Jika hendak jujur menjejaki sejarah, bisa kita temui bahwa fokus perjuangan kemerdekaan banyak menghorbankan kaum sarungan; mereka ulama dan santri
Oleh: Wardah Abeedah
Hidayatullah.com | SANTRI, kaum sarungan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, satu hal yang tidak bisa dipisahkan. Tiga kata ini terjalin indah dalam sejarah Indonesia.
Santri adalah istilah yang disematkan pada pelajar di pesantren yang ditempa untuk menjadi ahli agama. Lazimnya, kelak mereka akan menyebarkan Islam di tengah-tengah masyarakat.
Pada era penjajahan, perjuangan mereka bukan sekedar dalam mempelajari ilmu agama dan menyebarkannya, namun berjihad mengangkat senjata. Militansi santri yang biasa dikenal dengan kaum sarungan ini tercatat apik dalam sejarah kemerdekaan.
Pada masa kolonial, kelompok santri berperan sebagai trigger untuk menggalang kekuatan massa menentang penguasaan kolonial. Berbagai pemberontakan terutama sepanjang abad ke-19 yang terjadi di berbagai daerah, konsolidasi kekuatannya dilakukan oleh kelompok santri dengan dipimpin para ‘kyai’. (Pemberontakan Petani Banten 1888, Sartono Kartodirdjo)
Fokus perjuangan santri
Jika hendak jujur menjejaki sejarah, bisa kita temui bahwa fokus perjuangan kaum sarungan ada pada dua hal :
Pertama, mengusir kafir penjajah dari nusantara, tanah milik kaum muslimin.
Adalah Perang Sabil, bentuk perlawanan kaum muslimin yang dipelopori ulama dengan santrinya di abad ke-19. Baik di Jawa, Sumatra, Kalimantan dan banyak daerah di nusantara, Perang Sabil menjadi ruh utama perlawanan kaum muslimin. Perang Sabil adalah istilah penyederhanaan dalam Bahasa Melayu untuk ‘jihad fii sabilillah’ atau perang di jalan Allah. (Jas Mewah, Dr. Tiar Bahtiar Anwar).
Ini membuktikan, Islam menjadi visi politik sekaligus spirit dalam perjuangan rakyat. Terlebih ketika perang-perang tersebut dipimpin oleh para ulama. Dengan ruh jihad fi sabilillah melawan Belanda, bangsa penjajah yang kafir.
Pada abad ke-20, tepatnya 8 Desember 1944, para santri masih terus berjihad dan tergabung dalam Laskar Hizbullah. Dalam rapat pleno Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada Januari 1945, diputuskan pimpinan pusat dari Barisan Hizbullah adalah KH Zainul Arifin (Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII&XVIII, (2005), Azyumardi Azra).
Kedua, menegakkan syariat Islam secara formal dalam negara (daar al-Islam)
Perjuangan yang dilakukan ulama dan pesantren buka sekedar mengusir penjajah Belanda dari bumi nusantara. Lebih dari itu, harta dan jiwa yang mereka korbankan adalah demi terbentuknya Negara Islam di nusantara.
Dituliskan oleh Pangeran Diponegoro dalam Babad Dipanegara, tentang motifnya dalam Perang Dipanegara. Ia berjihad untuk membangun suatu Balad Islam (negeri Islam) seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ. Begitu pula tujuan dari perlawanan kalangan pesantren dan kaum muslimin di Banten pada 1888.
Menjelang kemerdekaan, kaum sarungan masih keukeuh dengan perjuangan penegakan daar al-Islam ini. Disampaikan oleh Soepomo dalam pidatonya pada 31 Mei 1945:
“Memang di sini terdapat dua paham, ialah paham dari anggota-anggota ahli agama yang menganjurkan Indonesia didirikan sebagai negara Islam; dan anjuran lain sebagai telah dianjurkan oleh Mohammad Hatta ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dengan urusan Islam. Dengan perkataan lain: bukan negara Islam.” (Lihat naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I/115 karya Yamin).
