Hidayatullah.com— Amerika Serikat secara diam-diam sudah lama mengakui Yerusalem (Baitul Maqdis) sebagai Ibu Kota Israel, tapi hanya baru kali ini, ketika presidennya Donald Trump berani menyampaikan secara jujur Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Jika menurut analisis kebanyakan orang keberanian Trump disebabkan karena faktor pengalihan isu terhadap masalah dalam negeri.
“Donald Trump berani karena ada tekanan Kristen Fundamentalis dan Yahudi,” ujar Dr Adian Husaini dalam dalam Kajian Rutin Malam Rabu (12/12/2017) menyampaikan dalam topik Tinjauan Historis Hubungan Muslim-Yahudi dan Status Jerusalem bertempat di Aula Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), Jakarta.
Tajuk ini diangkat bersamaan dengan hangatnya berita baru-baru 6 Desember 2017 di mana Presiden Amerika Serikat menghebohkan dunia dengan pengakuannya terhadap Yerusalem sebagai Ibnu Kota Israel.
Menurut bacaan tokoh kelahiran Bojonegoro ini kalangan Kristen Fundamentalis mempercayai setiap 50 tahun ada peristiwa besar. Di sisi lain, mereka juga menunggu juru selamat. Maka, mereka tidak mau menyempatkan kesempatan baik ini sebelum akhir tahun berakhir. Sebab, kalau akhir tahun berakhir, maka mereka akan kehilangan kesempatan untuk menjadikan Yerusalem (Baitul Maqdis) sebagai Ibu Kota Israel.
Baca: Seluruh Dunia Bereaksi Menolak Keputusan Donald Trump soal Baitul Maqdis
Tindakan Donald Trump yang begitu gegabah ini, menurut penulis rutin Catatan Akhir Pekan di hidayatullah.com ini, sama sekali tidak menguntungkan Amerika.
Biasanya keputusan diambil karena kepentingan nasional. Nah, ini apa kepentingan Amerika? Justru, menurut beliau akan membuat seluruh muslim dunia bersatu. Ini pada gilirannya akan merugikan diri mereka sendiri. Di sisi lain, dalam internal Amerika Serikat banyak juga yang tidak setuju dengan keputusan Trum ini.
Setelah menyampaikan prolog singkatnya, Adian menyampaikan beberapa poin penting mengenai: Yahudi dari sisi historis; pandangan al-Qur`an dan al-Hadits mengenainya; Al-Qur`an sebagai satu-satunya Kitab yang sangat kritis terhadap Yahudi; kekhawatiran dan peringatan Rasulullah bahwa umat Islam akan ikut sunnah Yahudi-Kristen.
Dalam sejarahnya, secara umum Yahudi memang memiliki sifat yang buruk. Di zaman Nabi Musa misalnya, ketika sudah diselamatkan dari Firaun, tak lama setelah itu ketika melihat orang lain menyembah patung, maka mereka meminta kepada Musa agar dibuatkan Tuhan seperti mereka. Di sisi lain, Yahudi ini pantas diaspora karena memang begitu menjengkelkan, Dulu ketika Yerusalem ditaklukkan Nebukednezar, mereka membantu orang Persia membantai orang Kristen di Yerusalem. Ironisnya, ketika Byzantium Romawi menang, mereka seakan-akan ikut membelanya.
“Pada zaman nabi, Yahudi sampai diusir dari Madinah bahkan kemudian dari Khaibar karena sifat tercelanya yang suka menyalahi janji dan berkhianat. Piagam Madinah yang sudah disepakati bersama, dikhianati oleh mereka sendiri. Mereka ini adalah kaum yang ketika lemah memihak yang kuat, dan ketika kuat akan menghabisi siapa saja karena rasisme di tubuh mereka begitu kuat.”
Dalam sejarah, Kata Adian, meski Al-Qur`an sangat kritis terhadap Yahudi, tapi umat Islam memperlakukannya dengan sangat baik. Sebagai bukti, saat di Andalusia, selama 800 tahun lamanya, mereka bisa hidup secara aman dan nyaman. Pun ketika Andalusia telah jatuh dan ada inkuisisi besar-besaran, mereka banyak lari ke Turki Utsmani, dan mendapat perlindungan selama 600 tahun lamanya. Anehnya, melalui strategi yang licik dan sistematis, sekte gerakan Zionis pada akhirnya menumbangkan Khilafah Turki Utsmaniyah. Kebaikan umat Islam berabad-abad lamanya dibalas mereka dengan air tuba.
