Oleh: Dessy Fatmawati
“Be Yourself”, merupakan slogan yang tidak asing saat ini. Slogan ini seolah membius generasi muda Indonesia saat ini. Sebagaimana diketahui jagad media sosial, sedang membicarakan vlogger bernama Karin Novilda, seorang gadis 19 tahun yang baru lulus SMU.
Karin Novilda, atau Awkarin bukan fenomena biasa. Ia dianggap cool oleh anak-anak seumurannya karena ia punya banyak teman, pacar keren dan kaya, dianggap bisa mencari uang sendiri sejak usia 16 tahun. Dan yang lebih penting, ia punya hidup bebas dan mempromosikan kebebasannya di media sosial. Itulah generasi anak zaman media social yang tak sungkan memperlihatkan diri sedang merokok, minum alkohol, bertato, gemar berpesta secara terbuka di media sosial.
Karin Novilda dulunya waktu SMP dengan penampilan jilbab rapi, dikenal mendapat nilai UN tertinggi di Tanjung Pinang, lalu melanjutkan sekolah ke SMA 58 Jakarta. Namun beberapa tahun berikutnya, kisahnya berubah total, ia berpenampilan baru, hidup bebas, bertato dan membuka auratnya, dan tak malu memamerkan kehidupan bebasnya di media sosial dengan sosok baru Awkarin.
Generasi Medsos
Kemunculan Awkarin seolah menegaskan Be Yourself dimaknai menjadi orang yang rebellious, menabrak norma-norma yang berlaku. Terlebih para pembela Awkarin memberi label, “keren, berindentitas dan berkarakter” hanya karena berbagai unggahannya terbukti mendatangkan pundi-pundi rupiah tidak peduli separah apapun tingkah lakunya.
Ketenaran Awkarin harus dibayar mahal oleh para pendidik generasi. Dengan jumlah follower berkisar lima ratus ribu, sekali unggah ribuan kerusakan dikirim ke generasi muda dengan mudah.
Karin dan ribuan generasi yang lain bukanlah sebab melainkan hasil dari berbagai hal yang melingkupinya. Karin merupakan representasi generasi hasil didikan media internet, dunia tanpa standar dan sensor. Tentu hal ini membuat kita miris. Para ibu, guru dan pendidik lainnya mati-matian menjadikan asuhan mereka menjadi generasi yang memiliki kualitas mumpuni, pintar dan baik dalam urusan dunia dan akhiratnya harus bertekuk lutut dengan ganasnya media internet. Sayangnya, kita tak bisa berharap banyak pada negara, karena negara saat ini hanya berperan sebagai fasilitator, bukan pengayom.
Hal ini tentu berbeda jika pengelolaan generasi dalam Islam. Tidak hanya unggul akademis, Islam sangat menekankan terbentuknya generasi yang memiliki karakter jiwa kepemimpinan, berakhlak mulia serta memahami hakikat kehidupan bukan generasi pengejar tumpukan materi.
Tentu, pembentukan generasi ini tidak hanya cukup dengan pembinaan remaja didalam dan luar sekolah, namun juga harus mewujudkan tatanan sistem yang kondusif, yaitu sistem illahi rabbi, Islam diterapkan tidak hanya lingkup ibadah namun seluruh aspek kehidupan hingga level sistemik termasuk kontrol media agar sejalan dengan arah pembentukan generasi.
Hanya negara dengan model ini generasi akan terjaga dari hal-hal yang merusak dan menjadikan remaja pengukir peradaban yang gemilang. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah pendamping Program Dusun Jamur, Dompet Dhuafa Jateng