Jauh sebelum kemerdekan Indonesia dirumuskan, ulama dan kaum pesantren mengangkat senjata adalah untuk menegakkan Negara Islam. Namun kemudian, bermunculan tokoh dari kaum nasionalis sekuler dan komunis yang tak sepakat. Sehingga dibentuklah Panitia Sembilan sebagai kompromi dari perbedaan pendapat antara kubu Islam yang diwakili ulama, dan kubu nasionasil sekuler, sebagaimana petikan pidato dr. Soepomo di atas.
Panitia Sembilan yang terdiri dari Ir. Soekarno (ketua), Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua), Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo, Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H., KH Abdul Wahid Hasjim , Abdoel Kahar Moezakir, Raden Abikusno Tjokrosoejoso, Haji Agus Salim , dan Mr. Alexander Andries Maramis (anggota) kemudian merumuskan Piagam Jakarta. Rumusannya menyebutkan ‘kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Dalam perjalanannya, Soekarno dan Hatta meminta kepada tokoh-tokoh Islam untuk diizinkan mengubah rumusan Piagam Jakarta menjadi rumusan Pancasila. Hingga akhirnya, dihilangkan tujuh kata diatas, dan dihapus pula pasal yang menyebutkan tentang syarat Presiden yang sebelumnya mengharuskan orang Islam.
Santri di Era Neokolonialisme
Saat ini, genap 73 tahun sudah Indonesia terbebas dari Penjajahan Belanda. Namun bagai pepatah ‘keluar kandang harimau, masuk mulut buaya’, kondisi rakyat Indonesia masih diliputi potret kelam.
Benar kiranya jika era ini disebut era neokolonialisme. Sumber daya alam kita dikuasai Amerika dan sekutunya, sementara lapangan kerja dikuasai tenaga kerja asing.
Negeri agraris yang subur ini juga banjir impor kebutuhan bahan pokok. Dengan menganut kapitalisme, penjarahan kekayaan alam oleh asing dan aseng, serbuan barang impor menjadi legal melalui UU.
Penjajahan di bidang pendidikan dan politik termasuk liberalisasi pesantren dan kapitalisasi asset pesantren masuk dengan elegan, melalui berbagai kebijakan. Kondisi sosial kita juga masih memprihatinkan.
Indonesia menjadi salah satu pasar narkoba terbesar di Asia. Degradasi moral dan pergaulan bebas yang berujung pada aborsi, kriminalitas dan HIV AIDS masih menjadi potret buram generasi.
Persoalan keluarga juga kompleks. KDRT, perselingkuhan hingga tingginya perceraian. Pangkal dari semua persoalan ini adalah keberadaan liberalism. Faham kebebasan yang diimpor dari Barat ini menggerus aqidah dan ketaatan rakyat yang 98% muslim.
Disisi lain, para santri yang mempelajari Fiqh Siyasah as Syar’iyah (politik Islam) meyakini bahwa bentuk negara Indonesia saat ini bukanlah daar al-Islam. Artinya, perjuangan kaum sarungan terdahulu belum berhasil terwujud.
Sehingga kedua hal ini menjadi faktor kuat yang mendorong kaum sarungan kembali ramaikan kancah perjuangan. Saat ini, mereka kembali memperjuangkan terwujudnya daar al-Islam sebagaimana dicontohkan Rasulullah ﷺ dan para khalifah sesudahnya.
Karena selain sebuah fardhu (kewajiban syariat), hal ini secara ‘aqliy sangat relevan untuk dijadikan solusi. Terlebih ketika saat ini tak sedikit kalangan pesantren yang terjebak politik pragmatis.
Sebagian santri berpolitik bukannya untuk ‘mengislamkan’ politik dan institusi politiknya. Justru mereka terkapitalisasi oleh politik demokrasi. Secara suka rela menjual dalil dan fatwa. Ormas dan pesantren juga dijadikan alat politik mempertahankan statusquo demi kepentingan duniawi.
Maka tak mengherankan jika saat ini kaum santri kembali menghidupkan perjuangan politik. Dengan Islam sebagai visi politik dalam pergerakannya. Wallahu a’lam bis shawab.*
Forum Silaturahmi Ustadzah dan Muballighah