Hidayatullah.com– Rombongan Pejuang Dakwah Ekonomi Islam dari STEI Tazkia melakukan kunjungan ke Jepang dan tiba di Tokyo, 26 Juni 2018 pekan ini.
Rombongan di antaranya terdiri dari Ketua STEI Tazkia Murniati Mukhlisin, Direktur Pascasarjana Mukhamad Yasid, Pembina Perpustakaan STEI Tazkia Ade Susilowati, Direktur Program Internasional Anita Priantina, Kepala Program Studi Bisnis dan Manajemen Syariah Thuba Jazil, dan Kepala Program Studi Akuntansi Syariah Grandis Imama Hendra.
Menurut Ade Juraynaldi dan Ratna Komalasari selaku panitia rombongan, kunjungan selama 5 hari di negeri matahari terbit ini bertujuan untuk beberapa agenda penting. Yaitu kerja sama pelaksanaan internasional seminar dengan Reitaku University di kota Kishiwada, kunjungan ke YUAI International Islamic School di Tokyo, silaturrahim dengan KBRI Jepang, dan halal bil halal dengan komunitas Muslim Jepang di Mesjid Indonesia Tokyo.
Seminar yang dihadiri oleh para guru besar, dosen, dan mahasiswa dari Tazkia dan Reitaku ini membahas sebuah tema yang menarik dan terkini, “Business Ethnic & Digital Economy; from Concept to Practice”, mengingat Jepang merupakan negara yang sangat maju dalam teknologinya, termasuk dalam bidang Financial Technology (FinTech).
Di awal seminar, Daisuke Suzuki, dosen senior di Universitas Reitaku, membuka acara seminar dan guru besar bidang ekonomi, Yasunori Baba, membawakan topik pertama tentang bagaimana manusia berlaku ketika berada dalam era mesin pandai seperti saat ini.
Baba mengatakan bahwa manusia perlu dibentengi dengan konsep moral. Menurut Baba, moral adalah hal penting di Reitaku yang ditekankan oleh pendiri kampus Reitaku yaitu Dr. Chikuro Hiroike (1866-1938).
Hiroike yang dikenal sebagai “Father of Moralogy” ini yang mengatakan bahwa pendidikan harus diberikan kepada pelajar dengan aplikasi integritas, moral, dan etika yang tinggi.
Murniati memaparkan tentang pentingnya rambu-rambu syariah untuk memastikan etika dan moral dalam bisnis di era ekonomi digital seperti saat ini.
Kemudian Ketua STEI Tazkia itu menjelaskan tentang perkembangan bisnis FinTech syariah dengan studi kasus Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Potensi FinTech di Jepang cukup menjanjikan yang menurut Accenture telah meleburkan investasi sebesar 154 juta dolar Amerika pada tahun 2016 yang lalu. Investor utama dalam bidang FinTech dunia didominasi oleh China sebesar 10 triliun dolar, disusul oleh India 500 juta dolar Amerika pada tahun yang sama.
Murniati yang juga Pembina Asosiasi FinTech Syariah Indonesia menganalisa bahwa modal crowdfunding dari Jepang dapat dikirim ke negara Muslim dengan sistem syariah, seperti yang dilakukan Singapura saat ini.
EthisCrowd perusahaan FinTech Syariah asal Singapura misalnya mengelola investasi dari para investor Singapura untuk membiayai proyek perumahan di Indonesia.
Adapun Thuba Jazil membawakan tema etika bisnis Islam: teori ke praktik.
Dalam pemaparannya, dijelaskan, Islam mengatur semua aspek kehidupan Muslim, baik dalam hal peribadatan maupun sosial, termasuk juga bisnis.
Terdapat minimal tujuh prinsip dasar dalam etika bisnis Islam, yaitu tauhid, tanggung jawab, keadilan, ihsan (berlaku baik), hurriyah (kebebasan), orientasi halal dan haram, dan berlaku ma’ruf.
Ketujuh prinsip tersebut harus diterapkan dalam transaksi Islam baik sebagai pebisnis, penjual, pembeli, pemasok, dan pihak lainnya.
Seminar ditutup dengan pembicaraan kerja sama double degree antara dua kampus dan makan malam dijamu oleh Presiden Universitas Reitaku, Osamu Nakayama, dan para pejabat kampus lainnya.* Kiriman Murniati Mukhlisin