombang milenial dan generasi sesudahnya, menjadi tantangan. Sebab, menua adalah sebuah kepastian. Sehingga merekalah yang akan melanjutkan kepemimpinan dimanapun dan disegala level. Oleh karenanya sudah selayaknya generasi ini, perlu untuk mendapatkan perhatian yang serius, untuk kemudian di-manage secara terprogram, terencana dan terukur. Untuk melahirkan generasi pelanjut yang handal.
Tak terkecuali hal ini juga akan dialami oleh Hidayatullah itu sendiri, dimana sebagaimana dalam konteks Indonesia, maka distribusi normal itu, juga terjadi dalam populasi anggota dan kader organisasi. Generasi milenial dan post milenial di Hidayatullah, rata-rata secara akademis lebih baik dari generasi sebelumnya. Banyak diantara yang sudah bergelar master dan doktor, dari dalam dan luar negeri. Dan yang lebih menggembirakan rerata mereka juga banyak yang sudah hafidzul Qur’an.
Dalam berbagai literatur, kita dijumpai bahwa generasi milenial dan sesudahnya diprediksi akan men-drive kehidupan umat manusia. Bahkan akan mendeterminasi peradaban. Apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan teknologi, termasuk hubungkan dengan industry 4.0 atau society 5.0.
Dan ini yang menyebabkan mereka menjadi digital native. Artinya dalam kesehariannya tidak dapat dilepas dari perangkat digital. Melihat kenyataan ini, maka gelombang milenial ini menjadi tantangan bagi Hidayatullah.
Rejuvenasi Sebuah Keniscayaan
Realitas di atas merupakan tantangan bagi organisasi ke depan dalam melakukan rejuvenasi disetiap level. Peremajaan pengurus dalam sisi usia, berarti menyiapkan kader-kader muda untuk : dilakukan pemetaan talenta dan potensinya sejak dini; kemudian dilakukan pendidikan dan pelatihan yang memadai untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya sesuai dengan talenta dan potensi masing-masing; ditugaskan pada tugas-tugas yang menantang untuk menguji kekaderannya; selanjutnya dilakukan pendampingan (coaching) dan monotoring terhadap kader yang ditugaskan, sehingga menjadi terarah dalam melaksanakan tugasnya; kemudian dilakukan monitoring dan evaluasi sehingga mendapatkan feedback, dari sini nanti bisa diarahkan apakah kader tersebut bisa lanjut pada tahapan beringkutnya, atau kemudian kembali ke fase pertama lagi.
Sedangkan dalam konteks melakukan rejuvenasi bagi kader yang secara usia sudah tidak “muda” lagi, akan tetapi masih memiliki jiwa, semangat dan energi selayaknya generasi muda, maka proses upgrading yang dilakukan juga dapat dilakukan sebagaimana tahapan di atas. Dalam hal ini, akan disesuaikan dan dikelompokkan dengan kompetensi masing-masing potensi kader. Oleh karenanya, kedepan organisasi akan memiliki standar dan kualifikasi kader yang akan ditugaskan dalam mengemban amanah di setiap level tersebut.
Dengan demikian maka, rejuvenasi organisasi dalam berbagai konteksnya tersebut di atas, merupakan sebuah keniscayaan. Karena percepatan perubahan lingkungan eksternal dan internal organisasi, harus mampu direspon dengan cepat dan tepat. Jika tidak, maka organisasi akan di gilas oleh jamannya. Inilah mengapa menjadi alasan sekaligus jawaban, bahwa rejuvenasi itu harus dilakukan.
Pesan Kiai Abdullah Said Rahimallah, saat ini menjadi menemukan monentumnya,”Inilah tantangan yang harus kami jawab sekarang dan esok. Mampukah kita mempertahankan apa yang telah dicapai kini ? dan mampukah kita meningkatkannya di hari mendatang ? Mari kita jawab dengan praktek dan kenyataan. Selamat berjuang di alam realita, bukan di alam cerita. Selamat bertemu di alam kenyataan, tidak di alam pernyataan.” Wallahu a’lam.*
Ketua Bidang Organisasi DPP Hidayatullah