Hidayatullah.com— Serangan terhadap kapal The Conscience milik Freedom Flotilla Coalition (FFC) pada Kamis (2/5/2025) dini hari di perairan internasional kembali menyita perhatian dunia terhadap misi kemanusiaan global yang selama ini menentang pengepungan ‘Israel’ atas Jalur Gaza.
Kapal sipil tak bersenjata itu diserang dua kali oleh drone bersenjata yang diduga kuat milik ‘Israel’, menyebabkan kebakaran dan kebocoran besar di lambung kapal.
Freedom Flotilla sendiri adalah sebuah koalisi internasional yang sejak tahun 2010 secara berkala mengirimkan kapal bantuan kemanusiaan menuju Gaza. Misi ini bukan hanya membawa logistik, tetapi juga menyuarakan protes terhadap blokade yang dinilai melanggar hukum internasional.
“Kami berlayar bukan hanya membawa bantuan medis, tetapi juga membawa harapan dan solidaritas global untuk rakyat Palestina yang selama ini terkepung dan dilupakan,” ujar Yasemin Acar, juru bicara Freedom Flotilla Coalition, dalam pernyataan resminya di laman https://freedomflotilla.org/, Jumat (2/5/2025).
Misi Kemanusiaan Melawan Blokade
Pihak Freedom Flotilla menegaskan bahwa misi mereka bersifat non-kekerasan dan sipil, sebagai bentuk perlawanan damai terhadap pengepungan Gaza yang telah berlangsung lebih dari 17 tahun. Blokade tersebut menyebabkan krisis kemanusiaan akut, termasuk kekurangan makanan, obat-obatan, dan akses air bersih bagi lebih dari dua juta warga Palestina.
“Sejak 2 Maret 2025, tidak ada satu pun truk bantuan diizinkan masuk ke Gaza oleh otoritas ‘Israel’. Lebih dari dua juta orang dibiarkan kelaparan dalam keheningan internasional,” ujar pernyataan resmi FFC.
Menurut data kemanusiaan yang dihimpun lembaga tersebut, setidaknya 600 truk bantuan dibutuhkan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan dasar warga Gaza. Namun hingga dua bulan terakhir, nol bantuan berhasil masuk. Freedom Flotilla hadir sebagai jalur alternatif dan simbolik untuk menyampaikan bantuan serta menarik perhatian internasional.
Siapa Saja di Balik Freedom Flotilla?
Freedom Flotilla Coalition terdiri dari gabungan LSM dan individu dari lebih dari 20 negara, termasuk Indonesia, Afrika Selatan, Turki, Norwegia, Kanada, dan Irlandia. Peserta misi meliputi: Aktivis hak asasi manusia, dokter dan tenaga medis, wartawan dan dokumenteris, anggota parlemen dan tokoh agama.
Semua peserta misi telah menandatangani komitmen untuk aksi damai dan non-kekerasan, serta mengikuti pelatihan keselamatan dan prosedur hukum maritim sebelum berlayar.
Beberapa organisasi yang tergabung dalam koalisi ini antara lain Ship to Gaza Sweden, Canadian Boat to Gaza, US Boat to Gaza, dan International Committee for Breaking the Siege of Gaza.
Mereka bergerak dengan dana swadaya dan donasi publik dari masyarakat global yang mendukung kemerdekaan Palestina.
Desakan Tindakan Internasional
Usai serangan di perairan internasional, Freedom Flotilla mendesak Pemerintah Malta dan otoritas internasional untuk segera bertindak menyelamatkan para relawan di kapal The Conscience, yang saat ini kehilangan daya dan dalam bahaya tenggelam.
“Kurangnya tanggapan dari Malta adalah pelanggaran terhadap kewajiban hukum maritim internasional. Kami menuntut penyelamatan segera dan pengakuan atas hak sipil kami untuk berlayar secara damai,” tegas Jonatan Michaneck, koordinator lapangan FFC.
Koalisi juga menyerukan kepada masyarakat internasional untuk mengutuk agresi ‘Israel’ terhadap kapal bantuan kemanusiaan, menuntut diakhirinya pengepungan terhadap Gaza, dan menghentikan dukungan politik, militer, dan ekonomi terhadap pendudukan ‘Israel’.
Membunuh 9 Warga Turki
Serangan ini merupakan kedua kalinya. Sebelumnya, pada 31 Mei 2010, pasukan komando ‘Israel’ menyerbu kapal utama Mavi Marmara, menewaskan 9 aktivis kemanusiaan asal Turki dan melukai puluhan lainnya, termasu seorang wartawan Hidayatullah.
Serangan ini memicu kecaman internasional karena dilakukan di luar wilayah yurisdiksi ‘Israel’ dan dianggap sebagai pelanggaran hukum laut internasional. Tragedi ini membangkitkan kesadaran global tentang pentingnya membuka akses kemanusiaan ke Gaza serta memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina yang selama ini terabaikan.
Pada November 2012, Pengadilan di Istanbul menggelar sidang in absentia terhadap empat mantan pejabat tinggi militer Israel: Letjen Gabi Ashkenazi (mantan Kepala Staf), Eliezer Marom (mantan Komandan Angkatan Laut), Amos Yadlin (mantan Kepala Intelijen Militer), dan Avishai Levi (mantan Kepala Intelijen Angkatan Udara).
Mereka didakwa atas pembunuhan, penyiksaan, dan tindakan kekerasan lainnya terkait serangan tersebut. Jaksa penuntut menuntut hukuman sembilan kali penjara seumur hidup untuk masing-masing terdakwa, satu untuk setiap korban tewas.*
Sementara itu, Pemerintah Malta belum memberikan pernyataan resmi terkait keterlibatannya dalam operasi penyelamatan atau penyelidikan atas serangan tersebut.*