Hidayatullah.com– Pengadilan di Prancis hari Senin (24/2/2025) menjatuhkan hukuman penjara 18 bulan atas seorang pemuda asal Aljazair yang didakwa menyulut terorisme lewat media sosial TikTok. Beberapa pria Aljazair lainnya juga ditangkap dengan tuduhan serupa.
Seorang pemuda berusia 25 tahun yang diidentifikasi oleh pihak berwenang sebagai Youcef A, dan dikenal di media sosial dengan nama Zazou Youssef, didakwa di kota Brest karena dianggap menggalakkan tindakan terorisme lewat platform tersebut, lansir RFI.
Jaksa penuntut Camille Miansoni menuntut terdakwa dihukum penjara dua tahun, jauh di bawah ancaman maksimal 7 tahun.
Youssef muncul dalam sebuah video yang diunggah ke platform sejuta umat itu pada 31 Desember 2024, di mana dia menyeru dilakukannya serangan di Prancis dan tindak kekerasan di Aljazair.
Pejabat kepolisian di wilayah Finistere, Alain Espinasse, memerintahkan dilakukannya investigasi oleh pihak yudisial setelah dia mendapatkan laporan dari aparat tentang video tersebut.
Menurut pihak berwenang, Youssef tinggal di Prancis dengan izin sebagai pemukim sementara dan mengajukan banding atas hukuman yang diterimanya dalam kasus vandalisme dalam suatu kerusuhan di tahun 2023.
Selain dihukum penjara, pengadilan mengatakan Youssef tidak diperkenankan tinggal di Prancis selama 10 tahun.
Pihak TikTok mengatakan sudah memblokir akun yang mengunggah video tersebut, dengan alasan akun itu memiliki sejumlah video yang melanggar peraturannya soal ujaran kebencian.
Juga pada hari Senin di Montpelier, jaksa penuntut meminta hakim menjatuhkan hukuman penjara yang ditangguhkan enam bulan atas Boualem Naman, seorang pemuda Aljazair yang menggunakan nama Doualemn di media sosial.
Dia ditangkap pada bulan Januari karena mengunggah video di TikTok berisi seruan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap para demonstran anti-rezim Aljazair.
Dalam persidangan hari Senin, Naman mengakui fakta-fakta yang dipaparkan di pengadilan, tetapi dia menegaskan tidak menyeru orang untuk melakukan pembunuhan. Dia mengaku menyesali perbuatannya dan mengatakan bahwa dia “kehilangan kesabarannya” kala itu.
Dia sebenarnya sebelum ini sudah dideportasi ke Aljir, tetapi otoritas di sana justru menolak untuk menerimanya, sehingga dia dibawa kembali ke Paris.
Prancis menuding Aljazair melakukan tindakan yang mempermalukan pihaknya karena telah menolak untuk menerima pemuda yang dideportasi itu.
Ditempatkan di tahanan di Prancis setelah ditolak masuk Aljazair, ayah dua anak itu dikeluarkan dari kurungan pada 6 Februari setelah pengadilan menangguhkan perintah deportasinya dan membatalkan status OQTF-nya (keharusan untuk meninggalkan wilayah Prancis).
Tiga orang Aljazair lainnya juga ditangkap bulan lalu oleh aparat Prancis, dengan tuduhan mengajak orang untuk melakukan tindak kekerasan lewat TikTok.
Penangkapan-penangkapan tersebut terjadi di tengah menegangnya hubungan Prancis dengan bekas wilayah penjajahannya di Afrika Utara itu.
Presiden Emmanuel Macron membuat Aljir geram karena menegaskan kembali dukungan Prancis terhadap kedaulatan Maroko atas wilayah sengketa Sahara Barat, saat dia berkunjung ke Rabat tahun lalu.
Sahara Barat, bekas koloni Spanyol, sebagian besar secara de facto berada di bawah kontrol Maroko. Namun, kalangan separatis Sahrawi yang tergabung dalam Front Polisario menuntut supaya dilakukan referendum penentuan nasib sendiri bagi wilayah gurun itu. Polisario mendapatkan dukungan dari Aljazair.*