Oleh: Kholid A.Harras
Hidayatullah.com | SALAH satu kosakata yang sedang viral di jagat politik tanah air, yakni baliho. Kosakata ini mulai viral setelah aksi heroik pasukan khusus TNI AD menurunkan paksa ratusan baliho foto Habib Rizieq Shihab (HRS).
Seperti diakui Pangdam Jaya, Letjen Dudung Abdurahman, aksi penurunan paksa baliho HRS di berbagai tempat strategis di DKI Jakarta tersebut atas perintahnya langsung. Banyak orang, termasuk saya, yang mungkin menyana muasal kata ‘baliho’ dari bahasa-bahasa Eropa. Misalnya Belanda , Jerman, atau mungkin juga dari bahasa China.
Anggapan tersebut keliru. Ternyata kata ‘baliho’ diambil dari bahasa Arab ‘ballighu’ yang artinya “sampaikanlah”. Akar katanya ‘balagha’ yg artinya “menyampaikan”.
Seperti mafhum, dalam Islam ada hadis terkenal mengenai perintah berdakwah. Bunyinya, “Ballighu anny walau ayatan: “Sampaikan apa yang kamu dapat dariku (Muhammad ﷺ) meskipun hanya satu ayat”. Jadi dari sinilah muasal kata ‘baliho’ ini. Bahwa dalam proses penyerapannya terjadi perubahan bunyi atau ejaan, tentulah merupakan sebuah kelaziman.
Entah sejak kapan kata ‘baliho’ digunakan sebagai istilah dalam komunikasi periklanan yg merujuk pada media informasi/iklan luar ruangan ( outdoor advertising ). Yang pasti, sejak ditemukan printernya yang kian canggih dan biaya pembuatannya yang semakin murah, peminatnya semakin marak.
Baliho makin rerkenal terutama saat perhelatan politik seperti Pemilukada, Pileg atau Pilpres. Di masa ini, dipastikan baliho, spanduk atau billboard akan menyesaki ruang-ruang publik negeri ini.
Boleh jadi baliho yang berisi ucapan selamat datang kepada HRS setelah hampir 3.5 tahun dirinya ‘mukim paksa’ di KSA tidak menimbulkan masalah jika tidak diembel-embeli pesan ajakan “Revolusi Akhlak“. Pesan itulah yg agaknya telah membuat pihak-pihak tertentu meradang kemudian berusaha menurunkan paksa baliho-baliho tersebut.
Secara denotasi frasa ”’Revolusi Akhlak” berarti “perubahan yang besar dan dilakukan secara cepat di bidang prilaku atau karakter”. Secara konotatif kata tersebut bisa dipersepsi secara berbeda-beda.
Bagi sebagian orang ajakan “Revolusi Akhlak” dimaknai positif karena mengajak masyarakat agar memperbaiki akhlaknya yang belum sesuai ajaran agama. Akan tetapi di mata sebagian yang lain, ajakan tersebut dianggap sebagai perlawanan terhadap pemerintah. Pencantuman akhlak dianggap hanya sekedar kedok saja.
Pangdam Jaya, Mayjen Dudung Abdurrahman, boleh jadi termasuk kalangan yang menganggap pesan “Revolusi Akhlak” pada baliho HRS tersebut sebagai pernyataan tindak penentangan terhadap kekuasaan pemerintah yg sah. Oleh karena itu selain tegas memerintahkan penurunan baliho-baliho HRS dari seluruh DKI Jakarta, dia juga mewacanakan pembubaran FPI. Walaupun pernyataan tersebut diralatnya.
Sebagai media luar ruangan, baliho atau apapun istilah dan bentuknya, sebenarnya bisa diibaratkan ‘bebegig’ (bahasa Sunda) alias “orang-orangan sawah”. Benar, oleh petani ‘bebegig’ biasanya dibuat untuk menakut-nakuti burung agar tdk memakan padi miliknya.
Tapi sejatinya di mata burung elang atau rajawali yang memang tidak suka makan padi, ‘bebegig’ tidak berpengaruh sedikit pun. Hanya burung ‘belegug’ (bodoh) yang takut sama ‘bebegig’.*
Penulis adalah dosen FPBS UPI