Hidayatullah.com– Justin Welby menyatakan akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Archbishop of Canterbury menyusul laporan tentang kasus pedofilia yang berkaitan dengan Church of England (CoE).
Laporan tersebut menyatakan bahwa Justin Welby, 68, “dapat dan seharusnya” melaporkan kasus-kasus pencabulan terhadap anak dan pemuda yang dilakukan oleh John Smyth pada 2013.
Dalam sebuah pernyataan, Welby mengatakan bahwa sangat jelas dirinya harus mengambil “tanggung jawab pribadi dan institusi” atas sikapnya ketika pertama kali mendapatkan laporan tentang kekerasan seksual yang dilakukan Smyth.
“Saya meyakini mengundurkan diri adalah langkah terbaik bagi Church of England,” kata Uskup Agung Canterbury itu.
Dalam pernyataan pengunduran dirinya, Welby menjelaskan bahwa dirinya kala itu “diberitahu” kalau masalah itu sudah dilaporkan ke pihak kepolisian, dan dia mengaku “bersalah karena meyakini” bahwa setelah itu kasus akan ditindak lebih lanjut sebagaimana mestinya oleh pihak-pihak berwenang.
Dia juga mengaku “merasakan malu yang mendalam atas kegagalan Gereja” dalam menangani masalah itu sejak munculnya laporan tersebut.
“Selama hampir 12 tahun saya berjuang untuk melakukan perbaikan. Orang lain yang akan menilai apa yang telah dilakukan,” kata Welby, seperti dilansir BBC Selasa (12/11/2024).
Archbishop of Canterbury adalah kepala Church of England dan memimpin 85 juta umat Gereja Anglikan di 165 negara di seluruh dunia.Pekan lalu, sebuah laporan independen menyimpulkan bahwa sikap diam CoE mengakibatkan hilangnya beberapa kesempatan untuk menyeret Smyth ke meja hijau sebelum kematiannya pada 2018.
Laporan itu mengatakan bahwa sesungguhnya sejak Juli 2013, “Gereja Inggris mengetahui, bahkan pada tingkat tertinggi, tentang pencabulan yang terjadi pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an,” itu dan secara khusus laporan itu menyebut nama Welby.
Salah satu korban Smyth mengatakan kepada BBC bahwa Uskup Agung dan Gereja secara efektif ikut “menutup-nutupi” kasus itu.
Smyth merupakan seorang pengacara ternama dan seorang lay preacher, orang awam anggota gereja yang menyampaikan ceramah-ceramah keagamaan tetapi tidak ditahbis sebagai rohaniwan, yang kerap menggelar perkemahan musim panas untuk anak-anak muda Kristen.
Laporan tersebut menuduhnya melakukan pelecehan seksual terhadap tidak kurang dari 30 anak lelaki yang ditemuinya di perkemahan musik panas antara tahun 1970-an dan 1980-an.
Tindakan yang dilakukan Smyth terhadap korbannya tidak sekedar meraba-raba tubuh, tetapi juga pemukulan sadis bermotif seksual.
Aksi bejatnya itu tidak hanya dilakukan dilakukan di perkemahan tetapi berlanjut ke sekolah umum terkenal, seperti Winchester College, dan di rumahnya.
Smyth kemudian oleh Gereja direlokasi pada 1980-an ke Zimbabwe dan kemudian ke Afrika Selatan, di mana dia diduga juga melakukan pelecehan seksual terhadap 85-100 anak lelaki berusia 13-17 tahun.
Smyth diyakini masih terus melakukan tindakan biadabnya itu di Afrika Selatan sampai ajal menjemputnya di Cape Town pada 2018 di usia 75 tahun.
Uskup Agung Canterbury mengatakan dalam pernyataannya bahwa laporan tersebut telah mengungkap “konspirasi bungkam” tentang pencabulan tersebut.
Welby, yang berasal dari lingkungan keluarga berada, menikmati pendidikan di sekolah-sekolah bergengsi di Eton dan University of Cambridge.
Dia bekerja di industri perminyakan selama 11 tahun dan kemudian berganti karir menjadi pendeta.
Welby disahkan sebagai rohaniwan gereja pada 1992 dan menjadi seorang vikaris di Warwickshire, kemudian menjabat Canon of Coventry Cathedral, lalu Dean of Liverpool dan Bishop of Durham, dan akhirnya diangkat sebagai Archbishop of Canterbury pada 2013.
Welby akan dikenang sebagai seorang uskup agung yang tidak alergi terhadap politik.Dia kerap berbicara di majelis tinggi parlemen Inggris, House of Lords, menyerang perusahaan lintah darat Wonga, serta secara terbuka menolak Inggris keluar dari Uni Eropa. Dia juga secara terbuka mengkritik kebijakan-kebijakan imigrasi dan kesejahteraan pemerintahan Partai Konservatif yang dinilainya salah.
Welby juga akan dikenang sebagai pemimpin CoE yang menggerus rasialisme di gereja (yang selama ini didominasi rohaniwan kulit putih) dan mengizinkan wanita dilantik sebagai uskup.*