Hidayatullah.com – Dialog nasional Suriah, yang diadakan pada Selasa di Damaskus, menyatakan bahwa semua kelompok bersenjata yang beroperasi di luar militer negara akan dianggap “terlarang”.
Dalam pernyataan bersama, para partisipan sepakat menyerukan “monopoli senjata oleh negara, membangun tentara nasional yang profesional dan menganggap semua formasi bersenjata di luar institusi resmi sebagai kelompok terlarang”.
Melansir Daily Sabah, pernyataan ini merujuk kepada kelompok teroris PKK, pasukan YPG yang dipimpin oleh cabang PKK di Suriah, serta faksi-faksi lain yang telah menolak untuk meletakkan senjata mereka sejak penggulingan diktator Bashar Assad.
Presiden transisi Suriah, Ahmed Al-Sharaa, berjanji untuk memastikan kesepakatan itu dan menyebut hal tersebut merupakan “fase bersejarah baru” bagi Suriah.
Pertemuan antara elemen masyarakat Suriah tersebut dilakukan setelah adanya seruan dari masyarakat internasional agar pemerintah baru melibatkan semua komponen masyarakat Suriah.
Mulai dari masyarakat sipil, tokoh agama, tokoh oposisi dan seniman hadir dalam dalam dialog nasional tersebut, sebuah kegiatan yang tidak pernah terdengar di bawah pemerintahan Assad.
Berbicara pada pertemuan tersebut, al-Sharaa mengatakan: “Suriah telah mengundang Anda semua hari ini … untuk berkonsultasi satu sama lain tentang masa depan negara Anda.”
“Suriah tidak dapat dipisahkan; Suriah adalah satu kesatuan yang utuh, dan kekuatannya terletak pada persatuannya,” kata presiden sementara itu. “Persatuan senjata dan monopoli oleh negara bukanlah kemewahan, melainkan tugas dan kewajiban,” tegas Al-Sharaa.
Al-Sharaa juga mengatakan bahwa pihak berwenang akan “bekerja untuk membentuk badan keadilan transisi untuk memulihkan hak-hak rakyat, memastikan keadilan, dan, insya Allah, membawa para penjahat ke pengadilan.”
Kantor berita pemerintah SANA mengatakan sekitar 6.000 orang hadir secara online, banyak di antaranya dari luar negeri, dengan bermacam workshop yang membahas berbagai isu termasuk kebebasan dan konstitusi.
Houda Atassi dari komite persiapan dialog mengatakan pada X bahwa acara tersebut akan “tercatat dalam sejarah sebagai pengalaman baru bagi rakyat Suriah.”
Ia berharap konferensi ini akan menjadi “awal yang nyata untuk memulihkan stabilitas dan persatuan Suriah.”
‘Aturan hukum’
Pemerintah transisi bertugas untuk mengelola urusan hingga 1 Maret, ketika pemerintahan baru akan dibentuk.
Dalam pidatonya, al-Sharaa menekankan pentingnya penegakan hukum dan menyoroti tugas pemerintah sementara untuk “mengadili mereka yang melakukan kejahatan terhadap warga Suriah.”
“Kita harus membangun negara kita di atas aturan hukum, dan hukum harus dihormati oleh mereka yang menegakkannya,” katanya.
Kebijakan luar negeri Suriah akan didasarkan pada “keseimbangan dan keterbukaan,” tambahnya.
“Kami ingin mengembangkan hubungan yang kuat dengan negara-negara yang telah menghormati kedaulatan kami sambil tetap membuka pintu dialog dengan pihak mana pun yang ingin membangun kembali hubungannya dengan kami berdasarkan rasa saling menghormati.”
Gerakan anti-rezim Al-Sharaa telah berusaha untuk memoderasi retorikanya dan bersumpah untuk melindungi agama dan etnis minoritas di Suriah.
Serangan yang dipimpinnya yang menggulingkan Assad pada 8 Desember lalu mengakhiri lima dekade pemerintahan tangan besi keluarganya.
Al-Sharaa mengatakan pada awal bulan ini bahwa dibutuhkan waktu empat sampai lima tahun untuk menyelenggarakan pemilihan umum di Suriah dan dua sampai tiga tahun untuk menulis ulang konstitusi.
Suriah juga tidak memiliki parlemen setelah badan legislatif era Assad dibubarkan menyusul penggulingannya.*