Oleh: Qosim Nurseha Zulhadi
SEJAK sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi mengeluarkan fatwa terkait penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernu DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (Selasa, 11/10/2016), gelombang kritik pun mulai mengalir.
Ini dapat dimaklumi, karena sikap resmi MUI itu seolah-olah menjadi penyemangat bagi seluruh ummat Islam di Indonesia. Bagaimana tidak, ketika orang masih panas-panasnya memperdebatkan sikap ummat tentang kasus pelecehan Qs. Al-Ma’idah [5]: 51 oleh Gubernur Jakarta, Ahok, lahir sikap MUI yang sangat memuaskan.
Urgensi Fatwa
Fatwa sangat dibutuhkan di dalam Islam. Karena ia merupakan bagian dari ijtihad. Meskipuan para Ushuliyyun berbeda pendapat mengenainya: apakah selain Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam boleh berijtihad atau tidak. Namun mendapat yang dipilih adalah: boleh, apakah ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam masih ada atau tidak ada.
Dalil yang paling kuat adalah hadits Muʻadz ibn Jabal ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam akan mengutusnya ke Yaman. (Lihat, Syekh al-Khudhari Bek, Ushūl al-Fiqh (Beirut-Lebanon: Dār al-Fikr, 1424 H/2004 M), 373). Oleh karena itu orang awam dilarang mengeluarkan fatwa. Hanya orang yang dikenal berilmu dan adil yang dibenarkan mengeluarkan fatwa. (Syekh al-Khudhari Bek, Ushūl al-Fiqh, 382).
Oleh karena itu, jika meruju kepada kitab al-Lumaʻ fī Ushūl al-Fiqh karya Imam Abu Ishāq Ibrahim ibn ‘Ali al-Syīrāzī (w. 476 H) seorang mufti ini harus memiliki kualifikasi keilmuan, yakni: mengetahui jalan (pengambilan) hukum, yaitu al-Kitab (Al-Qur’an) khususnya yang berkaitan dengan hukum, halal-haram, selain ayat-ayat yang mengandung kisah, perumpamaan, nasehat dan khabar-khabar.
Kemudian juga mengetahui sunnah-sunnah yang diriwayatkan dari Rasulillah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dalam menjelaskan hukum. Disamping seorang mufti harus mengetahui rahasia ujaran Allah, sumber ujaran itu (mawārid al-kalām) juga sumber ujaran itu, seperti: haqiqah, majaz, lafadz umum, lafadz khusus, lafadz global (mujmal), detail (mufasshal), muthlaq (tak terikat), muqayyad (terikat), manthūq (yang terujar), mafhūm (yang tak terujar). Plus, bahasa dan Nahwu yang dengannya maksud Allah dan maksud Rasulillah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dapat diketahui.
Kemudian juga harus mengetahui hukum-hukum perilaku (perbuatan) Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dan mengapa itu berlaku. Selain itu harus mengetahui nāsikh dan mansūkh, hukum naskh dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Kemudian, mengetahui ijmāʻ (konsensus, kesepakatan) para ulama salaf dan perbedaan pendapat diantara mereka. Dan mengetahui qiyās (analogi), ijtihād, dan hal-hal yang terkait dengannya. (Lihat, Imam al-Syīrāzī, al-Lumaʻ fī Ushūl al-Fiqh, editor: Muhyi al-Dīn Dīb Mistū dan Yusuf ‘Ali Badyuwī (Damaskus/Beirut: Dār al-Kalim al-Thayyib dan Dār Ibn Katsīr, Cet. I, 1416 H/1995 M), 254-255).
Melihat klasifikasi dan sifat mufti yang disebutkan oleh Imam al-Syīrāzī tentu kita dapat membaca bahwa fatwa itu begitu penting: baik posisinya dalam bangunan ilmu ushūl al-fiqh maupun fiqh Islam. Itu sebabnya setiap madzhab memiliki buku-buku penting yang memuat para imam besar dan mujtahid dalam setiap madzhab yang ada. (Lihat, Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi, al-Fatwā baina al-Indhibāth wa al-Tasayyub (Kairo: Dār al-Shahwah, Cet. I, 1408 H/1988 M), 14).
Lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena kualifikasi keilmuan mereka – apalagi secara komunal – diakui. Disamping lembaga ini diisi oleh berbagai utusan dari ormas-ormas Islam yang ada, semisal: Muhammadiyah, NU, Al-Irsyad, Persis, Al-Washliyah, dan banyak lagi. Apalagi MUI disebut sebagai lembaga tempat berhimpunnya para ulama’ dan zu’ama’.
Kembalinya “Ruh” Buya Hamka
Ketegasan sikap MUI tersebut di atas mengingatkan kita kepada sosok ulama multitalenta asal Maninjau, Buya Hamka. Dibawa pula pikiran kita ke tahun 1980: ketika MUI di bawah pimpinan Buya Hamka mengeluarkan Fatwa ‘haram’ melaksanakan Natal bersama. Karena, sebagaimana disinyalir, pasca Buya Hamka, fatwa-fatwa MUI dianggap kurang “menggigit”. Buya Hamka memang seorang ulama’ tegas dan punya prinsip tak tergoyahkan. Itu sebabnya beliau dicintai dan dirindukan ummat ini.
Akhirnya, fatwa ‘haram’ Natal bersama itu pun kontan saja membuat geger publik. Terlebih lagi pada waktu itu arus kebijaksanaan pemerintah tengah mendengungkan isu toleransi. Berbagai instansi waktu itu ramai mengadakan perayaan Natal bersama. Bila ada orang Islam yang tidak bersedia ikut merayakan Natal, mereka dianggap kaum fundamentalis dan anti-Pancasila.
Keadaan itu kemudian memaksa MUI mengeluarkan fatwa. Risikonya Buya Hamka pun mendapat kecaman. MUI ditekan dengan gencarnya melalui berbagai pendapat di media massa yang menyatakan bahwa fatwa tersebut akan mengancam persatuan negara. Melalui sebuah tulisan yang dimuat di majalah Panjimas, Buya Hamka berupaya mempertahankan fatwa haramnya merayakan Natal bersama bagi ummat Islam yang dikeluarkannya.
Beliau tetap berpendirian teguh dan tidak akan mencabut fatwa Natal tersebut. Karena itu, daripada mencabut fatwa yang menurutnya jelas-jelas benar, akhirnya Buya Hamka lebih memilih untuk meletakkan jabatannya setelah ada desakan dari pemerintah. Ia mundur dari MUI pada 21 Mei 1981. Tak lama kemudia, beliau meninggal pada 24 Juli 1981.
Oleh sejumlah kalangan, sikap tegas Buya Hamka ketika memimpin MUI merupakan cerminan dari pribadinya. Bahkan, banyak yang mengatakan sepeninggal Buya Hamka, Fatwa MUI terasa menjadi tidak lagi menggigit. Bahkan di masa Orde Baru, posisi lembaga ini terkesan hanya sebagai tukang setempel kebijakan pemerintah terhadap ummat Islam belaka. (Repulika, (Ahad, 7/2/2010: B5). Dan, Buya Hamka memang seorang yang menganut paham: Pimpinan memikul tangungjawab atas tindakan anak buah, ia menyatakan biarlah saya berhenti. (Qosim Nursheha Dzulhadi, Buya Hamka dan Tafsir Al-Azhar (Medan, 2016), 24-26. Dikutip dari K.H.E. Z. Muttaqien, “Biarlah Saya Berhenti”, dalam Nasir Tamara, Buntaran Sanusi, dan Vincent Djauhari, Hamka di Mata Hati Umat (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, Cet. II, 1984), 208-209).
Nah, di tengah-tengah kebingungan ummat dan bertanya-tanya tentang sikap MUI apa, jawaban hadir. Sikap MUI sangat tegas. Penulis secara pribadi amat-amat bersyukur, karena “ruh” Buya Hamka masih ada di tubuh MUI. Kita pun bisa bernafas lega. Dan jawaban tegas MUI bahwa “satu huruf pun tidak akan dihapus dari sikap yang mereka ambil” semakin memperkuat keyakinan penulis bahwa memang “ruh” Buya Hamka hidup di tubuh MUI. Allahu Akbar!* (bersambung)
Penulis adalah Pengasuh di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan. Penulis buku “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia” (2012) dan “Jejak Sofisme dalam Liberalisasi Pemikiran di Indonesia” (2016)