Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Jaksa Penuntut Umum ((JPU) bersungut-sungut marah, saat menanggapi eksepsi tim pembela Habib Rizieq Shihab, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa (30 Maret).
Dua kata yang disampaikan tim pembela dalam eksepsinya, itu pada Jum’at (26 Maret), pastilah ada korelasi dengan substansi tuntutan penuntut umum. Dan lalu muncul kata “pandir dan dungu”.
Lalu penuntut umum, karena dua kata tadi, sampai harus menunjukkan siapa dirinya, kami ini semuanya bergelar S2, dan sudah berpengalaman puluhan tahun.
Titel atau gelar akademis tentu dan pastilah tidak ada korelasi sama sekali dengan pandir dan dungu, pun dengan pengalaman puluhan tahun. Disematkan dua kata itu tentu punya sebab.
Kata pandir dan dungu itu keluar dari mulut tim pembela, saat melihat yang didakwahkan pada terdakwa adalah sesuatu yang berlebihan atau tampak diada-adakan dengan tidak semestinya.
Maka konstruksi kata dungu dan pandir, itu menjadi relevan, meski itu bukan kata yang disuka tim penuntut umum, dan bagi mereka yang mengagungkan gelar akademis.
Kata dungu dan pandir itu disematkan, bukan tanpa sebab. Pastilah ada sebab yang melatarbelakangi sehingga kata itu muncul. Dan tentu bukan spontanitas dari tim pembela, itu sudah dipikirkan.
Sebenarnya “ditampar” dengan dua kata itu, jika penuntut umum menganggap bagian yang tidak pantas disebut dungu dan pandir, maka tuntutannya pun mestinya sepadan dengan titel dan pengalaman puluhan tahun.
Baca: Habib Rizieq, Itu Seperti Juga Soekarno Saat Mencari Keadilan dengan “Indonesia Menggugat”
Pandir dan Dungu
Filsuf Rocky Gerung kerap memakai dan mempopulerkan kata dungu. Menyebut seseorang dengan kata dungu, tentu bukan pada personalnya tapi pada kebijakan yang diambil, yang dianggap tidak tepat.
Maka kata dungu itu disematkan pada yang bersangkutan atas kebijakannya itu. Tidak ada delik yang bisa menjeratnya, kecuali jika apes lalu dikriminalisasi.
Pandir dan dungu punya makna yang sama. Keduanya bermakna bodoh, atau bebal. Perulangan dua kata yang punya makna sama, tentu itu bisa jadi sebagai penegasan. Sekali lagi, tidak ada korelasi titel yang disandang, dan jam kerja dari yang bersangkutan.
Banyak yang bertitel S3 bahkan bergelar Profesor, tapi saat melakukan kebijakan yang merugikan, misal korupsi, maka ia patut disebut pandir dan atau dungu. Apakah tindakannya itu berkolerasi dengan titel yang disandangnya. Tentu tidak.
Maka penuntut umum, yang “marah” dengan ungkapan dua kata yang bermakna sama tadi, adalah hal mengada-ada. Bisa jadi itu bagian dari teknik mengaburkan substansi eksepsi. Atau bagian dari membesarkan yang kecil, dan mengecilkan yang besar.
Baca: Tidak Dihadirkan di Persidangan, Itu karena Lisannya yang Bak Sembilu
Soal-soal “membesar dan mengecilkan” demikian, memang bukan rahasia umum. Dan dalam konteks Habib Rizieq, juga pada kasus Syahganda Nainggolan, yang dituntut penuntut umum dengan 6 tahun, itu bisa dipakai sebagai contoh.
Maka kata pandir dan dungu, lalu pantas muncul untuk melawan tuntutan atas ketidakadilan, absurd dan diada-adakan. Kata itu pun pantas disematkan tidak saja pada penuntut umum, tapi juga pada majelis hakim, jika berani bermain-main dengan putusan hukum yang diambil.
Lalu kenapa mesti “marah”, atau setidaknya jengah dengan ungkapan dua kata tadi. Ungkapan pandir dan dungu, itu muncul oleh sebab, bukan dimunculkan tanpa sebab. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya