Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: A. Wafi Muhaimin
ADA tiga argumen yang disodorkan oleh Dr. Mun’in Sirry (MS) dalam tulisannya sehingga bisa menggiring pembaca untuk mentolerir perilaku LGBT atau kawin sejenis, yaitu dengan merancukan argumen al-Quran, hadits dan pendapat fuqaha (ahli fiqih) seputar larangan homoseksual. Berikut tiga point yang disampaikan MS dalam tulisannya: (1) Ayat-ayat dalam al-Qur’an terkait dengan kisah nabi Luth dan kaumnya tidak dapat dijadikan landasan normatif untuk mendiskriminasi kaum LGBT, termasuk melarang menikah sejenis. (2) Menyoal otentisitas hadits-hadits yang menyebutkan hukuman tertentu terhadap sodomi, termasuk hukuman membunuh. (3) Para fuqaha berbeda pendapat mengenai bentuk-bentuk hukuman bagi pelaku sodomi, dan perbedaan keempat madzhab (hanafi, maliki, syafi’i dan hanbali) mengindikasikan bahwa mereka semua tidak menerima hadits yang memerintah hukum bunuh bagi pelaku sodomi.
Benarkah begitu? Mari kita kaji hukum homoseksual menurut al-Quran, al-Hadits dan pendapat fuqaha:
Homoseksual dalam al-Quran
Ayat tentang perilaku sodomi banyak tersebar dalam surah al-Qur’an, sebagaimana telah saya singgung di artikel pertama. Pada kesempatan kali ini, mari kita fokus pada surah al-A’raf ayat 80-81:
ولوطا إذ قال لقومه أتأتون الفاحشة ما سبقكم بها من أحد من العلمين- إنكم لتأتون الرجال شهوة من دون النساء بل أنتم قوم مسرفون
Artinya: “Dan (kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini), sungguh kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampui batas”.
Lalu bandingkan dengan ayat tentang larangan berzina dalam surah al-Isra’ ayat 32:
ولا تقربوا الزنى إنه كان فاحشة وسآء سبيلا
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”.
Dan perhatikan ayat tentang larangan terhadap perbuatan keji dalam surah al-An’am ayat 151:
ولا تقربوا الفواحش ما ظهر منها وما بطن
Artinya: “Janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi.”
Mari kita urai tiga ayat di atas: lafat al-fawahisy (al-An’am: 151) adalah bentuk plural (jama’ taksir) dari fahisyah, sehingga dapat diartikan bahwa perbuatan keji itu beraneka ragam dan hukumnya terlarang atau haram (la taqrabuu). Sedangkan pada surah al-A’raf dan al-Isra’, al-Qur’an menggunakan redaksi singular (fahisyah) sehingga bermakna bahwa perbuatan homoseksual adalah suatu perbuatan keji dan zina pun termasuk perbuatan keji. Karena homoseksual termasuk perbuatan keji, maka hukumnya di larang (haram) dengan merujuk pada ayat al-An’am ayat 151. Bahkan homoseksual bisa melebihi hukum zina, karena disamping merupakan perbuatan keji, perilaku sodomi juga belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum zaman nabi Luth.
Homoseksual dalam al-Hadits dan Qaul Sahabat
Banyak redaksi hadits yang menjelaskan tentang larangan homoseksual, bahkan perilaku sodomi kerapkali disejajarkan dengan perilaku menggauli hewan, misalnya hadits riwayat Ibnu Abbas:
من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به ومن وجدتموه وقع على بهيمة فاقتلوه واقتلوا البهيمة
Artinya: “Barang siapa yang ditemukan olehmu melakukan berbuatan kaum Luth, maka bunuhlah, baik si pelaku maupun objeknya. Barang siapa yang ditemukan olehmu menggauli hewan, maka bunuhlah berikut juga hewannya”.
Bahkan nabi mengkategorikan pelakunya sebagai pelaku perzinahan, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari:
إذا أتى الرجل الرجل فهما زانيان، وإذا أتت المرأة المرأة فهما زانيتان
Artinya: “Apabila seorang lelaki mendatangi (menyetubuhi) lelaki, maka keduanya termasuk orang yang berzina. Dan apabila perempuan mendatangi perempuan, maka keduanya termasuk orang yang berzina”.
Dan diriwayatkan oleh Abu Hurairah, nabi memerintah untuk merajam pelaku sodomi:
الذي يعمل عمل قوم لوط ارجموا الأعلى والأسفل ارجموهما جميعا
Artinya: “Barangsiapa yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka rajamlah orang yang di atas (pelaku) dan yang di bawah (objek). Rajamlah kedua-duanya”.
Pada masa khlaifah Abu Bakar, di sebuah perkampungan Khalid bin Walid pernah menemukan seorang lelaki dinikahi (digauli) sebagaimana perempuan dinikahi. Kemudian Khalid pun berkirim surat kepada khalifah menerangkan perilaku tersebut. Maka khalifah mendiskusikannya dengan para sahabat. Pendapat yang paling keras datang dari sayyidina Ali dengan berpendapat supaya pelakunya di bakar. Lalu khalifah Abu Bakar mengirimkan surat balasan agar Khalid membakar pelaku sodomi.
Homoseksual dalam Pandangan Fuqaha
Ulama sepakat bahwa homoseksual termasuk haram dan termasuk dosa besar, dan tak satu pun yang membolehkan perilaku sodomi. Merujuk pada ayat, hadits dan kisah sahabat di atas, maka tak mengherankan jika para fuqaha berbeda pendapat dalam soal sanksi terhadap pelaku homoseksual, sehingga dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Sanksi (had/hudud) bagi pelaku homoseksual sama seperti pelaku perzinahan, yaitu dengan cara di cambuk seratus kali bagi pezina ghairu muhshan (belum menikah) dan di rajam bagi zina muhshan (memiliki istri/suami). Pendapat ini diikuti oleh madzhab Syafi’i, madzhab Hanbali, Abu Yusuf, as-Tsauri, al-Auza’i dan Abu Tsaur. (2) Di ta’zir dan dikurung di penjara seumur hidup atau sampai bertaubat. Namun apabila masih melakukan kegiatan homoseksual (masih terulang), maka pemerintah boleh membunuhnya. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, Hammad bin Abi Sulaiman dan al-Hakam. (3) Di rajam, baik bagi muhshan maupun ghairu muhshan. Pendapat ini menurut kalangan maliki (4). Di bunuh (ulama beda pendapat mengenai caranya; ada yang berpendapat di bunuh dengan pedang dan ada yang berpendapat di bunuh dengan di rajam). Pendapat ini diikuti oleh Imam Syafi’i (dalam sebuah pendapatnya) dan Ishaq bin Rahawaih. Dan Pendapat ini sejalan dengan pendapat Ibn Abbas, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar, Abdullah bin Zubair, as-Sya’bi, az-Zuhri, Jabir bin Zaid dan Rabi’ah bin Malik. (5) Di bakar, sebagaimana dinukil oleh Ibn al-Qayyim dari pendapat sebagian kalangan hanbali. (6) dijatuhkan dari tempat tinggi lalu ditimbun dengan batu.
‘Ala kulli hal, point yang ingin disampaikan dalam tulisan ini bukan untuk men-takhrij atau men-tarjih hadits atau pendapat fuqaha di atas, melainkan untuk memberikan gambaran bahwa tak ada satu pun dalil, baik dalam al-Quran, al-hadits maupun pendapat fuqaha, yang mengindikasikan kebolehan perilaku homoseksual apalagi melegalkan kawin sesama jenis. Adapun perbedaan ijtihad dalam ranah “furu’iyah (sanksi)” adalah sesuatu yang lumrah dan rahmah. Oleh karena itu, melegalkan nikah sesama jenis sama saja dengan membiarkan atau melestarikan perbuatan tercela (keji) dan terlarang. Dan menawarkan maslahah sebagai solusi terhadap kebolehan kawin sejenis bagaikan memercikkan air di atas tumpukan najis. Wallahu a’lam bish-shawab.*
Penulis seorang guru ngaji di Pesantren Kampung, tinggal di Cisarua Bogor