Hidayatullah.com– Sebuah laporan pemerintah Prancis yang dirilis hari Jumat (8/11/2024) menunjukkan bahwa aparat keamanan mencatat sekitar 271.000 korban kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2023, sebagian besar korbannya merupakan perempuan.
Laporan tahunan yang disusun oleh Layanan Statistik Kementerian untuk Keamanan Dalam Negeri (SSMSI) menunjukkan kenaikan 10 persen dari catatan 2022 ke 2023. Peningkatan ini sebagian disebabkan oleh pelaporan yang semakin banyak dikabarkan di media oleh pers dan membaiknya kondisi penerimaan terhadap para korban.
Perempuan mencakup 85 persen dari jumlah keseluruhan korban, sementara pria diduga sebagai pelaku tindak kekerasan dalam 86 kasus, yang kebanyakan merupakan warga negara Prancis.
Dua pertiga kekerasan domestik tersebut melibatkan kekerasan fisik.Kekerasan verbal atau psikologis, termasuk pelecehan, ancaman, pelanggaran privasi, dan pencemaran nama baik, mencakup 32 persen kasus.
Empat persen kasus melibatkan kekerasan seksual, dan beberapa insiden kekerasan psikologis menyebabkan korban bunuh diri atau percobaan bunuh diri, menurut laporan tersebut.Secara keseluruhan, terjadi 115 pembunuhan dalam rumah tangga dan 437 percobaan pembunuhan pada tahun 2023.
Wilayah Pas-de-Calais, Nord, Somme dan Seine-Saint-Denis, serta teritori Prancis di Pulau Réunion, mencatat tingkat kekerasan dalam rumah tangga tertinggi per 1.000 penduduk berusia 15-64 tahun.
Laporan tersebut menggarisbawahi bahwa angka resmi itu tidak sepenuhnya mewakili skala kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di lapangan, karena banyak insiden yang tidak dilaporkan. Survei SSMSI menunjukkan bahwa hanya 14 persen korban yang mengajukan pengaduan kasusnya ke pihak berwajib pada 2022.
“Peningkatan sejak 2016 menunjukkan semakin banyak perempuan [korban kekerasan domestik] yang melaporkan kasusnya, yang mana hal ini merupakan kabar baik,” kata Anne-Cécile Mailfert, pimpinan Women’s Foundation, seraya memperingatkan bahwa risiko balas dendam terhadap korban yang melaporkan kasusnya tidak bisa diabaikan.
“Kepolisian sedang meningkatkan upaya mereka, tapi ini bukan saatnya untuk berbangga diri; kita perlu melipatgandakan upaya kita,” kata Mine Gunbay, direktur jenderal National Federation of Women’s Solidarity, seperti dilansir RFI.
“Masih banyak yang harus dilakukan,” kata Ernestine Ronai, kepala Observatory of Violence Against Women in Seine-Saint-Denis.
“Kita perlu memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menaruh kepercayaan terhadap aparat keamanan dan sistem peradilan, dan kita perlu melatih semua profesional yang bekerja dengan perempuan yang menjadi korban,” imbuhnya.
Sekretaris Negara untuk Kesetaraan Gender Salima Saa dalam rilis pers hari Rabu (6/11/2024) mengatakan akan mengumumkan kebijakan kongkret dan efektif pemerintah guna menangani isu ini pada 25 November – bertepatan dengan International Day for the Elimination of Violence Against Women.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan jangkauan terhadap korban, khususnya di daerah pedesaan, dan untuk memperkuat dukungan dan perawatan melalui pelatihan bagi pekerja garis depan dan sumber daya tambahan untuk memberikan dukungan terhadap korban.*