Komisi Yudisial sedang mengusut profesionalisme hakim yang mengadili Antasari Azhar. Ada yang menuding Presiden SBY di belakang kasus ini. Kenapa?
Oleh: Amran Nasution
JEFFREY A. Winters, Guru Besar Ilmu Ekonomi-Politik Northwestern University, Evanston, yang terletak di tepi Danau Michigan, Amerika Serikat, memotret fenomena Indonesia sekarang dengan sangat menarik. Menurut pengamat Indonesia itu, demokrasi di negeri ini sudah amat maju. Indonesia menjadi negara paling demokratis di Asia Tenggara.
Rakyat bisa memilih langsung pemimpinnya, bebas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. ‘’Tapi hukum enggak jalan,’’ kata Winters dalam acara bedah bukunya, Oligarchy, di Universitas Atmajaya, Jakarta, Selasa, 19 April lalu. Biasanya, seperti bisa dilihat di negara maju demokrasi berjalan seiring dengan tegaknya hukum. Mengapa Indonesia beda?
Winters menjawab bahwa sejak zaman Orde Baru di sini tumbuh oligarki (oligarchy), yaitu sekelompok kecil anggota masyarakat yang kuat karena kekayaannya. Dan oligarki yang berkuasa di Indonesia, menurut Winters, tak tunduk terhadap sistem hukum. Maka hukum hanya bisa ditegakkan terhadap rakyat biasa.
“Meski menjadi negara paling demokratis, Indonesia juga menjadi negara paling korup,’’ katanya.
Gagalnya penegakan hukum menyebabkan demokrasi yang berlangsung di Indonesia adalah sistem yang korup, dilakukan dengan pembayaran di bawah meja (transaksional) yang tak transparan. Orang terpilih menjadi pejabat seperti bupati, walikota, atau gubernur, umumnya dengan cara membayar rakyat pemilih. Bahkan pemilihan Presiden pun bukan wilayah yang bebas dari proses transaksional. Oleh karena itu agaknya proses rekrutmen politik yang demokratis hanya kian memperkuat posisi kelompok oligarki, pemilik uang.
Dengan ini sebenarnya pernyataan Winters bahwa Indonesia negara paling demokratis di Asia Tenggara layak dipersoalkan. Sayang tulisan ini tak dipersiapkan untuk membahas masalah itu. Cukuplah kalau disimpulkan bahwa hukum memang tak berjalan di sini, sebagaimana ditenggarai Winters.
Maka peradilan terhadap bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar tampaknya akan menjadi tonggak kebobrokan hukum Indonesia. Bila apa yang dipermasalahkan Komisi Yudisial sekarang terbukti maka kasus ini akan menjadi sebuah peradilan yang sesat karena menghukum orang yang sesungguhnya tak bersalah. Lebih parah lagi kalau kelak terbukti semua ini dilakukan demi kepentingan orang yang sedang berkuasa di Indonesia.
Seperti diketahui, Sabtu siang, 14 Maret 2009, Nasruddin Zulkarnaen Iskandar, direktur sebuah perusahaan BUMN dalam perjalanan pulang dari padang golf Modern Land Tangerang. Belum jauh mobil BMW yang membawanya meninggalkan tempat itu, sebuah sepeda motor menyalib dari kiri dan orang yang duduk di boncengan menembakkan pistol dua kali ke arah penumpang di jok belakang mobil. Dua peluru itu bersarang di kepala Nasruddin Zulkarnaen dan menyebabkan kematiannya di rumah sakit, keesokan harinya.
Singkat cerita, polisi kemudian berhasil menangkap kawanan pembunuh yang terdiri dari lima orang, termasuk Daniel Daen, pelaku penembakan. Tapi yang lebih menarik, para pembunuh itu disebutkan polisi berada di bawah koordinasi Komisaris Besar Wiliardi Wizar, bekas Kapolres Jakarta Selatan yang bertugas di Markas Besar (Mabes) Polri.
Wiliardi dituduh menyiapkan pembunuhan itu atas permintaan Ketua KPK Antasari Azhar dan temannya, pengusaha Sigid Haryono Wibisono. Konon adalah Sigid yang memberikan dana Rp 500 juta kepada Wiliardi untuk membayar para operator pembunuhan.
