Hidayatullah.com — “Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan puncak perjuangan yang dicapai melalui rangkaian perjuangan para ulama/kiai pejuang bangsa, seperti Sultan Agung Hanyokrokusumo, Abdul Hamid Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Cik Di Tiro, Hasanuddin, Baabullah, dan lain-lain. Mereka inilah cikal bakal nasionalisme Indonesia.”
Begitulah catatan KH. Sholeh Iskandar, sosok ulama yang pernah memimpin Barisan Hizbullah di Bogor (Jabar). Catatan tersebut hendak dipresentasikan dalam seminar bertajuk “Pesantren di Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949”. Acara diselenggarakan oleh Yayasan Histori Vitae Magistra, Jakarta, bulan Syawal 1412 H (1992).
Menurut KH. Sholeh, tema perjuangan merebut kemerdekaan, utamanya yang lahir dari “rahim pesantren” atau ulama dan santri, amat jarang diungkap. Itulah sebabnya, catatan dan kesaksian para pelaku sejarah menjadi penting.
Seperti apa jasa ulama dan santri tersebut? Simak beragam kisah perjuangan yang dinukil dari catatan KH. Sholeh Iskandar yang pernah dimuat di Majalah Media Da’wah No. 215 (Mei, 1992), ditambah beberapa sumber sejarah lain.
Santri Pejuang
Pada tahun 1992 atau Syawal 1412 H, KH. Sholeh Iskandar dijadwalkan mengisi seminar bertajuk “Pesantren di Masa Perang Kemerdekaan 1945-1949”. Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan Histori Vitae Magistra, Jakarta.
Ulama yang pernah memimpin Barisan Hizbullah Bogor ini menyiapkan tema “Peranan Pondok Pesantren dalam Perang Kemerdekaan”. Menurutnya, tema ini amat penting namun jarang diungkap.
Qadarullah, KH. Sholeh belum sempat menyampaikan karya tulisnya. Pada hari Rabu 22 April 1992, beliau meninggal dunia. Atas izin keluarganya, catatan di atas dimuat di Majalah Media Da’wah No. 215 (Mei, 1992).
Dari tulisannya terungkap bahwa para santri dan ulama memiliki peran yang vital dalam sejarah panjang kemerdekaan. Ada banyak peristiwa bersejarah yang membuktikannya.
Contohnya perlawanan yang terjadi di Cilegon pada tahun 1888. Aksi ini dipimpin oleh KH. Wasid.
Perlawanan tersebut dipicu oleh tersinggungnya perasaan masyarakat akibat adanya pelarangan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Umat Islam semakin geram ketika terjadi penghancuran terhadap menara Masjid Cilegon oleh penjajah.
Menurut catatan Prof. Dr. Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (1982: 25), perlawanan tersebut sesungguhnya memiliki tujuan yang lebih jauh. Yaitu menghancurkan kekuasaan Belanda di wilayah itu.
Contoh lainnya adalah perlawanan di Labuhan pada tahun 1926. Motornya adalah KH. Asnawi, KH. Mukri, dan KH. Tb. Ahmad Khotib.
Perjuangan Politik
Perjuangan ulama dan santri melawan penjajah sejatinya telah berlangsung sejak jauh hari sebelumnya. Demikian ditulis Prof. Dr. KH. Salimuddin Ali Rahman dalam pengantar buku Api Sejarah 1 (2014: XXVIII). Ulama dan Wali Sanga menjadi pelopor perlawanan tersebut.
Imperialis Barat, Kerajaan Katolik Portugis (1511 M), dan Kerajaan Protestan Belanda (1619 M) saat mencoba menguasai Indonesia, selalu terhalang oleh perlawanan ulama dan santri. Sejarawan Barat menyebutnya dengan istilah Santri Insurrection (Perlawanan Santri).
Sejarawan Clifford Geertz menyebut beberapa contoh perlawanan ulama dan santri. Misalnya Perang Cirebon (1802-1806), Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Padri di Sumatera Barat (1821-1838). Semuanya terjadi pada abad ke-19.