Dalam al-Qur`an, sifat Yahudi begitu banyak, misalnya: pengecut, materialistik, suku membunuh para nabi, menyembunyikan kebenaran, melecehkan nabi. Mengingat sifatnya yang begitu berbahaya, dalam Hadits nabi Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bagaimana nabi mengatakan, “Sesunguhnya kalian akan mengikuti kebiasaan umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, sehingga seandainya mereke masuk lubang Dhab (sejenis kadal) niscaya akan kalian ikuti, para sahabat bertanya, Ya Rasulullah (maksudmu) orang-orang Yahudi dan Nasrani? (jawab Rasulullah), Siapa lagi.’”
“Bila umat Islam tidak maspada, maka akan masuk perangkap mereka,” tambahnya.
Terlepas dari itu, Yahudi ini meskipun jumlahnya kecil (sekitar 15 juta), tapi memiliki kelebihan sumber daya manusia. Ilmuan seperti Charles Darwin dan Sigmun Freud misalnya, adalah tokoh Yahudi yang sering dijadikan rujukan psikologi. Lucunya, orang Muslim sering menjadikannya rujukan dalam kurikulum sekolahnya.
“Padahal, setiap hari berdoa ihdinash shirathal Mustaqim (tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu bukan jalannya orang yang dimurkai).”
Baca: Polling: Separuh Yahudi Amerika Dukung Pengusiran Bangsa Palestina
Fakta lain yang menunjukkan keunggulan Yahudi, jumlah Yahudi di Amerika tidak sampai 3%, tapi anehnya, Biden sampai berterimakasih kepada Yahudi yang bisa merubah pandangan Amerika tentang homoseksual.
“Jika tidak memiliki keunggulan lebih, jumlah tiga persen itu tak mungkin bisa merubah pandangan Amerika mengenai LGBT yang disebarkan melalui media sosial.”
Negara palsu Israel adalah negara berdasarkan rasisme tinggi. PBB pun mengakui bahwa Israel yang didirikan oleh Zionisme itu adalah negara rasis. Terkait masalah rasisme ini, Ismail Raji Al Faruqi sampai menandaskan bahwa andai Yahudi membangun negara di bulan, maka harus ditolak karena rasismenya itu. Rasisme ini sudah ditentang dalam Konferensi Asia Afrika (KAA). Dalam jiwa KAA adalah anti rasisme.
Terlepas dari itu semua, yang perlu dicermati oleh umat Islam adalah bukan tahun kerutntuhan Khilafah Utsmaniyah pada 1924, tapi mengkaji cara kerja Yahudi sangat pintar bisa menghancurkan Imperium Besar Utsmani. Teodhore Herzel yang pernah menulis buku tentang Negara Yahudi, pada 50 tahun kemudian bisa terwujud. Terbukti, negara Israel berdiri tahun 1948.
Pada sesi terakhir, tokoh yang pernah mondok di Pesantren ar-Rosyid Kendal Bojonegoro ini, menyatakan bahwa masalah Masjidil Aqsha adalah masalah agama. Semua pada dasarnya masalah agama. Kentut aja masalah agama. Hatta politik, ekonomi dan lain-lain dalam Islam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari agama. Maka sungguh ironis, jika ada umat Islam atau bahkan tokoh Islam yang menganggap konflik Israel dan Palestina sekadar masalah perebutan lahan atau alasan artifisial lainnya.
“Pada akhirnya, kalau keputusan Trump tetap diteruskan, maka ada beberapa problem yang akan dihadapi: orang Palestina akan kehilangan right to return (hak untuk kembali) di sisi lain ada problem pengungsian yang semakin tidak bisa teratasi. Kontribusi nyata umat Islam yang lebih konkret, tentu sangat diharapkan untuk menyelesaikan problem besar ini,”ujarnya menutup kajian.*/Kiriman Mahmud Budi (Jakarta)