Mengapa Nasruddin harus dibunuh? Menurut skenario ini, Antasari berselingkuh dengan seorang mantan caddie (pelayan lapangan golf) bernama Rhany Juliani yang tak lain istri ketiga Nasruddin. Perselingkuhan itu diketahui Nasruddin. Antasari pun mengancam Nasruddin – lewat SMS – agar jangan meributkannya. Tapi belakangan karena khawatir hubungan gelap itu terbongkar Nasruddin ‘’dilenyapkan’’.
Dengan skenario seperti inilah Antasari Azhar, Sigid Haryono Wibisono, Wiliardi Wizar, dan 5 operator tadi dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan divonis 5 tahun sampai 18 tahun penjara. Antasari sebagai penganjur pembunuhan divonis paling berat, 18 tahun, sama dengan hukuman yang dijatuhkan kepada Daniel Daen, algojo penembakan (dalam skenario).
Hukuman itu tak bergeser sekali pun mereka melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta atau kasasi ke Mahkamah Agung. Berbagai kejanggalan atau keanehan selama perkara itu berlangsung, mau pun penyiksaan yang dilakukan polisi untuk mendapatkan pengakuan, tak mendapat perhatian majelis hakim.
Perlakuan Hakim
Artidjo Alkotsar, yang mengetuai majelis hakim kasasi di Mahkamah Agung mengatakan vonis yang dibuat Pengadilan Negeri sudah tepat karena itu permohonan kasasi Antasari ditolak. Selain Artidjo, hakim agung lainnya adalah Mugihardjo dan Suryadjaja. Ternyata belakangan diketahui bahwa ketiga hakim tak kompak dalam mengambil keputusan. Hakim Suryadjaja berpendapat para terdakwa tak terbukti melakukan pembunuhan karena itu harus dibebaskan (dissenting opinion).
Sebenarnya pendapat Hakim Agung Suryadjaja layak diperhatikan. Karena perkara ini sendiri tak selancar seperti yang digambarkan. Sekarang Komisi Yudisial, institusi pengawas perilaku profesionalisme para hakim, turun tangan mengusut majelis hakim yang mengadili perkara itu mulai tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, sampai mahkamah agung.
Misalnya, Senin, 18 April lalu, pengacara Antasari, Maqdir Ismail, memberikan keterangan di kantor Komisi Yudisial. Hakim panel yang menerimanya adalah Jaja Ahmad Jayus, Suparman Marzuki, dan Taufiqkurahman. ‘’Saya hadir menyampaikan atau mengkonfirmasi laporan kami 22 Februari 2010 tentang pelanggaran kode etik terutama yang berhubungan dengan perilaku hakim di pengadilan Antasari,’’ kata Maqdir Ismail kepada wartawan.
Pelanggaran profesionalisme yang dilakukan para hakim dan dilaporkan pengacara itu menyangkut sikap majelis hakim yang sama sekali tak mempertimbangkan bukti dan keterangan yang diungkapkan saksi ahli di depan persidangan.
Misalnya keterangan saksi ahli Agung Harsoyo yang memastikan bahwa selama priode Februari – Maret 2009, telepon Antasari (ada 6 telepon genggam) tak pernah mengirim SMS ke telepon Nasruddin Zulkarnaen. Dalam kesaksiannya di depan sidang Antasari, 17 Desember 2009, Agung Harsoyo menjelaskan bahwa semua aktivitas telepon genggam – panggilan telepon, SMS, mau pun miss-call – pasti tercatat di CDR (Call Detail Record) di setiap operator telepon genggam. Kalau pun ada upaya menghapus catatan itu, katanya, jejaknya pasti ketahuan. Berdasarkan pemeriksaan CDR itulah bisa dipastikan Antasari tak pernah mengirimkan SMS ke telepon Nasruddin.
Kesaksian ini jelas-jelas merontokkan argumen yang dibangun Jaksa Cyrus Sinaga bahwa Februari 2009, Antasari telah mengancam Nasruddin Zulkarnaen dengan SMS berbunyi: ‘’Maaf, Mas. Masalah ini hanya kita yang tahu. Kalau sampai ter-blow up, tahu sendiri konsekuensinya.’’ Bukti SMS itulah yang menyebabkan jaksa menuduh Antasari punya motif membunuh Nasruddin Zulkarnaen.