Spektrum dan luasan segmen yang diperjuangkan oleh ulama dan santri yang biasa disebut dengan “kaum sarungan” ini amat beragam. Mulai dari jalur fisik, non-fisik, sosial, politik, dan sebagainya.
Pada awal abad ke-20 misalnya, organisasi sosial awal di Indonesia adalah Sarekat Dagang Islam (SDI). Lembaga ini didirikan pada tahun 1905 oleh kalangan santri di kota Solo, dan menjadi embrio organisasi Sarekat Islam (SI).
Ada temuan menarik dari Mohamad Roem. Tokoh yang pernah menjadi Menteri Luar Negeri ini pernah bertemu Haji Samanhudi, pendiri SDI di rumah Gunawan (tokoh SI) pada tahun 1930-an.
Samanhudi menjelaskan bahwa SDI berdiri pada 16 Oktober 1905 (Majalah Kiblat, 12/XXV: 1978). Artinya, gerakan ini mendahului organisasi lain seperti Boedi Oetomo yang baru didirikan pada tahun 1908.
Dalam ranah perjuangan politik, pada tahun 1912, SI dipimpin oleh HOS. Tjokroaminoto. Pada tahun 1930, gerakan ini kemudian menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII).
Roem menulis, “Pergerakan kemerdekaan adalah pergerakan politik. Sarekat Islam adalah pergerakan politik yang pertama yang memperjuangkan nasib rakyat. Jadi merupakan pergerakan rakyat, dari rakyat untuk rakyat.”
Organisasi lain yang turut berjuang di ranah politik adalah Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Organisasi ini berdiri pada tahun 1932 di Sumatera.
Ada juga Partai Islam Indonesia (PII), yang berdiri tahun 1938. Organisasi-organisasi politik semacam ini, disebut oleh KH. Sholeh Iskandar sebagai organisai yang “cukup besar peranannya dalam melahirkan kader-kader pejuang kemerdekaan”.
Perlu dicatat bahwa dalam ranah politik, salah satu jejak umat Islam adalah keikutsertaannya dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dari sini lahirlah Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, yang menjadi cikal bakal UUD 1945.
Dalam pergulatan politik saat itu, ada penghapusan 7 kata yang menyejarah, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” pada sila pertama Pancasila. Namun Ki Bagus Hadikusumo mengatakan bahwa sila pertama itu tak menyimpang dari makna Tauhid.
Di luar organisasi politik, juga lahir organisasi-organisasi lain yang mendukung kemerdekaan seperti Muhammadiyah (1912), al-Irsyad (1914), Persis (1923), Nahdlatul Ulama (1926), Jam’iyatul Washiliyah (1930), dan sebagainya.
Kita ambil contoh satu saja, Persyarikatan Muhammadiyah. Sang pendiri, KH. Ahmad Dahlan, pada bulan Maret 1962 diputuskan sebagai Pahlawan Nasional.
Predikat itu layak adanya. Melalui organisasi yang didirikannya, Ahmad Dahlan berjuang sedemikian rupa agar bangsa Indonesia mendapat kemerdekaan.
Ada pernyataan menarik dari Mr. Sartono (mantan ketua parlemen dan wakil ketua DPA) dalam peringatan 40 tahun Muhammadiyah (18 November 1952). Katanya, ketika Boedi Utomo, Indische Partij (Douwes Dekker), dan SI geraknya dihalangi oleh Belanda, maka mucullah patriot-patriot lain yang mengalirkan semangat nasional kemerdekaan. Salah satunya adalah Muhammadiyah.
Tak berlebihan jika Sartono menandaskan, “Saya yakin bahwa gerakan Muhammadiyah sekarang masih ada di dalam tangan patriot.” (Yusuf Abdullah Puar, 1962).* (bersambung)
Mahmud Budi Setiawan, alumnus Universitas al-Azhar Kairo, Mesir.