Hidayatullah.com—Para ahli dan kelompok Katolik di Korea Selatan telah meminta lebih banyak pusat psikoterapi dan konselor serta mendesak Gereja meningkatkan konseling sebagai bagian dari pelayanan pastoral di tengah meningkatnya angka bunuh diri.
“Konseling harus ditambahkan ke reksa pastoral sakramental,” kata Pastor Matthew Hong Sung-nam, direktur Pusat Konseling Psiko-Spiritual Katolik Keuskupan Agung Seoul.
“Gereja perlu ikut campur dalam kehidupan orang-orang sejak lahir hingga meninggal dan merawat mereka. Demikian pula, pusat-pusat pastoral Gereja harus berusaha memecahkan masalah tersebut,” tambahnya.
Konseling pastoral adalah bentuk unik dari psikoterapi yang menggunakan sumber daya spiritual serta pemahaman psikologis untuk penyembuhan dan pertumbuhan, menurut American Association of Pastoral Counseling.
Konseling ini disediakan oleh konselor pastoral bersertifikat, yang tidak hanya profesional kesehatan mental tetapi juga memiliki pendidikan agama dan/atau teologis yang mendalam.
Menurut Survei Kesehatan Mental Nasional Covid-19 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan pada Agustus tahun lalu, jumlah orang yang mengaku memiliki pikiran untuk bunuh diri meningkat hampir tiga kali lipat dari 4,6 persen tahun 2019 menjadi 12,7 persen pada Juni 2022.
Akibatnya, permintaan akan dukungan psikologis meningkat pesat. Rata-rata, jumlah panggilan bulanan ke hotline pencegahan bunuh diri (1.393) meningkat lebih dari dua kali lipat dari 7.457 tahun 2019 menjadi 15.395 tahun 2022.
Jumlah pengguna platform konseling psikologis online juga melebihi 1,5 juta. Korea Selatan mencatat tingkat bunuh diri 26 per 100.000 orang tahun 2021, naik dari 25,7 tahun 2020, lapor Economic Times.
Pastor Matthew Cho Young-su, seorang pejabat di Kantor Konseling Keuskupan Chuncheon menunjukkan bahwa citra positif Gereja di Korea merupakan berkontribusi besar pada kepercayaan publik terhadap layanan konselingnya.
“Kepercayaan penting dalam konseling, dan Gereja-gereja Korea diakui secara positif di masyarakat. Jadi mereka memiliki kekuatan dalam memberikan penggembalaan konseling,” kata Pastor Cho.
Ia mengatakan krisis ekonomi yang disebabkan oleh Covid-19, perang Rusia-Ukraina, dan gejolak sosial dan politik telah menciptakan kebutuhan “tetangga yang baik dapat membantu mereka dan menstabilkan pikiran mereka.”
Namun, para pejabat Gereja menyebut kekurangan pusat konseling dan personel terlatih sebagai kekurangan dalam memberikan konseling yang tepat waktu kepada calon korban.
Pakar konseling pastoral menyarankan mendirikan pusat konseling dengan personel terlatih di Gereja-gereja lokal untuk mengatasi permintaan konseling yang terus meningkat.
Di Korea Selatan, banyak orang menganggap mencari dukungan kesehatan mental sebagai kelemahan dan tabu sehingga mereka enggan membicarakan masalah ini di depan umum.
Data resmi menunjukkan hanya 20 persen warga Korea Selatan yang mencari perawatan kesehatan mental ketika mereka mengalami depresi, dan hampir 75 persen lansia Korea Selatan merasa depresi dan masalah kesehatan mental lainnya.
Tahun 2021, ada sepuluh fasilitas perawatan kesehatan mental yang beroperasi di Provinsi Chungnam, Korsel, menurut statista.com.
Ada total 59 institusi semacam itu di seluruh negeri, jumlah yang tidak berubah selama lebih dari satu dekade hingga sekarang. Gangwon adalah satu-satunya provinsi yang tidak memiliki lembaga kesehatan mental yang aktif.
Pastor Mark Lee Geum-jae, direktur Pusat Konseling Pastoral Keuskupan Jeonju mengatakan Gereja perlu mengikuti jejak Yesus untuk menjangkau orang-orang yang sangat membutuhkan dukungan kesehatan mental.
“Yesus adalah konselor teladan yang bersimpati, merangkul, dan menerima orang-orang yang selalu datang kepada-Nya, memberi mereka kesembuhan,” kata imam itu.*