Dengan kesaksikan Agung motif itu telah rontok. Apalagi saksi ini sangat berkompeten. Agung adalah pakar teknologi informasi yang menjabat Kepala Laboratorium Sistem Kendali dan Komputer Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB Bandung. Sarjana Teknik Elektro ITB ini mendapat gelar doktor dari Universite de Bretagne Sud, Prancis.
Sementara itu Jaksa Cyrus Sinaga kini terpaksa mendekam dalam rumah tahanan. Dia ditangkap setelah kasus Antasari mencuat menjadi pembicaraan publik.
Sebelumnya adalah terdakwa kasus pajak Gayus Tambunan yang pertama kali mengungkap keterlibatan Jaksa Cyrus dalam perkara uang suap. Tapi, kata Gayus, Cyrus tak diusut karena berjasa dalam memenjarakan Antasari.
Saksi ahli lainnya adalah dr Abdul Munim Idries. Siapa tak kenal? Ahli forensik dari RS Cipto Mangunkusumo itu bukan saja dikenal karena senioritasnya, juga integritasnya. Dia seorang yang teguh pada prinsip kebenaran. Dan kesaksikan Munim dalam perkara ini – kalau saja hakim mau mendengarkannya – sudah cukup untuk membebaskan Antasari beserta seluruh terdakwa lainnya. Bagaimana tidak?
Ahli forensik ini mengungkapkan di depan pengadilan bahwa ada masalah dengan pistol dan peluru yang dijadikan barang bukti. Peluru yang dikeluarkan dari jenazah Nasruddin berdiameter 9 milimeter, kaliber 038 tipe SNW. ‘’Saya menulis seperti itu dalam keterangan saya sebagai ahli forensik, tapi polisi minta dihapus,’’ kata Munim kepada wartawan.
Sedangkan sepucuk pistol yang kata polisi disita dari para terdakwa dan dijadikan barang bukti ternyata jenis revolver yang sudah tua dan tentu beda dengan pelurunya. Kalau begitu bagaimana mungkin peluru dan pistol yang berbeda ukuran bisa ditembakkan untuk membunuh Nasruddin?
Malah seorang perwira dengan jabatan Wakil Direktur di Polda Metro Jaya menelepon Munim minta agar keterangan itu dihapus. ‘’Lalu saya bilang ini kewewenangan saya,’’ kiata Munim menolak permohonan itu.
Korupsi Menyerempet Istana
Sebetulnya kalau saja hukum tegak di negeri ini, begitu sidang pengadilan menemukan peluru dan pistol berbeda, mestinya seluruh terdakwa harus dibebaskan. Apalagi seperti dikatakan Pengacara Maqdir Ismail, pistol yang dijadikan barang bukti di depan pengadilan adalah barang rongsokan yang sudah macet. Keterangan menyebutkan pistol itu diperoleh di Aceh setelah tsunami 2005.
“Senjata itu sudah pernah terendam air yang menyebabkannya rusak atau macet,’’ kata Maqdir.
Tapi pengadilan kita beda. Itu sebabnya berbagai lembaga pemeringkat korupsi internasional menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup di Asia. Para pejabatnya suka menerima uang sogok, termasuk para hakimnya. KPK sudah beberapa kali berhasil menangkap basah para hakim korup menerima uang sogok dari perkara yang diadilinya.
Coba, dari keterangan dr Munim jelas disebutkan bahwa ketika dibawa kepadanya, jenazah Nasruddin sudah dipermak. Lukanya sudah dijahit – meski peluru masih di kepala jenazah – dan mayat itu sudah dibersihkan, tak lagi asli.
Anehnya, polisi tak pernah menjelaskan siapa dokter yang menangani jenazah itu sebelum diserahkan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk divisum. Dokter misterius itu juga tak pernah didengar keterangannya di sidang pengadilan. Dan majelis hakim tak mempersoalkannya. Wajar kalau Komisi Yudisial mau memeriksa hakim seperti ini.
Sekarang korupsi yang disebutkan Jeffrey Winter telah menyerempet sampai Istana. Skandal Bank Century yang tahun lalu dihebohkan DPR menyerempet langsung nama Presiden SBY, Wakil Presiden Budiono, dan Menteri Keuangan (waktu itu) Sri Mulyani.
