Oleh: Bahrul Ulum
SAAT ini klaim tentang istilah Ahlus Sunnah (Sunni) menjadi sedikit menggangu disebabkan masih adanya sedikit hambatan di kalangan umat Islam. Masing-masing kelompok menganggap dirinya Ahlus Sunnah sedang lainnya bukan. Padahal, klaim tersebut terjadi di antara Ahlus Sunnah sendiri.
Adalah Syaikh Abul Aun As-Safarini Al–Hanbali (w.1188H) dengan tegas mengatakan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah terdiri dari tiga kelompok, yaitu, al-Atsariyyah dengan imamnya Ahmad bin Hambal, al-Asy’ariyyah dengan imamnya Abul Hasan Al-Asy’ari dan al-Maturidiyyah dengan imamnya Abu Manshur Al-Maturidi” (Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah, 1/73).
Artinya, kelompok mana saja yang menisbahkan dirinya kepada salah satu imam dari ketiga imam di atas berarti masih berhak menyandang predikat Ahlus Sunnah.
Memang tidak bisa dipungkiri terjadinya perselesihan dipicu oleh beberapa kitab yang membahas masalah tersebut namun kurang mendalam dan tidak adil. Sebagai contoh Abu Yusuf Madahat bin Hasan Ali Farraaj, menyebut aqidah Asy’ari sebagai aqidah yang kotor karena ia berasal dari mazhabnya Jahm bin Sofyan, pendiri Jahmiyah. Mazhab Asy’ari dinilai sesat karena menakwilkan ayat-ayat sifat. (Fatawa al-Immah an-Najdiyah… I/514). Dengan kata lain penulis buku ini menuduh Asy’ari bukan termasuk Ahlus Sunnah.
Tentu saja penilain seperti ini menuai reaksi dari banyak ulama yang mayoritas menganut mazhab Asy’ari. Sebab yang dipahami oleh pengikut mazhab ini, Abu al-Hasan Ays’ari berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah, dan mengikuti jejak salaf. Asy’ari tidak menciptakan madzhab baru tetapi menarasikan madzhab salaf dan memperjuangkan pandangan para sahabat Rasulullah Saw. Karena itu mengikuti Imam Asy’ari berarti mengikuti jejak salaf dan berpegang teguh terhadapnya, serta membangun argumentasi yang kokoh terhadap jejak mereka. Orang yang melakukan itu semua disebut sebagai Asy’ariyyah. (Tajuddin as-Subki, Thobaqot as-Syafi’iyyah al-Kubra, III/365).
Reaksi juga datang dari ulama Saudi yang dikenal sebagai pengikuit al-Atsariyyah, pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam fatwanya, Lajnah Daimah menegaskan bahwa ulama yang menakwilkan sebagian sifat-sifat Allah atau menyerahkan sepenuhnya kepada Allah tentang hakekat makna sifat-sifat masih tergolong Ahlus Sunnah dalam masalah-masalah yang sesuai dengan para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- dan para ulama salaf pada tiga abad pertama yang mendapatkan persaksian baik dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- . Namun mereka bersalah karena mentakwil nash yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah. (Fatawa Lajnah Daimah: 3/241).
Lebih tegas lagi apa yang disampaikan oleh Syaikh Utsamin bahwa tidak boleh mengatakan ahli bid’ah atau sesat kepada ulama yang masih menakwilkan ayat-ayat sifat, meski dalam pendapat mereka ada beberapa yang mengandung bid’ah. (Liqaat Bab Maftuh: 43/soal nomor: 9). Ini artinya, para ulama Saudi yang dikenal pengikut mazhab al-Atsyariyyah masih mengakui mazhab Asy’ari sebagai Ahlus Sunnah.
Terlepas dari perdebatan di kalangan ulama tentang boleh tidaknya menakwilkan ayat-ayat sifat Allah (Lihat, tulisan saya, “Mempertemukan Tiga Mazhab Ahlus Sunnah”), setidaknya penjelasan di atas sebagai bukti bahwa ketiga mazhab tersebut masih berada dalam rumah yang sama, yaitu Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Butuh Sikap Bijak
Demi menjaga ukhuwah islamiyah, sudah saatnya masing-masing kelompok tidak memperebutkan istilah Ahlus Sunnah menjadi miliknya sendiri. Di saat umat Islam membutuhkan persatuan demi tegaknya peradaban Islam, masalah ini seharusnya disudahi. Masing-masing harus sadar, ada yang lebih penting untuk dibahas bersama yaitu persatuan dalam rangka menghadapi musuh-musuh Islam yang sudah ada di depan mata.
Selama kita masih memperebutkan istilah tersebut, musuh akan terus bertepuk tangan sambil menyusun kekuatan untuk menghancurkan umat Islam Ahlus Sunnah. Seyogyanya para Kiai, ustad tidak lagi membatasi Ahlus Sunnah dengan suatu kelompok atau organisasi tertentu. Apalagi kemudian membuat jargon-jargon bahwa hanya golongannya saja yang mengikuti sunnah sedang lainnya tidak. Kemudian dipersempit lagi dengan simbol-simbol tertentu yang menunjukkan bahwa merekalah Ahlus Sunnah sejati.
Demikian pula yang lainnya, seharusnya tidak mencibir atau mengucilkan saudaranya yang ingin mengamalkan sunnah-sunnah Rasul dengan berbagai cap negatif.
Dalam hal ini kita bisa ambil pendapat Imam Al Barbahari bahwa ajaran Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu adalah Islam” (Syarhus Sunnah, no 2). Dengan kata lain Ahlus Sunnah adalah setiap orang Islam dimana saja berada yang mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabatnya.
Kita harus selalu ingat firman Allah bahwa umat Islam adalah umat yang satu. Firman Allah Ta’ala yang artinya: “Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku adalah Rabb kalian, maka beribadahlah kepada-Ku” [Al-Anbiyaa : 92].
Demikian juga kepada para pencari ilmu juga harus selektif dan kritis ketika mencari ilmu. Belajarlah kepada banyak ustad atau Kiai supaya terbuka wawasannya. Jangan hanya membatasi kepada satu atau dua ustad. Contohlah para ulama salaf yang merasa tidak cukup jika hanya belajar kepada satu atau dua ulama. Rata-rata mereka memiliki guru yang jumlahnya sangat banyak.
Sedang kepada para Kiai dan ustad tidak ada salahnya mencontoh Imam Malik yang menyuruh Imam Syafi’I belajar kepada ulama lainnya setelah ia merasa ilmu yang diberikan kepada Imam Syafi’I sudah habis. Alangkah bijak para kiai dan ustad menyuruh para murid belajar kepada banyak guru, sebagaimana para ulama salaf kita belajar pada ulama lain.
Semoga Allah selalu membimbing kita dan menyatukan hati umat Islam.*
Sekretaris Majelis Intelektual dan Ulama Muda (MIUMI) Jawa Timur.