Oleh Dhiman Abror*
Hidayatullah.com–Pilpres 2019, sekali lagi, menunjukkan kekalahan telak yang diderita oleh kekuatan Islam politik yang dipresentasikan dalam koalisi pendukung 02. Dalam bahasa almarhum Kuntowijoyo, koalisi 02 mencerminkan kekuatan “Islam Bermasjid”, sedangkan koalisi 01 adalah cerminan kekuatan “Islam tanpa Masjid”. Geertz menyebut kelompok bermasjid sebagai santri dan kelompok tak bermasjid sebagai abangan.
Sejak pemilu 1955 komposisi perolehan 45-55 hampir tidak bergeser. Kuntowijoyo menengarai kelompok Islam tanpa masjid inilah yang menggergaji Habibie dengan menolak laporan pertanggung jawabannya sehingga Habibie kehilangan legitimasi moral dan politik untuk mencalonkan diri dalam pilpres. Inilah kekalahan KO pertama Islam bermasjid di era Reformasi yang berketerusan sampai sekarang.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana perjalanan demokrasi kita lima tahun kedepan, jika semua kekuatan parpol bergabung menjadi satu dengan kekuasaan. Para aktivis demokrasi menangisi kematian demokrasi dan menyatakan bahwa tanpa oposisi demokrasi akan mati dan akan muncul totalitarianisme gaya baru.
Negara ini sedang bergerak ke arah negara total yang dipimpin oleh segelintir oligarki yang merupakan gabungan dari negara, state, dan market, para pemodal besar penggerak pasar. Kongkalikong negara dengan pasar ini telah menjadikan kekuatan masyarakat civil society tertinggal dan diabaikan. Kekuatan masyarakat madani, civil society, yang menjadi tulang punggung demokrasi semakin tergerogoti oleh kekuatan negara dan pasar. Masyarakat pun semakin lemah tak berdaya didikte oleh negara dan pasar.
Raghuram Rajan dalam buku “The Third Pillar; How Markets and State Leave the Community Behind” (2019) menyebutkan bahwa di antara tiga pilar; negara, pasar, dan masyarakat, telah terjadi ketimpangan ketika negara lebih berpihak kepada pasar dan menjadikan masyarakat tertinggal di belakang.
Persekongkolan negara dan pasar menjadikan masyarakat lemah tak berdaya dan terus-menerus didikte oleh kepentingan pasar. Kenaikan harga BBM, tarif listrik, biaya pendidikan, harga-harga kebutuhan pokok dilakukan dengan semena-mena oleh negara yang bersekongkol dengan pasar. Teriakan masyarakat nyaris tak terdengar karena tidak adanya saluran protes yang bisa mengakomodasi suara mereka.
Ketika kekuatan oposisi dikempit dalam korporatisme negara maka mekanisme checks and balances akan lenyap dan para politisi akan sibuk mengejar cek supaya balance. Kekuatan media, yang pernah mengklaim diri sendiri, self proclaimed, sebagai pilar keempat sekarang ambruk sudah dihantam kekuatan pasar.
Media, sebagaimana parpol, sudah kehilangan elan perjuangannya karena sudah menjadi bagian dari market. Para taipan besar yang menguasai modal besar sekarang menjarah parpol dan media. Harry Tanoesoedibjo dan James Riyadi adalah sedikit contoh nyata dari persekongkolan market, politik, dan negara.
Negara menjadi semakin kuat karena simbol dan ikon civil society sudah dipreteli satu-persatu dan terkooptasi dalam dekapan negara. Kita ingat bagaimana KH Ma’ruf Amien adalah ikon perlawanan civil society dalam kasus penistaan agama Ahok, 2016. KH Ma’ruf yang menjadi ketua MUI mengeluarkan fatwa bahwa Ahok telah menistakan Islam.. Ketika kemudian KH Ma’ruf dijadikan cawapres Jokowi, dia berbalik 180 derajat. Hal yang sama terjadi pada Yusril maupun Mahfud MD yang sebelumnya kita kenal sebagai voice of conscience, suara kesadaran, sekarang menjadi pingsan kehilangan kesadaran. Dengan masuknya Prabowo dalam gerbong kekuasaan, lengkap sudah kematian civil society.
Negara menjadi semakin kuat dan civil society semakin merana dan masyarakat tambah menderita. Negara menggunakan semua kekuatannya untuk menghancurkan perlawanan sipil. Dua kekuatan utama negara adalah Ideological State Apparatus (ISA) dan Repressive State Apparatus (RSA), dua-duanya dipakai dengan sangat efektif untuk memberangus kekuatan sipil.
ISA diterapkan untuk mengucilkan perlawanan oposisi dengan mekanisme labelling, naming, dan stereotyping. Mereka yang beroposisi terhadap negara serta-merta dituduh sebagai anti-Pancasila, anti-NKRI, dan anti-kebhinekaan.
RSA dilakukan dengan penangkapan ratusan oposisi, antara lain, dengan memakai undang-undang ITE dan undang-undang lainnya yang mulur mengkeret seperti karet.
Setelah berhasil memberangus ikon-ikon civil society, negara kemudian melakukan penetrasi ke lembaga-lembaga lambang kekuatan civil society seperti masuknya TNI memegang jabatan birokrasi dan masuknya Polri sebagai pimpinan KPK.
Mana yang harus dipilih antara negara yang kuat dan lemah? Tidak ada salahnya negara kuat, bahkan negara harus kuat supaya hadir ketika dibutuhkan. Yang tejadi sekarang adalah negara tidak hadir saat dibutuhkan. Kegagalan negara menangani bencana alam di beberapa wilayah adalah salah satu contoh.
Negara boleh kuat tapi harus benevolent, berbudi baik, dermawan kepada rakyat, dan komit untuk menyejahterakan rakyat seperti yang dicontohkan Lee Kuan Yew di Singapura. Singapura adalah negara kuat tanpa oposisi tapi rakyat makmur dan sejahtera. Kita tidak punya pemimpin sekelas Lee. Pemimpin kita terkena penyakit “milik nggendong lali”, saat berkuasa lupa terhadap rakyatnya karena selalu menimbun harta dan sibuk melayani tuannya.
Ketika Lee mati ia ditangisi rakyatnya. Puluhan ribu orang menangis di sepanjang jalan menuju pemakaman. Di Indonesia pemimpin mati rakyat syukuran…
*Wartawan senior