Maret lalu, dua koran Australia, The Age yang terbit di Mebourne dan The Sydney Morning Herald dari Sydney, melansir berita yang menghebohkan Tanah Air: Presiden SBY terlibat korupsi dan menerima uang dari pengusaha Tomy Winata. Ibu Negara Nyonya Kristiani Herawaty, diberitakan kedua koran itu sebagai broker dan fasilitator bisnis keluarganya.
Sumber berita koran itu amat kuat yaitu kawat Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang dikirimkan ke Departemen Luar Negerinya di Washington. Kawat itu kemudian dibobol situs pembocor Wikileaks dan diberikan ke koran The Age dan The Sydney Morning Herald.
Orang-orang dekat Presiden SBY seperti Menpora Andi Mallarangeng dan Menko Perekonomian Hatta Rajasa sedang bermasalah. Mallarangeng dikenal dekat dengan SBY sejak SBY menjadi Presiden di tahun 2004. Sedang Hatta adalah calon besan Presiden SBY, karena kedua anak mereka – Ibas dan Aliya — akan menikah.
Jumat malam lalu, KPK menangkap basah Wafid Muharam, Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga, bersama dua pengusaha di kantornya di lantai 3 Gedung Pemuda di kawasan Senayan Jakarta.
Dalam penggerebekan, KPK menemukan cek senilai Rp 3,2 milyar. Uang sogokan itu diberikan pengusaha yang sedang membangun Wisma Atlet di Palembang untuk Sea Games akhir tahun ini. Sekarang orang pun bertanya-tanya, apakah cek Rp 3,2 milyar itu hanya untuk Wafid Muharam atau juga untuk atasannya?
Menko Perekonomian Hatta Rajasa, orang dekat Presiden SBY lainnya sedang diterpa isu korupsi dalam pengadaan 60 kereta api listrik dari Jepang pada masa Hatta menjadi Menteri Perhubungan (2004 – 2007). Kabar yang berembus menyebutkan pengadaan kereta api listrik itu melibatkan salah seorang adik Hatta Rajasa dan adik Nyonya Ani Yudhoyono. Sudah lama diketahui, Hatta Rajasa berteman baik dengan Nyonya Ani.
Tapi yang paling menghebohkan tentulah kasus Antasari Azhar. Betapa tidak? Pada masa Antasari menjadi Ketua KPK dia berani menangkap bekas Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan untuk kasus korupsi. Padahal Aulia tak lain dari besan kandung Presiden SBY.
Detik.com 27 Januari 2011 menulis kasus Antasari sekarang sebagai balas dendam Istana karena Antasari telah menangkap Aulia Pohan, besan Presiden. Selain itu, ketika ditangkap polisi untuk kasus pembunuhan Nasruddin, Antasari sedang mengusut perkara penyelewengan IT KPU (proyek komputerisasi KPU) yang menurut detik.com bisa membahayakan legitimisasi pemerintahan Presiden SBY.
Mungkin karena itu banyak hal menjadi tanda tanya dalam perkara ini. Misalnya tentang barang bukti. Setelah Antasari Azhar ditangkap, polisi segera menyita barang bukti dari ruang kerja Antasari di KPK. Anehnya, barang yang disita adalah dokumen dan pengaduan masyarakat tentang BUMN dan IT KPU. Apa hubungan dokumen IT KPU dengan perkara pembunuhan Narsuddin sehingga polisi menjadikannya barang bukti dan sampai sekarang belum dikembalikan?
Jelas tak ada hubungannya. Terbukti selama sidang mengadili Antasari sekali pun barang bukti itu tak pernah dibawa ke depan sidang. Kali ini polisi harus bicara, tak bisa diam terus. Polisi harus menjelaskan semuanya, termasuk mengapa mereka menyita dokumen IT KPU, padahal tak ada hubungan dengan pokok perkara. Siapa memerintahkan polisi menyita dokumen itu?
Sekali lagi: IT KPU adalah perkara korupsi yang sedang diusut KPK yang waktu itu dipimpin Antasari Azhar. Jangan-jangan berita detik.com tadi benar bahwa dokumen IT KPU itu bisa membahayakan legitimisi pemerintahan Presiden SBY. Pantas Jeffrey Winters bilang kita negara paling korup di Asia Tenggara.*
Penulis pernah menjadi Redaktur GATRA dan TEMPO. Aktif di IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta
foto: detik